A. Pendidik Melalui ‘Ibrah
1. Pengertian ‘Ibrah
‘Ibrah berasal
dari kata ‘abara ar-tu’ya yang berarti menafsirkan mimpi dan
memberitahukan implikasinya bagi kehidupan si pemimpi, atau keadaan
setelah kematiannya dan ‘abara al-wadi berarti melintasi lembah dari
ujung satu ke ujung lain yang berlawanan. Artinya:-Raghib berkara asal
makna kata al-ibr adalah melintasi keadaan satu ke keadaan yang lain dan
kata ‘ubur dikhususkan untuk makna melintas di atas air. Dalam
penafsiran surat Yusuf, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa
al-‘itibar wal’ibrah berarti keadaan yang mengantarkan dari satu
pengetahuan yang terlihat menuju sesuatu yang tidak, atau jalasnya
berartimerenung dan berfikir.
2. Jenis ‘Ibrah Dalam Al-Qur’an Dan As-Sunah
a. ‘Ibrah melalui kisah
Setiap
kisah Qur’ani atau nabawi memilki tujuan kependidikan ketuhanan. ‘Ibrah
melalui kisah hanya dapat dicapai oleh orang yang berfikir sadar dan
orang yang hawa nafsunya tidak mengalahkan akal dan fitrah. Artinya, dia
mampu menarik kesimpulan dari kisah tersebut. Sehubungan dengan itu,
Allah SWT berfirman setelah menurunkan kisah Yusuf (Q.S. Yusuf III)
Pelajaran yang
dapat kita ambil dari kisah Yusuf adalah kekuasaan Allah untuk
menyelamatkan Yusuf setelah dilemparkan ke sumur, membebaskannya setelah
terkurung dalam penjara, mendidiknya menjadi raja setelah
diperjual-belikan sebagai budak dengan harga rendah. Mengokohkan
kedudukannya di muka bumi setelah tertawan dan terpenjara lama.
Menjadikannya mulia di hadapan saudara-saudaranya yang dulu
menzaliminya, serta menyatukan diri kembali dengan ayah dan
saudara-saudaranya setelah lama berpisah.
b. Mengambil pelajaran dari nikmat dan makhluk Allah
Berbagai
nikmat dan makhluk Allah yang telah disediakan bagi manusia dapat juga
menjadi “ibrah bagi manusia sebagaimana Firman Allah berikut ini dalam
Q.S. an-Nahl: 66-67.
c. Mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa sejarah
Al-Qur’an
telah mengisyaratkan beberapa peristiwa yang menonjol dan memilki
kaitan dengan peristiwa sesudahnya. Seperti perang badar dan ahzhab.
Al-Qur’an pun mengisyaratkan pelajaran dari berbagai peristiwa itu,
seperti dari perang Bani Nadhir, dmana Allah menyifati kejelasan mereka
dengan Firmannya dalam Q.S. al-Hasyir ayat 2.
Kaum kafir yang banyak melihat
kaum muslimin yang sedikit bagaikan dua kali jumlah mereka, hal itu
merupakan aturan dan pertolongan Allah. Dia mengimajinasikan jumlah kaum
muslimin yang banyak kepada kaum musyrikin sehingga hati mereka
berguncang dan ketakutan. Dari parestiwa itu kita dapat mengambil ‘Ibrah
bahwa kekuatan Allah dalam surat (an-Nur : 44).
3. Teknik Pengambil Pelajaran dari Suatu Peristiwa (Ibrah)
a. Eksperimen.
Tujuan
teknik eksperimen agar peserta didik mampu mencari dan menemukan
sendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya
dengan mengdakan percobaan sendiri.
b. Teknik penyajian kerja lapangan.
Tujuan
penyajian teknik kerja lapangan ini agar peserta didik dapat menghayati
dan partisipasi aktif dalam proses pekerjaan itu, serta menjadikan
kebiasaan dengan dirinya untuk memahami masalah, hambatan, dan
penyelesaian pekerjaan yang dihadapi.
c. Teknik penyajian secara kasus.
Teknik
yang dilakukan dengan cara mengajar peserta didik melalui penyajian
suatu kasus yang dialami oleh peserta didik sendiri aatau orang lain.
d. Teknik penyajian Non-Directive.
Teknik
yang dilakukan dengan cara mengajar peserta didik melalui keterlibatan
dan kebiasaannya dalam melakukan observasi data yang diperoleh serta
membuat kesimpulan sendiri.
B. Mendidik Melalui Mau’izah
Metode
al-Mau’idah, yakni metode pendidikan Islam yang menerapkan
nasehat-nasehat secara lesan maupun tulisan melalui berbagai
perumpamaan, cerita dan sindiran.
Di dalam kamus al-Muhith terdapat
kata “wa’azhahu ya’izhhu, wa’izhah” yang berarti mengingatkannya”
terhadap sesuatu yang dapat meluluhkan hatinya dan sesuatu itu dapat
berupa pahala maupun siksa, sehingga dia menjadi ingat. Mau’idhah ialah
nasehat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan
pahala atau ancamannya.
Rasyid Ridha, tatkala menafsirkan surat
al-Baqarah ayat 232, menyimpulkan bahwa mau’izah adalah nasehat dengan
cara menyntuh kalbu (lihat al-Nahlawi. 189: 403). Kata wa’z hu dapat
berarti macam-macam:
Pertama, berarti nasehat, yaitu kajian bahasan
tentang kebenaran dengan maksud mengajak orang dinasehati untuk
mengamalkannya. Nasehat baik itu harus bersumber pada yang Maha baik,
yaitu Allah.
Kedua, Mau’izah berarti tadzkir (peringatan). Yang
memberi nasehat hendaknya berulang kali mengingatkan agar nasehat itu
meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasehati tergerak untuk
mengikuti nasehat itu. Dalam sebuah hadits diceritakan: Rasullulah SAW
menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, yang membuat hati kami
bergetar, dan karenanya mata kami mengeluarkan air mata. Maka kami
berkata, “Wahai Rasullulah, seakan-akan ia merupakan nasehat orang yang
menitipkan maka nasehatilah kepada kami.” (hadits, lihat al-alnahwawi,
1989: 410).
Nasehat yang menggetarkan hanya mungkin bila:
Yang memberi nasehat merasa terlibat dalam isi nasehat itu, jadi ia sering dalam memberi nasehat.
Yang menasehati harus merasa perhatian terhadap nasib orang yang dinasehati.
Yang menasehati harus ikhtiar, artinya lepas dari kepentingan pribadi secara duniawi.
yang memberi nasehat berulang-ulang melakukannya.
Analisi Terhadap Konsep Dan Bentuk Nasehat.
Berdasarkan
perenungan terhadap tafsir al-Manar dan tafsir lain tentang ayat-ayat
al-Qur’an yang mengandung kata wa’azha dapat disimpulkan bahwa nasehat
memilki beberapa bentuk dan konsep, dan yang terpenting adalah:
1.
Pemberian nasehat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan
sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinasehati menjahui kemaksiatan
sehingga terarah pada sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan
keuntungan. Syarat terpenting ketulusan nasehat harus datang dari
penasehat yang tidak menyandarkan pemberian nasehatnya pada kepentingan
duniawi dan material dari diri pribadi. Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan hal ini tatkala menuturkan dialok yang terjadi antara para
Rasul dengan kaumnya. Allah berfirman melalui seruan kepada Rasul-Nya,
Muhammad SAW dalam surat al-Furqan: 57.
2.
Pemberian peringatan dalam hal ini si pemberi nasehat harus menuturkan
kembali konsep-konsep dan peringatan-peringatan ke dalam ingatan objek
nasehat sehingga konsep dan peringatan itu dapat menggugah berbagai
perasaan dan emosi yang mendorongnya untuk melakukan amal soleh dan
segera menuju ketaatan kepada Allah serta pelaksanaan berbagai
perintah-Nya.
Peringatan dapat terjadi melalui berbagai sarana diantaranya:
Pertama,
peringatan melalui kematian. Dalam hal ini, Umar bi Khatab menyeru
dirinya sendiri tentang kematian tersebut: “Hai Umar, cukuplah kematian
sebagai juru nasehat”. Rasa takut kepad Allah dan perhitungan setelah
kematian dihadapan Allah menjadikan Umar mengucurkan air mata yang
bekasnya jelas dikedua piinya.
Kedua, peringatan melalui sakit.
Kehidupan senantiasa ancam berbagai musibah dan penyakit. Kedatangan
musibah atau penyakit merupakan perkara yang mengejutkan manusia dan
tidak jarang menjadi penyebab meninggalnya seseorang. Sehubungan dengan
itu, Rasullulah SAW bersabda: “Ya Allah, tiada kehidupan kecuali
kehidupan di akhirat.” Dan Allah berfirman dalam surat (al-Ankabut: 64)
Ayat tersebut merupakan nasehat bagi orang yang berakal,
memikirkan kehidupan, serta keadaan dunia yang terus berkurang dan
menyusut. Dan ini menyebabkan halnya rasa tunduk, rasa takut, dan rasa
taat kepada berbagai perintah Allah sehingga mereka tersadarkan dari
kekeliruan dan penyelewengan hidup.
Ketiga, peringatan melalui hari
perhitungan amal, yaitu hari bergantinya bumi dan langit menjadi bumi
dan langit yang berbeda dengan yang ada sekarang. Peringatan itu kadang
disertai berbagai nasehat, seperti yang terjadi dalam Q.S. ath-Thalaq:
2).
Monday, May 13, 2013
PENDIDIKAN MELALUI ‘IBRAH DAN MAU’IZA
Labels: Makalah Tarbiayah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment