Wednesday, June 6, 2012

METODE BANDONGAN


METODE BANDONGAN
A.    METODE BANDONGAN      
1.      Pengertian  Metode Bandongan
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren adalah sistem bandongan atau seringkali juga disebut weton. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Seorang murid memperhatikan bukunya sendiri-sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata yang sulit.
Metode bandongan adalah kiyai menggunakan daerah setempat, kiyai membaca, menerjemahkan, menerangkan, kalimat demi kalimat kitab yang dipelajarinya, santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu pada kitabnya masing-masing dengan kode-kode tertentu sehingga kitabnya disebut kitab jenggot karena banyaknya catatan yang menyerupai jenggot seorang kiayi. Dengan metode pengajaran bandongan ini lama belajar santri tidak tergantung lamanya tahun belajar tetapi berpatokan kepada waktu kapan murid tersebut menamatkan kitabnya yang telah ditetapkan.
Pendidikan tradisional di pesantren salah satunya meliputi pemberian pengajaran dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradisional ini dapat berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah atas suatu kitab tertentu.
Dalam prakteknya selalu berorientasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Dalam metode ini santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri-santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jika jumlah mereka puluhan atau ratusan orang.
Metodologi pengajaran yang dikenal dengan nama sorogan, wetonan, dan khataman semuanya menampilkan liberalisasi proses pembelajaran. Santri bebas untuk mengikuti pengajian atau tidak, dimana pelajaran tidak diatur dalam silabus yang terprogram, melainkan berpegang pada bab-bab yang tercantum didalam kitab.
2.        Penerapan Metode Bandongan
Kitab-kitab Islam klasik yang lebih popular dengan sebutan kitab kuning. Kitab-kitab ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu, syaraf, balaghah, ma’ani, bayan, dan lain sebagainya.
Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam mengikuti proses pembelajaran kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi guru-murid dan sumber belajar, antara lain sebagai berikut:
a.       Kyai sebagai guru dipatuhi secara mutlak, dihormati termasuk anggota keluarganya, dan kadang dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat memberi berkah.
b.      Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan semata-mata karena ketajaman akal, ketetapan metode mencarinya, dan kesungguhan berusaha, melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu, dan berkah kyai serta upaya ritual keagamaan seperti puasa, doa, dan riadhah.
c.       Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Karena itu, ia harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah banyak mengajar santri.
d.      Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah kitab sendiri, yang demikian ini belum disebut ngaji.
Untuk melaksanakan kegiatan pembalajaran dengan menggunakan metode bandongan biasanya dilakukan langkah-langkah berikut ini:
a.       Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan para santri.
b.      Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para santri apakah sudah siap untuk belajar atau belum.
c.       Seorang kyai atau ustadz dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks Arab gundul kata demi kata disertai dengan terjemahannya dan pembacaan tanda-tanda khusus (seperti “utawi”, “iku”, “sopo”, dan sebagainya) pada topik atau pasal tertentu disertai pula dengan penjelasan dan keterangan-keterangan.
d.      Pada pembelajaran tingkat tinggi, seorang kyai atau ustadz terkadang tidak langsung membaca dan menterjemahkan. Ia terkadang menunjuk secara bergiliran kepada para santrinya untuk membaca dan menterjemahkan sekaligus menerangkan suatu teks tertentu. Disini kyai atau ustadz berperan sebagai pembimbing yang membetulkan apabila terdapat kesalahan dan menjelaskan bila ada hal-hal yang dipandang oleh para santri sebagai sesuatu yang asing atau rumit.
e.       Setelah menyelesaikan pembacaan pada batasan tertentu, seorang kyai atau ustadz memberi kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas. Jawaban dilakukan langsung oleh kyai atau ustadz atau memberi kesempatan terlebih dahulu kepada para santri yang lain.
f.       Sebagai penutup terkadang seorang kyai atau ustadz menyebutkan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung.
Bentuk lingkaran kegiatan pengajian para santri dengan menggunakan metode bandongan pada prakteknya  dilakukan bermacam-macam, ada yang menggunakan bentuk lingkaran penuh seperti huruf O atau berbentuk setengah lingkaran seperti huruf U atau berbentuk berjejer lurus dan berbanjar kebelakang menghadap berlawanan arah dengan kyai. Dari berbagai macam bentuk ini yang jelas para santri dalam pengajiannya  mengelilingi secara berkerumun dengan duduk bersila menghadap kyai.
Pembelajaran terhadap kitab-kitab klasik dipandang penting karena dapat menjadikan santri menguasai dua materi sekaligus. Pertama, bahasa Arab yang merupakan bahasa kitab itu sendiri. Kedua, pemahaman atau penguasaan muatan dari kitab tersebut. Dengan demikian, seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren diharapkan mampu memahami isi kitab secara baik, sekaligus dapat menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa kesehariannya.
3.        Sistem Evaluasi  Metode Bandongan
Seorang ustadz atau kyai menilai terhadap berbagai aspek yang ada pada santri, baik aspek pengetahuan terhadap pengasaan materi kitab itu atau perilaku yang mesti ditunjukkan dari pengkajian materi kitab, ataupun ketrampilan tertentu yang diajarkan dalam kitab tersebut.
a.       Aspek pengetahuan (kognitif) dilakukan dengan menilai kemampuan santri dalam membaca, menterjemahkan dan menjelaskan.
b.      Aspek sikap (afektif) dapat dinilai dari sikap dan kepribadian santri dalam kehidupan keseharian.
c.    Aspek keterampilan (skill) yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui praktek kehidupan sehari-hari ataupun dalam bidang fiqh, misalnya dapat dilakukan dengan praktek atau demonstrasi yang dilakukan oleh para santri pada halaqah tersebut.
Dalam sumber yang lain dijelaskan pada umumnya pesantren yang belum mencangkok sistem pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat, dan kalau santri belum puas, tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka mendalami ilmunya.
4.         Kekurangan dan Kelebihan Metode Bandongan
a.         Kekurangan.
1).     Metode ini dianggap lamban dan tradisional, karena dalam menyampaikan materi sering diulang-ulang.
2).     Guru lebih kreatif dari pada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur (monolog).
3).     Dialog antara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.
4).     Metode bandongan ini kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.
b.      Kelebihan.
1).     Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya banyak.
2).     Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti system sorogan secara intensif.
3).     Materi yang diajarkan sering diulang-ulang sehinnga memudahkan anak untuk memahaminya.
4).     Sangat efisien dalam mengajarkan ketelitian memahami kalimat yang sulit dipelajari

Daftar Pustaka:

Ø  Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.
Ø  Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan  Metodologi Pendidikan  Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Ø  Abdurrahman Wahid, Menggerakkan  Tradisi  Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Ø  Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Surabaya: Erlangga, 2008.
Ø  Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Ø  Haidar Putra Dauly, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009.
Ø  Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2001.
Ø  Faiqoh, Pola Pembalajaran di Pesantren. Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003.
Ø  Amiruddin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: Gama Media, 2008.


0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com