A. Perspektif Islam Terhadap Aliran Nativisme
Fitrah yang disebut
dalam Q.S al-Rum (30):30; Q.S al-Adalah’raf (7):172, mengandung
implikasi kependidikan bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi
dasar beragama yang benar dan lurus (al-din al-qayyim) yaitu agama
Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau
lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak
akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi
manusia.
Berdasar interprestasi demikian, maka pendidikan Islam “bisa
dikondisikan” berfaham nativisme, yaitu suatu faham yang menyatakan
bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh
potensi dasarnya.
Aliran ini merupakan kemampuan dalam diri anak,
sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang
berpengaruh terhap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut
ditentukan pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan
kurang berpengaruh pendidikan dan perkembangan anak. Tokoh utama aliran
ini adalah Schopenhauer, dalam artinya yang terbatas juga dapat kita
masukkan dalam golongan ini Plato, Descartes, Lombroso dan
pengikut-pengikutnya yang lain. Para ahli yang mengikuti pendirian ini
biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan menunjukkan
berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya.
Misalnya kalau ayahnya ahli musik maka kemungkinannya adalah besar bahwa
anaknya juga akan menjadi ahli musik; kalau ayahnya seorang pelukis,
maka anaknya juga akan menjadi pelukis, kalau ayahnya seorang ahli
fisika, maka anaknya ternyata juga menjadi ahli fisika, dan sebagainya.
Pokoknya keistimewaan – keistimewaannya dimiliki orang tua juga dimilki
oleh anaknya.
Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan,
Schopenhauer (filsuf Jerman (1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir
sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil
akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak
lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan
oleh anak didik itu sendiri. Ditentukan bahwa “yang jahat akan menjadi
jahat, dan yang baik akan menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai
dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk
perkembangan anak sendiri. Istilah nativisme, dari asal kata natie yang
artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada
artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi
perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalau anak
memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau
anak memilki pembawaan baik maka dia akan menjadi orang baik. Pembawaan
baik dan buruk ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar.
Sebuah sabda Nabi SAW yang dapat dijadikan sumber pandangan nativisme seperti tersebut, di atas adalah sebagai berikut:
“Setiap orang
dilahirkan oleh ibunya atas dasar fitrah (potensi dasar untuk beragama),
maka setelah itu orang tuanya mendidik menjadi beragama Yahudi, dan
Nasrani, dan Majusi; jika orang tua keduanya beraga Islam, maka anaknya
menjadi muslim (pula)”. (H.R. Muslim dalam kitab Shahih, Juz. II, p.
459).
Pengertian yang bersumber dari dalil di atas diperkuat oleh
Syech Muhammad Abduh dalam Tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam
adalah agama fitrah. Pendapat Muhammad abduh ini serupa dengan pendapat
Abu Adalah’la Al-Maududi yang menyatakan bahwa agama Islam adalah
identik dengan watak tabi’y manusia (human nature). Demikian pula
pendapat Syyid Qutb yang menyatakan bahwa Islam diturunkan Allah untuk
mengembangkan watak asli manusia (human nature), karena Islam adalah
agama fitrah.agama Islam sebagai agama fitrah disamakan oleh Ibnu Qayyim
dengan kecenderungan asli anak bayi yang secara instinktif (naluriah)
menerima tetek ibunya. Manusia menerima agama Islam bukan karena
paksaan, melainkan karena adanya kecenderungan asli itu yaitu fitrah
Islamiah.
B. Perspektif Islam Terhadap Aliran Empirisme
Dalil-dalil
yang dapat diinterpretasikan untuk mengartikan “fitrah” yang mengandung
kecenderungan yang netral ialah antara lain sebagai berikut:
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui
sesuatu apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan
hati”. (An-Nahl 78).
Firman Allah di ats menjadi petunjuk bahwa
kita harus melakukan usaha pendidikan, sebab dengan potensi pendengaran,
penglihatan, dan hati, manusia bisa dididik.
Dengan Surat Al-‘Alaq, 3 – 4 dinyatakan oleh Allah sebagai berikut:
“Bacalah, dan Tuhan-Mu yang Maha Mulia yang mengajar kamu dengan kalam
(pena); dia mengajar manusia dengan sesuatu yang tidak ia ketahui”.
Ayat
tersebut juga menunjukkan bahwa manusia tanpa melalui belajar, niscaya
tidak akan mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan
hidupnya di dunia dan akhirat. Pengetahuan manusia akan berkembang jika
diperoleh melalui proses belajar mengajar yang diawali dengan kemampuan
menulis dengan pena dan membaca dalam arti luas, yaitu tidak hanya
dengan membaca tulisan melainkan juga membaca segala yang tersirat di
dalam ciptaan Allah.
Fitrah sebagai faktor pembawa sejak lahir
manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya, bahkan ia tak
akan dapat berkembangan sama sekali bila tanpa adanya pengaruh dari
lingkungan itu. Sedang lingkungan itu sendiri juga dapat diubah bila
tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita
manusia).
Dari interpretasi tentang fitrah di atas dapat disimpulkan
bahwa meskipun fitrah itu dapat dipengruhi oleh lingkungan, namun
kondisi fitrah tersebut tidaklah netral terhadap pengaruh dari luar.
Potensi yang terkandung di dalamnya secara dinamis mengadakan reaksi
atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh tersebut.
Jika kita
mempercayai paham John Lock sebagai dalil bahwa jiwa anak sejak lahir
berada dalam keadaan suci bersih bagaikan meja lilin (tabula rasa) yang
secara pasif menerima pengaruh dari lingkungan eksternal, berarti kita
tidak menghargai banih-benih potensial manusia yang dapat
dikembang-tumbuhkan melalui pengaruh pendidikan. Sikap demikian akan
membawa pikiran kita ke arah paham Empirisme dalam pendidikan yaitu
paham yang memandang bahwa pengaruh lingkungan eksternal termasuk
pendidikan merupakan satu-satunya pembentuk dan penentu perkembangan
hidup manusia.
Telah dibuktikan oleh para ahli psikologi dan
pendidikan yang berpaham Behaviorisme bahwa perkembangan manusia
tidaklan secara mutlak ditentukan oleh pengaruh lingkungan eksternal,
sehingga seolah-olah ia menjadi budaknya lingkungan. Mereka membuktikan
bahwa meskipun seseorang yang hidup dalam lingkungan yang sama dengan
orang lain, dan masing-masing akan memberikan respon yang sama terhadap
stimulus (rangsangan) yang sama namun dengan cara yang berbeda.
C. Perspektif Islam Terhadap Aliran Empirisme
Konsepsi
Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa setiap manusia diberi kecenderungan
nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap Tuhan-Nya, adalah
firman Allah dalam surat Asy-Syams, ayat 7 – 10.
Firman tersebut dapat dijadikan
sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui
pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan perkembangannya
kepada jalan kebenaran yaitu Islam. Dengan tanpa melalui usaha
pendidikan, manusia akan terjerumus ke jalan yang salah atau sesat yaitu
menjadi kafir. Firman Allah berikut ini menunjukkan bahwa manusia
diberi kebebasan untuk memilih antara dua jalan, yang benar atau yang
sesat. Jalan yang benar terbentang jelas dan jalan sesat juga terbentang
jelas.
“Dan Aku tunjukkan dua macam jalan (jalan yang benar dan jalan yang sesat”. (Al-Balad, 10).
“Sesunguhnya Aku telah menunjukkannya jalan itu; (tapi) ada kalanya ia
mensyukurinya (mengikuti jalan itu) dan ada kalanya ia mengkufurinya
(mengingkarinya)”. (Al-Insan, 3).
Ayat tersebut di
atas kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam fitrah-Nya, manusia
diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dari yang salah.
Kemampuan memilih tersebut, mendapatkan pengarahan dalam proses
kependidikan yang mempengaruhinya.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan
memilih yang terdapat di dalam fitrah (human nature) manusia berpusat
pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu
membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang
menjatuhkan pilihan yang benar secara tepat hanyalah orang yang
berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan sehat adalah
merupakan kemampuan fitrah yang dapat kembangkan melalui pendidikan dan
latihan.
Sejalan dengan interpretasi tersebut maka kita dapat
mengatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang disengaja yaitu
pendidikan dan latihan berproses secara interaktif dengan kemampuan
fitrah manusia. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam berproses secara
konvergensis, yang dapat membawa kepada paham konvergensi dalam
pendidikan Islam.
Perintis aliran ini adalah William Stern (1887 -
1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa
seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun
pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses
perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan
sama-sama memilki peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa waktu
lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan
yang sesuai dengan perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang
baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau
memang pada dari anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk
mengembangkan itu.
William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan
itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan-akan dua garis yang
menuju kesatu titik pertemuan sebagai berikut:
a. Pembawaan.
b. Lingkungan.
c. Hasil pendidikan / perkembangan.
Karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat kesatu titik). Jadi menurut teori konvergensi:
1. Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
2.
Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan
kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah
berkembangnya potensi yang kurang baik.
3. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Monday, May 13, 2013
PERSPEKTIF ISLAM TERHADAP ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI
Labels: Makalah Syari'ah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment