Monday, May 13, 2013

PENDIDIKAN MELALUI ‘IBRAH DAN MAU’IZA

A. Pendidik Melalui ‘Ibrah
1. Pengertian ‘Ibrah
‘Ibrah berasal dari kata ‘abara ar-tu’ya yang berarti menafsirkan mimpi dan memberitahukan implikasinya bagi kehidupan si pemimpi, atau keadaan setelah kematiannya dan ‘abara al-wadi berarti melintasi lembah dari ujung satu ke ujung lain yang berlawanan. Artinya:-Raghib berkara asal makna kata al-ibr adalah melintasi keadaan satu ke keadaan yang lain dan kata ‘ubur dikhususkan untuk makna melintas di atas air. Dalam penafsiran surat Yusuf, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa al-‘itibar wal’ibrah berarti keadaan yang mengantarkan dari satu pengetahuan yang terlihat menuju sesuatu yang tidak, atau jalasnya berartimerenung dan berfikir.
2. Jenis ‘Ibrah Dalam Al-Qur’an Dan As-Sunah
a. ‘Ibrah melalui kisah
Setiap kisah Qur’ani atau nabawi memilki tujuan kependidikan ketuhanan. ‘Ibrah melalui kisah hanya dapat dicapai oleh orang yang berfikir sadar dan orang yang hawa nafsunya tidak mengalahkan akal dan fitrah. Artinya, dia mampu menarik kesimpulan dari kisah tersebut. Sehubungan dengan itu, Allah SWT berfirman setelah menurunkan kisah Yusuf (Q.S. Yusuf III)

Pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Yusuf adalah kekuasaan Allah untuk menyelamatkan Yusuf setelah dilemparkan ke sumur, membebaskannya setelah terkurung dalam penjara, mendidiknya menjadi raja setelah diperjual-belikan sebagai budak dengan harga rendah. Mengokohkan kedudukannya di muka bumi setelah tertawan dan terpenjara lama. Menjadikannya mulia di hadapan saudara-saudaranya yang dulu menzaliminya, serta menyatukan diri kembali dengan ayah dan saudara-saudaranya setelah lama berpisah.
b. Mengambil pelajaran dari nikmat dan makhluk Allah
Berbagai nikmat dan makhluk Allah yang telah disediakan bagi manusia dapat juga menjadi “ibrah bagi manusia sebagaimana Firman Allah berikut ini dalam Q.S. an-Nahl: 66-67.

c. Mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa sejarah
Al-Qur’an telah mengisyaratkan beberapa peristiwa yang menonjol dan memilki kaitan dengan peristiwa sesudahnya. Seperti perang badar dan ahzhab. Al-Qur’an pun mengisyaratkan pelajaran dari berbagai peristiwa itu, seperti dari perang Bani Nadhir, dmana Allah menyifati kejelasan mereka dengan Firmannya dalam Q.S. al-Hasyir ayat 2.

Kaum kafir yang banyak melihat kaum muslimin yang sedikit bagaikan dua kali jumlah mereka, hal itu merupakan aturan dan pertolongan Allah. Dia mengimajinasikan jumlah kaum muslimin yang banyak kepada kaum musyrikin sehingga hati mereka berguncang dan ketakutan. Dari parestiwa itu kita dapat mengambil ‘Ibrah bahwa kekuatan Allah dalam surat (an-Nur : 44).

3. Teknik Pengambil Pelajaran dari Suatu Peristiwa (Ibrah)
a. Eksperimen.
Tujuan teknik eksperimen agar peserta didik mampu mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan mengdakan percobaan sendiri.
b. Teknik penyajian kerja lapangan.
Tujuan penyajian teknik kerja lapangan ini agar peserta didik dapat menghayati dan partisipasi aktif dalam proses pekerjaan itu, serta menjadikan kebiasaan dengan dirinya untuk memahami masalah, hambatan, dan penyelesaian pekerjaan yang dihadapi.
c. Teknik penyajian secara kasus.
Teknik yang dilakukan dengan cara mengajar peserta didik melalui penyajian suatu kasus yang dialami oleh peserta didik sendiri aatau orang lain.
d. Teknik penyajian Non-Directive.
Teknik yang dilakukan dengan cara mengajar peserta didik melalui keterlibatan dan kebiasaannya dalam melakukan observasi data yang diperoleh serta membuat kesimpulan sendiri.
B. Mendidik Melalui Mau’izah
Metode al-Mau’idah, yakni metode pendidikan Islam yang menerapkan nasehat-nasehat secara lesan maupun tulisan melalui berbagai perumpamaan, cerita dan sindiran.
Di dalam kamus al-Muhith terdapat kata “wa’azhahu ya’izhhu, wa’izhah” yang berarti mengingatkannya” terhadap sesuatu yang dapat meluluhkan hatinya dan sesuatu itu dapat berupa pahala maupun siksa, sehingga dia menjadi ingat. Mau’idhah ialah nasehat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.
Rasyid Ridha, tatkala menafsirkan surat al-Baqarah ayat 232, menyimpulkan bahwa mau’izah adalah nasehat dengan cara menyntuh kalbu (lihat al-Nahlawi. 189: 403). Kata wa’z hu dapat berarti macam-macam:
Pertama, berarti nasehat, yaitu kajian bahasan tentang kebenaran dengan maksud mengajak orang dinasehati untuk mengamalkannya. Nasehat baik itu harus bersumber pada yang Maha baik, yaitu Allah.
Kedua, Mau’izah berarti tadzkir (peringatan). Yang memberi nasehat hendaknya berulang kali mengingatkan agar nasehat itu meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasehati tergerak untuk mengikuti nasehat itu. Dalam sebuah hadits diceritakan: Rasullulah SAW menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, yang membuat hati kami bergetar, dan karenanya mata kami mengeluarkan air mata. Maka kami berkata, “Wahai Rasullulah, seakan-akan ia merupakan nasehat orang yang menitipkan maka nasehatilah kepada kami.” (hadits, lihat al-alnahwawi, 1989: 410).
Nasehat yang menggetarkan hanya mungkin bila:
 Yang memberi nasehat merasa terlibat dalam isi nasehat itu, jadi ia sering dalam memberi nasehat.
 Yang menasehati harus merasa perhatian terhadap nasib orang yang dinasehati.
 Yang menasehati harus ikhtiar, artinya lepas dari kepentingan pribadi secara duniawi.
 yang memberi nasehat berulang-ulang melakukannya.
 Analisi Terhadap Konsep Dan Bentuk Nasehat.
Berdasarkan perenungan terhadap tafsir al-Manar dan tafsir lain tentang ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung kata wa’azha dapat disimpulkan bahwa nasehat memilki beberapa bentuk dan konsep, dan yang terpenting adalah:
1. Pemberian nasehat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinasehati menjahui kemaksiatan sehingga terarah pada sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan keuntungan. Syarat terpenting ketulusan nasehat harus datang dari penasehat yang tidak menyandarkan pemberian nasehatnya pada kepentingan duniawi dan material dari diri pribadi. Sesungguhnya Allah telah menjelaskan hal ini tatkala menuturkan dialok yang terjadi antara para Rasul dengan kaumnya. Allah berfirman melalui seruan kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW dalam surat al-Furqan: 57.
2. Pemberian peringatan dalam hal ini si pemberi nasehat harus menuturkan kembali konsep-konsep dan peringatan-peringatan ke dalam ingatan objek nasehat sehingga konsep dan peringatan itu dapat menggugah berbagai perasaan dan emosi yang mendorongnya untuk melakukan amal soleh dan segera menuju ketaatan kepada Allah serta pelaksanaan berbagai perintah-Nya.

Peringatan dapat terjadi melalui berbagai sarana diantaranya:
Pertama, peringatan melalui kematian. Dalam hal ini, Umar bi Khatab menyeru dirinya sendiri tentang kematian tersebut: “Hai Umar, cukuplah kematian sebagai juru nasehat”. Rasa takut kepad Allah dan perhitungan setelah kematian dihadapan Allah menjadikan Umar mengucurkan air mata yang bekasnya jelas dikedua piinya.
Kedua, peringatan melalui sakit. Kehidupan senantiasa ancam berbagai musibah dan penyakit. Kedatangan musibah atau penyakit merupakan perkara yang mengejutkan manusia dan tidak jarang menjadi penyebab meninggalnya seseorang. Sehubungan dengan itu, Rasullulah SAW bersabda: “Ya Allah, tiada kehidupan kecuali kehidupan di akhirat.” Dan Allah berfirman dalam surat (al-Ankabut: 64)
Ayat tersebut merupakan nasehat bagi orang yang berakal, memikirkan kehidupan, serta keadaan dunia yang terus berkurang dan menyusut. Dan ini menyebabkan halnya rasa tunduk, rasa takut, dan rasa taat kepada berbagai perintah Allah sehingga mereka tersadarkan dari kekeliruan dan penyelewengan hidup.
Ketiga, peringatan melalui hari perhitungan amal, yaitu hari bergantinya bumi dan langit menjadi bumi dan langit yang berbeda dengan yang ada sekarang. Peringatan itu kadang disertai berbagai nasehat, seperti yang terjadi dalam Q.S. ath-Thalaq: 2).

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com