Monday, May 13, 2013

PERSPEKTIF ISLAM TERHADAP ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI

A. Perspektif Islam Terhadap Aliran Nativisme
Fitrah yang disebut dalam Q.S al-Rum (30):30; Q.S al-Adalah’raf (7):172, mengandung implikasi kependidikan bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-din al-qayyim) yaitu agama Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasar interprestasi demikian, maka pendidikan Islam “bisa dikondisikan” berfaham nativisme, yaitu suatu faham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya.
Aliran ini merupakan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh pendidikan dan perkembangan anak. Tokoh utama aliran ini adalah Schopenhauer, dalam artinya yang terbatas juga dapat kita masukkan dalam golongan ini Plato, Descartes, Lombroso dan pengikut-pengikutnya yang lain. Para ahli yang mengikuti pendirian ini biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya ahli musik maka kemungkinannya adalah besar bahwa anaknya juga akan menjadi ahli musik; kalau ayahnya seorang pelukis, maka anaknya juga akan menjadi pelukis, kalau ayahnya seorang ahli fisika, maka anaknya ternyata juga menjadi ahli fisika, dan sebagainya. Pokoknya keistimewaan – keistimewaannya dimiliki orang tua juga dimilki oleh anaknya.
Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan, Schopenhauer (filsuf Jerman (1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditentukan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri. Istilah nativisme, dari asal kata natie yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalau anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak memilki pembawaan baik maka dia akan menjadi orang baik. Pembawaan baik dan buruk ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar.
Sebuah sabda Nabi SAW yang dapat dijadikan sumber pandangan nativisme seperti tersebut, di atas adalah sebagai berikut:
“Setiap orang dilahirkan oleh ibunya atas dasar fitrah (potensi dasar untuk beragama), maka setelah itu orang tuanya mendidik menjadi beragama Yahudi, dan Nasrani, dan Majusi; jika orang tua keduanya beraga Islam, maka anaknya menjadi muslim (pula)”. (H.R. Muslim dalam kitab Shahih, Juz. II, p. 459).

Pengertian yang bersumber dari dalil di atas diperkuat oleh Syech Muhammad Abduh dalam Tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Pendapat Muhammad abduh ini serupa dengan pendapat Abu Adalah’la Al-Maududi yang menyatakan bahwa agama Islam adalah identik dengan watak tabi’y manusia (human nature). Demikian pula pendapat Syyid Qutb yang menyatakan bahwa Islam diturunkan Allah untuk mengembangkan watak asli manusia (human nature), karena Islam adalah agama fitrah.agama Islam sebagai agama fitrah disamakan oleh Ibnu Qayyim dengan kecenderungan asli anak bayi yang secara instinktif (naluriah) menerima tetek ibunya. Manusia menerima agama Islam bukan karena paksaan, melainkan karena adanya kecenderungan asli itu yaitu fitrah Islamiah.

B. Perspektif Islam Terhadap Aliran Empirisme
Dalil-dalil yang dapat diinterpretasikan untuk mengartikan “fitrah” yang mengandung kecenderungan yang netral ialah antara lain sebagai berikut:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui sesuatu apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati”. (An-Nahl 78).
Firman Allah di ats menjadi petunjuk bahwa kita harus melakukan usaha pendidikan, sebab dengan potensi pendengaran, penglihatan, dan hati, manusia bisa dididik.
Dengan Surat Al-‘Alaq, 3 – 4 dinyatakan oleh Allah sebagai berikut:
“Bacalah, dan Tuhan-Mu yang Maha Mulia yang mengajar kamu dengan kalam (pena); dia mengajar manusia dengan sesuatu yang tidak ia ketahui”.
Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa manusia tanpa melalui belajar, niscaya tidak akan mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan hidupnya di dunia dan akhirat. Pengetahuan manusia akan berkembang jika diperoleh melalui proses belajar mengajar yang diawali dengan kemampuan menulis dengan pena dan membaca dalam arti luas, yaitu tidak hanya dengan membaca tulisan melainkan juga membaca segala yang tersirat di dalam ciptaan Allah.
Fitrah sebagai faktor pembawa sejak lahir manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya, bahkan ia tak akan dapat berkembangan sama sekali bila tanpa adanya pengaruh dari lingkungan itu. Sedang lingkungan itu sendiri juga dapat diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia).
Dari interpretasi tentang fitrah di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun fitrah itu dapat dipengruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah tersebut tidaklah netral terhadap pengaruh dari luar. Potensi yang terkandung di dalamnya secara dinamis mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh tersebut.
Jika kita mempercayai paham John Lock sebagai dalil bahwa jiwa anak sejak lahir berada dalam keadaan suci bersih bagaikan meja lilin (tabula rasa) yang secara pasif menerima pengaruh dari lingkungan eksternal, berarti kita tidak menghargai banih-benih potensial manusia yang dapat dikembang-tumbuhkan melalui pengaruh pendidikan. Sikap demikian akan membawa pikiran kita ke arah paham Empirisme dalam pendidikan yaitu paham yang memandang bahwa pengaruh lingkungan eksternal termasuk pendidikan merupakan satu-satunya pembentuk dan penentu perkembangan hidup manusia.
Telah dibuktikan oleh para ahli psikologi dan pendidikan yang berpaham Behaviorisme bahwa perkembangan manusia tidaklan secara mutlak ditentukan oleh pengaruh lingkungan eksternal, sehingga seolah-olah ia menjadi budaknya lingkungan. Mereka membuktikan bahwa meskipun seseorang yang hidup dalam lingkungan yang sama dengan orang lain, dan masing-masing akan memberikan respon yang sama terhadap stimulus (rangsangan) yang sama namun dengan cara yang berbeda.

C. Perspektif Islam Terhadap Aliran Empirisme
Konsepsi Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa setiap manusia diberi kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap Tuhan-Nya, adalah firman Allah dalam surat Asy-Syams, ayat 7 – 10.
Firman tersebut dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan perkembangannya kepada jalan kebenaran yaitu Islam. Dengan tanpa melalui usaha pendidikan, manusia akan terjerumus ke jalan yang salah atau sesat yaitu menjadi kafir. Firman Allah berikut ini menunjukkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih antara dua jalan, yang benar atau yang sesat. Jalan yang benar terbentang jelas dan jalan sesat juga terbentang jelas.

“Dan Aku tunjukkan dua macam jalan (jalan yang benar dan jalan yang sesat”. (Al-Balad, 10).

 “Sesunguhnya Aku telah menunjukkannya jalan itu; (tapi) ada kalanya ia mensyukurinya (mengikuti jalan itu) dan ada kalanya ia mengkufurinya (mengingkarinya)”. (Al-Insan, 3).

Ayat tersebut di atas kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam fitrah-Nya, manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dari yang salah. Kemampuan memilih tersebut, mendapatkan pengarahan dalam proses kependidikan yang mempengaruhinya.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat di dalam fitrah (human nature) manusia berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang menjatuhkan pilihan yang benar secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan sehat adalah merupakan kemampuan fitrah yang dapat kembangkan melalui pendidikan dan latihan.
Sejalan dengan interpretasi tersebut maka kita dapat mengatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang disengaja yaitu pendidikan dan latihan berproses secara interaktif dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam berproses secara konvergensis, yang dapat membawa kepada paham konvergensi dalam pendidikan Islam.
Perintis aliran ini adalah William Stern (1887 - 1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama memilki peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada dari anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu.
William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan-akan dua garis yang menuju kesatu titik pertemuan sebagai berikut:
a. Pembawaan.
b. Lingkungan.
c. Hasil pendidikan / perkembangan.
Karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat kesatu titik). Jadi menurut teori konvergensi:
1. Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
2. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
3. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN DALAM PSIKOLOGI

A. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan
Istilah “pertumbuhan” dan “perkembangan” sering digunakan seseorang, kedua istilah itu digunakan secara silih berganti dengan maksud yang sama. Tetapi istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda dan perbedaan itu masih jarang diperhatikan.
Menurut Drs. E. Usman Effendi dan Drs. Juhaya S. Praja mengatakan bahwa pertumbuhan diartikan suatu penambahan dalam ukuran bentuk, berat atau ukuran dimensi daripada tubuh serta bagian-bagiannya. Sedangkan “perkembangan” dimaksudkan untuk menunjukkan perubahan-perubahan dalam bentuk/bagian tubuh dan integrasi perbagai bagianya kedalam suatu kesatuan fungsional bila pertumbuhan itu berlangsung.
Menurut Prof. Dr. F. J. Monks, prof. Dr. A. M. P. Knoers, dan Dr. Siti Rahayu Haditono menjelaskan bahwa pengertian perkembangan menunjukkan suatu proses tertentu, yaitu suatu proses yang menuju kedepan dan tidak begitu saja dapat diulang kembali seperti suatu pertunjukan sandiwara.
Berdasaarkan pendapat diatas maka dapat di ambil suatu pengertian bahwa pertumbuhan dan perkembangan mengandung pengertian adanya perubahan dan pertambahan yang terjadi dalam tubuh manusia, yaitu pertumbuhan dimaksudkan suatu perubahan-perubahan secara kuantitatif yang berhubungan dengan fisik, misalnya: perubahan kecil menjadi besar, perubahan pendek menjadi panjang atau tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif yang berkaitan dengan fungsi-fungsi psikis (kejiwaan) dan fisik (organ tubuh). Fugsi-fungsi fisik dan psikis ini mengadakan perubahan yang sifatnya sederhana menjadi lebih sempurna.
Perkembangan fungsi ini dapat dibedakan menjadi beberapa bagian:
1. Perkembangan Fungsi Struktual
Di dalam organisme manusia yang sangat kompleks kiranya sulit diadakan pembedaan antara aspek dan manifestasinya sebagaimana kita ketahui adanya saling berhubungan dan saling bergantungan, yaitu mengenai gejala pertumbuhan fisik kita mengetahui adanya aspek perubahan yaitu pertumbuahn dan kematanngan. Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa pertumbuhan adalah perubahan yang bersifat kuantitatif pada tubuh karena bertambahnya umur. Sedangkan kematangan adalah sempurnanya pertumbuhan dan perkembangan didalam organisme atau juga disebut waktu matang.
Pertumbuhan dan kematangan merupakan dua aspek perkembangan fisik yang berlainan, namun antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Itulah sebabnya pertumbuhan juga mempunyai aspek kualintatif.
2. Perkembangan Fungsional
Berfungsinya sesuatu orang dimulai pada waktu strukturnya cukup unutuk berkembang dan berfungsi, perkembangan fungsional terjadi lewat proses belajar, misalnya perkembangan intelegensinya, ketrampilanya berbicara, dan mengadakan komunikasi dengan lingkunganya, proses belajar merupakan perubahan berkat adanya pengalaman yang diperoleh seseorang, yaitu sebagai hasil interaksinya dengan dunia sekitarnya.
3. Perkembangan Kepribadian
Teori psikonalia mengenai perkembangan kpribadian berlandasakan dua premis. Pertama, premis bahwa kepribadian individu dibentuk oleh berbagai jenis pengalaman masa kanak-kanak awal. Kedua, energi libido ada sejak awal, dan kemudian berkembang melalui serangkaian tahapan psikoseksual yang bersumber pada proses-proses naluriyah organisme.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Manusia
Perkembangan manusia itu pada umumnya dipengaruhi oleh faktor pembawaan atau hereditas dan faktor lingkungan atau alam sekitar tempat manusia itu berada.
1. Faktor Pembawaan (Hereditas)
Yang dimaksud dengan faktor pembawaan (hereditas) ialah sifat-sifat kecenderungan yang dimiliki oleh setiap manusia sejak masih dalam kandungan sampai lahir.
2. Faktor Lingkungan.
Faktor lingkungan disebut juga faktor eksteren yaitu faktor yang berasal dari luar diri manusia, faktor ini dapat berupa pengalaman-pengalaman, pendidikan, alam sekitar dan sebagainya. Semuanya akan memberi pengaruh terhadap manusia dalam perkembanganya.
Dalam perkembangan manusia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebet diatas, menimbulkan bermacam-macam teori perkembangan, ialah :
a. Teori Nativisme
Teori ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu ditentukan semata-mata oleh faktor pembawaan yang telah dibawa sejak lahir. Selanjutnya dijelaskan bahwa sewaktu manusia itu dilahirkan telah dibekali potensi-potensi tertentu yang akan menentukan perkembangannya. Sedangkan faktor lingkungan termasuk didalamnya pendidikan tidak mempunyai pengaruh terhadap perkembangan manusia itu. Teori ini dikemukakan oleh Schopenhauer.
b. Teori Empirisme
Teori ini berpendapat bahwa perkembangan manusia akan ditentikan oleh lingkungan termasuk pendidikan selama perkembangannya. Teori ini bertentangan dengan teori nativisme sebagai mana tersebut diatas. Selanjutnya teori ini menyatakan bahwa manusia yang dilahirkan itu merupakan kertas putih yang belum ditulis apapun. Jadi masih benar-benar bersih tanpa tulisan. Kemudian akan menjadi apakah kertas semacam itu? Hal ini tergantung kepada peranan lingkungan dan pendidikan yang diperoleh manusia(individu) selanjutnya. Teori empiris ini dipelopori oleh John Locke.
c. Teori konvergensi
Teori konvergensi ini merupakan gabungan antara teori nativisme dengan teori empirisme. Teori ini dikemukakan oleh William Stern. Menurut pendapatnya bahwa faktor-faktor diatas baik pembawaan maupun lingkungan yang termasuk didalamnya pendidikan mempunyai peranan penting dalam perkembangan manusia. Jadi perkembangan manusia itu ditentukan oleh faktor pembawaan dan faktor lingkungan(pendidikan). Sedangkan bakat atau dasar sebagai kemungkinan yang telah ada pada masing-masing individu(manusia) perlu membutuhkan lingkungan yang sesuai agar hal itu dapat berkembang sebaik-baiknya.

C. Tahap-Tahap Perkembangan Manusia
Tahap-tahap perkembangan manusia yang dimaksud ialah pembagian seluruh masa perkembangan seseorang kedalam fase-fase atau periode-periode tertentu selama dalam kehidupannya. Pada garis besarnya tahap-tahap perkembangan manusia itu dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Tahap Perkembangan Berdasarkan Biologik
Sebagian para ahli mengadakan tahap perkembangan manusia itu berdasarkan gejala-gejala yang tampak pada perubahan fisik atau berdasarkan proses biologik tertentu. Salah satu tokoh yang berpendapat demikian itu adalah Aristoteles. Beliau menggambarkan pembagian tahap perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa itu dalam tiga periode yang lamanya masing-masing tujuh tahun :
Fase I : dari 0;0 sampai 7;0 masa anak kecil, masa bermain.
Fase II : dari 7;0 sampai 14;0 masa anak belajar atau masa anak sekolah rendah.
Fase III : dari 14;0 sampai 21;0 masa remaja atau pubertas dari masa anak menjadi dewasa.
Periodesasi ini didasarkan atau gejala dalam perkembangan jasmaniah. Hal ini mudah ditunjukkan; antara fase I dan fase II dibatasi oleh pergantian gigi, antara fase II dan fase III ditandai oleh mulai bekerjanya perlengkapan kelamin(misalnya kelenjar).
2. Tahap Perkembangan Berdasarkan Dedaktif
Dasar yang digunakan para ahli untuk menentukan pembagian tahap perkembangan manusia ini ialah tingkat-tingkat perkembangan anak dan cara bagaimana mendidiknya dengan cara-cara tertentu. Kedua tahap tersebut diatas dilaksanakan secara bersama-sama. Salah satu tokoh yang mengadakan pembagian ini, ialah Jean Jacques Rousseau. Beliau berpendapat bahwa perkembangan manusia itu mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan tahap-tahap yang lain.
Adapun tahap-tahap perkembangan itu adalah sebagai berikut:
Tahap I : Dari umur 0;0 sampai 2;0 tahun. Tahap ini disebut tahap asuhan.
Tahap II : Dari umur 2;0 sampai 12;0 tahun. Tahap ini dinamakan tahap pendidikan jasmani dan latihan-latihan pancaindera.
Tahap III : Dari umur 12;0 sampai 15;0 tahun. Tahap ini disebut tahap pendidikan akal pikiran.
Tahap IV : Dari umur 15;0 sampai 20;0 tahun. Tahap ini disebut tahap pembentukan watak (karakter) dan pendidikan agama.
3. Tahap Perkembangan Berdasarkan Psikologik.
Para ahli yang mengiti pendapat ini menyatakan bahwa tahap perkembangan manusia itu mendasarkan diri kepada perkembangan keadaan psikologi pada suatu masa tertentu. Golongan yang menjadi pelopor dalam tahap perkembangan ini adalah oswald kroh. Kroh ini berpendapat bahwa pengalaman-pengalaman psikologi umumnya ditentukan oleh kegoncangan yang menandai tahap yang satu ketahap yang lain. Dengan demikian Kroh membagi tahap-tahap perkembangan ini sebagai berikut:
Tahap I : mulai umur 0;0 sampai 3;0 tahun yang biasanya disebut juga masa kanak-kanak awal.
Tahap II : mulai umur 3;0 sampai 13;0 tahun yang disebut juga masa keserasian sekolah.
Tahap III : mulai umur 13;0 sampai akhir masa remaja yang biasanya disebut masa kematangan. Untuk menentukan umur berapa berakhirnya masa remaja itu, tidak dapat ditentukan dengan pasti tetapi pada umumnya sebagai perkiraan pada umur 21;00 tahun.
Demikianlah tahap-tahap perkembangan manusia berdasarkan pendapat para ahli psikologi.

PENDIDIKAN MELALUI ‘IBRAH DAN MAU’IZA

A. Pendidik Melalui ‘Ibrah
1. Pengertian ‘Ibrah
‘Ibrah berasal dari kata ‘abara ar-tu’ya yang berarti menafsirkan mimpi dan memberitahukan implikasinya bagi kehidupan si pemimpi, atau keadaan setelah kematiannya dan ‘abara al-wadi berarti melintasi lembah dari ujung satu ke ujung lain yang berlawanan. Artinya:-Raghib berkara asal makna kata al-ibr adalah melintasi keadaan satu ke keadaan yang lain dan kata ‘ubur dikhususkan untuk makna melintas di atas air. Dalam penafsiran surat Yusuf, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa al-‘itibar wal’ibrah berarti keadaan yang mengantarkan dari satu pengetahuan yang terlihat menuju sesuatu yang tidak, atau jalasnya berartimerenung dan berfikir.
2. Jenis ‘Ibrah Dalam Al-Qur’an Dan As-Sunah
a. ‘Ibrah melalui kisah
Setiap kisah Qur’ani atau nabawi memilki tujuan kependidikan ketuhanan. ‘Ibrah melalui kisah hanya dapat dicapai oleh orang yang berfikir sadar dan orang yang hawa nafsunya tidak mengalahkan akal dan fitrah. Artinya, dia mampu menarik kesimpulan dari kisah tersebut. Sehubungan dengan itu, Allah SWT berfirman setelah menurunkan kisah Yusuf (Q.S. Yusuf III)

Pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Yusuf adalah kekuasaan Allah untuk menyelamatkan Yusuf setelah dilemparkan ke sumur, membebaskannya setelah terkurung dalam penjara, mendidiknya menjadi raja setelah diperjual-belikan sebagai budak dengan harga rendah. Mengokohkan kedudukannya di muka bumi setelah tertawan dan terpenjara lama. Menjadikannya mulia di hadapan saudara-saudaranya yang dulu menzaliminya, serta menyatukan diri kembali dengan ayah dan saudara-saudaranya setelah lama berpisah.
b. Mengambil pelajaran dari nikmat dan makhluk Allah
Berbagai nikmat dan makhluk Allah yang telah disediakan bagi manusia dapat juga menjadi “ibrah bagi manusia sebagaimana Firman Allah berikut ini dalam Q.S. an-Nahl: 66-67.

c. Mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa sejarah
Al-Qur’an telah mengisyaratkan beberapa peristiwa yang menonjol dan memilki kaitan dengan peristiwa sesudahnya. Seperti perang badar dan ahzhab. Al-Qur’an pun mengisyaratkan pelajaran dari berbagai peristiwa itu, seperti dari perang Bani Nadhir, dmana Allah menyifati kejelasan mereka dengan Firmannya dalam Q.S. al-Hasyir ayat 2.

Kaum kafir yang banyak melihat kaum muslimin yang sedikit bagaikan dua kali jumlah mereka, hal itu merupakan aturan dan pertolongan Allah. Dia mengimajinasikan jumlah kaum muslimin yang banyak kepada kaum musyrikin sehingga hati mereka berguncang dan ketakutan. Dari parestiwa itu kita dapat mengambil ‘Ibrah bahwa kekuatan Allah dalam surat (an-Nur : 44).

3. Teknik Pengambil Pelajaran dari Suatu Peristiwa (Ibrah)
a. Eksperimen.
Tujuan teknik eksperimen agar peserta didik mampu mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan mengdakan percobaan sendiri.
b. Teknik penyajian kerja lapangan.
Tujuan penyajian teknik kerja lapangan ini agar peserta didik dapat menghayati dan partisipasi aktif dalam proses pekerjaan itu, serta menjadikan kebiasaan dengan dirinya untuk memahami masalah, hambatan, dan penyelesaian pekerjaan yang dihadapi.
c. Teknik penyajian secara kasus.
Teknik yang dilakukan dengan cara mengajar peserta didik melalui penyajian suatu kasus yang dialami oleh peserta didik sendiri aatau orang lain.
d. Teknik penyajian Non-Directive.
Teknik yang dilakukan dengan cara mengajar peserta didik melalui keterlibatan dan kebiasaannya dalam melakukan observasi data yang diperoleh serta membuat kesimpulan sendiri.
B. Mendidik Melalui Mau’izah
Metode al-Mau’idah, yakni metode pendidikan Islam yang menerapkan nasehat-nasehat secara lesan maupun tulisan melalui berbagai perumpamaan, cerita dan sindiran.
Di dalam kamus al-Muhith terdapat kata “wa’azhahu ya’izhhu, wa’izhah” yang berarti mengingatkannya” terhadap sesuatu yang dapat meluluhkan hatinya dan sesuatu itu dapat berupa pahala maupun siksa, sehingga dia menjadi ingat. Mau’idhah ialah nasehat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.
Rasyid Ridha, tatkala menafsirkan surat al-Baqarah ayat 232, menyimpulkan bahwa mau’izah adalah nasehat dengan cara menyntuh kalbu (lihat al-Nahlawi. 189: 403). Kata wa’z hu dapat berarti macam-macam:
Pertama, berarti nasehat, yaitu kajian bahasan tentang kebenaran dengan maksud mengajak orang dinasehati untuk mengamalkannya. Nasehat baik itu harus bersumber pada yang Maha baik, yaitu Allah.
Kedua, Mau’izah berarti tadzkir (peringatan). Yang memberi nasehat hendaknya berulang kali mengingatkan agar nasehat itu meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasehati tergerak untuk mengikuti nasehat itu. Dalam sebuah hadits diceritakan: Rasullulah SAW menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, yang membuat hati kami bergetar, dan karenanya mata kami mengeluarkan air mata. Maka kami berkata, “Wahai Rasullulah, seakan-akan ia merupakan nasehat orang yang menitipkan maka nasehatilah kepada kami.” (hadits, lihat al-alnahwawi, 1989: 410).
Nasehat yang menggetarkan hanya mungkin bila:
 Yang memberi nasehat merasa terlibat dalam isi nasehat itu, jadi ia sering dalam memberi nasehat.
 Yang menasehati harus merasa perhatian terhadap nasib orang yang dinasehati.
 Yang menasehati harus ikhtiar, artinya lepas dari kepentingan pribadi secara duniawi.
 yang memberi nasehat berulang-ulang melakukannya.
 Analisi Terhadap Konsep Dan Bentuk Nasehat.
Berdasarkan perenungan terhadap tafsir al-Manar dan tafsir lain tentang ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung kata wa’azha dapat disimpulkan bahwa nasehat memilki beberapa bentuk dan konsep, dan yang terpenting adalah:
1. Pemberian nasehat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinasehati menjahui kemaksiatan sehingga terarah pada sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan keuntungan. Syarat terpenting ketulusan nasehat harus datang dari penasehat yang tidak menyandarkan pemberian nasehatnya pada kepentingan duniawi dan material dari diri pribadi. Sesungguhnya Allah telah menjelaskan hal ini tatkala menuturkan dialok yang terjadi antara para Rasul dengan kaumnya. Allah berfirman melalui seruan kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW dalam surat al-Furqan: 57.
2. Pemberian peringatan dalam hal ini si pemberi nasehat harus menuturkan kembali konsep-konsep dan peringatan-peringatan ke dalam ingatan objek nasehat sehingga konsep dan peringatan itu dapat menggugah berbagai perasaan dan emosi yang mendorongnya untuk melakukan amal soleh dan segera menuju ketaatan kepada Allah serta pelaksanaan berbagai perintah-Nya.

Peringatan dapat terjadi melalui berbagai sarana diantaranya:
Pertama, peringatan melalui kematian. Dalam hal ini, Umar bi Khatab menyeru dirinya sendiri tentang kematian tersebut: “Hai Umar, cukuplah kematian sebagai juru nasehat”. Rasa takut kepad Allah dan perhitungan setelah kematian dihadapan Allah menjadikan Umar mengucurkan air mata yang bekasnya jelas dikedua piinya.
Kedua, peringatan melalui sakit. Kehidupan senantiasa ancam berbagai musibah dan penyakit. Kedatangan musibah atau penyakit merupakan perkara yang mengejutkan manusia dan tidak jarang menjadi penyebab meninggalnya seseorang. Sehubungan dengan itu, Rasullulah SAW bersabda: “Ya Allah, tiada kehidupan kecuali kehidupan di akhirat.” Dan Allah berfirman dalam surat (al-Ankabut: 64)
Ayat tersebut merupakan nasehat bagi orang yang berakal, memikirkan kehidupan, serta keadaan dunia yang terus berkurang dan menyusut. Dan ini menyebabkan halnya rasa tunduk, rasa takut, dan rasa taat kepada berbagai perintah Allah sehingga mereka tersadarkan dari kekeliruan dan penyelewengan hidup.
Ketiga, peringatan melalui hari perhitungan amal, yaitu hari bergantinya bumi dan langit menjadi bumi dan langit yang berbeda dengan yang ada sekarang. Peringatan itu kadang disertai berbagai nasehat, seperti yang terjadi dalam Q.S. ath-Thalaq: 2).

Template by : kendhin x-template.blogspot.com