Friday, June 8, 2012

HAK-HAK SUAMI ATAS ISTERI NUSYUZ DAN BATASAN-BATASANNYA


HAK-HAK SUAMI ATAS ISTERI NUSYUZ
DAN BATASAN-BATASANNYA
Terciptanya kebahagiaan dan ketentraman berumah tangga sangat tergantung pada komitmen suami-isteri dalam melaksanakan peran dan kewajiban masing-masing. Jika peran dan kewajiban mereka telah dilakukan secara baik, maka dapat dipastikan kehidupan perkawinan akan berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Akan tetapi, perjalanan suatu perkawinan tidak selalu tenang dan menyenangkan. Dalam berumah tangga, kadang-kadang muncul belbagai persoalan yang tidak dapat dihindari terutama jika di antara anggota keluarga tidak mau saling memahami dan bertenggang rasa. Apalagi jika tidak mau menjalankan apa yang disyari’atkan Islam dalam kehidupan berumah tangga, serta tidak berusaha menjalin hubungan suami-isteri atas dasar kaidah yang benar.
Kerap kali persoalan muncul secara tiba-tiba, dan itu dapat mengancam keharmonisan dalam rumah tangga sehingga perlu dicarikan solusi secepatnya agar kondisinya kembali menjadi tenang dan penuh cinta. Terhadap persoalan nusyuz, al-Qur’an memberi banyak gambaran bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikannya. Dalam penyelesaian persoalan nusyuz pada dasarnya kedua belah pihak (suami-isteri) harus dapat berperan aktif untuk dapat terciptanya rekonsuliasi diantara mereka sendiri.
Akan tetapi, dalam kitab-kitab fiqh pembahasan mengenai penyelesaian persoalan nusyuz seolah-olah lebih banyak diserahkan kepada pihak laki-laki, hal ini tentu saja dilatar belakangi pemahaman tentang konsep kepemimpinan laki-laki sebagai penguasa dan pengatur dalam rumah tangga juga pemahaman sebagau ulama fiqh yang kerap kali mengkaitkan persoalan nusyuz hanya kepada pihak perempuan (isteri) saja, sedangkan pihak suami dalam hal ini adalah seolah-olah menjadi pihak yang dirugikan oleh nusyuznya isteri tersebut sehingga ia diberikan kewenangan atau hak-hak tertentu dalam menyikapinya.
Sebelum masuk dalam pokok bahasan tentang apa saja hak-hak yang dimiliki suami berkaitan dengan kewenangannya dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dan sampai dimanakah batas-batas hak yang dimilikinya tersebut, terlebih dulu akan diuraikan sekilas dan secara umum tentang parameter dasar yang dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai apakah perlakuan seorang suami terhadap isteri nusyuz telah melampaui hak dan kewenangan atau tidak.
A.  Paramater Dalam Menentukan Batasan-Batasan Hak Suami
Minimal dua alasan mengapa batasan-batasan hak dan kewenangan suami perlu untuk didiskripsikan sacara jelas. Pertama, hal ini penting agar kemungkinan  terjadinya kesewenang-wenangan suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dapat dicegah. Kedua, untuk menghindari adanya klaim saling tuduh-menuduh antara suami-isteri tentang siapa yang sebenarnya sedang melakukan nusyuz, sebab tanpa adanya aturan yang jelas tentang batas-batas hak dan kewenangan suami, maka perlakuan suami terhadap isterinya secara kasar dan dinilai melampaui batas, dengan memukul, mencela dan mempergauli secara tidak baik, tidak memberikan hak-hak isteri seperti nafkah dan lain sebagainya, semua itupun dapat dikaitakan sebagai betuk sikap nusyuznya suami. Dan di sini isteri berhak mendapatkan perlindungan hukum sekaligus suami harus dikenakan tindakan secara hukum pula.
Terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan dalam menentukan batasan-batasan hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz. Hal ini menyangkut, pertama, prinsip-prinsip dasar pola relasi suami-isteri menurut Islam dalam kehidupan rumah tangga secara umum. Kedua, subtansi perbuatan nusyuz itu sendiri, sebagai sebuah perbuatan hukum yang harus dilihat dari segi kualitatatif maupun kuantitatif serta motifasi yang melatar belakanginya.
  1. Prinsip Dasar Pola Relasi Suami-Isteri
Bardasarkan kajian terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana diungkapkan oleh Khoiruddin Nasution terdapat minimal 5 prinsip perkawinan menyangkut pula di dalamnya adalah mengenai relasi suami-isteri, yaitu:
a.       prinsip musyawarah
b.      prinsip terwujudnya rasa aman, nyaman dan tentram
c.       prinsip anti kekerasan
d.      prinsip bahwa relasi suami-isteri adalah sebagai patner
e.       prinsip keadilan.
Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia juga dapat diketemukan beberapa prinsip dasar menyangkut relasi suami-isteri. Pertama, prinsip kebersamaan, dalam arti keduanya sama-sama berkewajiban dalam menegakkan rumah tangga. Kedua, prinsip musyawarah dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga. Ketiga, keduanya berkedudukan secara seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat. Keempat, mempunyai hak sama di depan hukum. Kelima, prinsip saling cinta, hormat-menghormati dan saling membantu.
Quraish Sihab sebagaimana dikutip dalam buku Wajah Baru Relasi Suami-Isteri, menyatakan bahwa akad nikah adalah penyerahan kewajiban-kewajiban perkawinan, sekaligus penerimaan di antara mereka selaku suami-isteri untuk hidup bersama selaku pasangan dan mitra yang berdampingan, menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka.
Begitu pula menurut Tolhah Hasan, hubungan suami-isteri dalam rumah tangga muslim bukanlah hubungan dominasi antara satu pihak terhadap pihak yang lainnya, tetapi hubungan yang harmonis dan saling menghormati. Dalam hal pergaulan suami-isteri, tidak hanya isteri yang dituntut untuk tidak berhianat kepada suami. Seorang suami pun wajib mempergauli isterinya secara baik dengan cara bersikap lembut terhadapnya dan tidak menyakiti hatinya dan melakukan segala hal yang mendatangkan rasa tentram, cinta dan damai.
Sebagai implementasi prinsip-prinsip di atas, dalam menyikapi persoalan nusyuz harus mempetimbangkan dua hal: pertama, keadilan. Artinya ketika isteri nusyuz mereka harus dipahami tidak hanya pada sisi ketidakpatuhannya saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh, misalnya bagaimana perlakuan suami terhadap isterinya, apakah hak-hak isteri sudah dipenuhi suami atau belum. Kedua, prinsip mua’syarah bil ma’ruf. Artinya masing-masing harus tetap mempergauli secara baik, tidak terkecuali dalam menyikapi salah satu pasangan yang sedang nusyuz.
  1. Subtansi Hukum Perbuatan Nusyuz Dan Tujuan Pemberian Sanksi
Dalam menyikapi isteri yang nusyuz, yang terpenting juga adalah harus dapat melihat persoalan tersebut secara subtantif. Artinya, melihat persoalan itu sebagai suatu permasalahan hukum yang harus memiliki unsur-unsur tertentu untuk bisa disebut sebagai perbuatan hukum. Yang dalam hal ini harus memenuhi tiga unsur; pertama, unsur formil, yaitu adanya undang-undang atau nas yang mengatur hal itu. Kedua, unsur matriil. yaitu adanya sifat melawan hukum, dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ketiga, unsur moril, yaitu pelakunya dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum.
Jika dikaitkan dengan persoalan nusyuz maka untuk mengetahui apakah suatu perbuatan ‘ketidaktaatan’ tertentu seorang isteri dapat dikategorikan sebagai sikap nusyuz atau tidak maka hal itu dapat dilihat dari ada tidaknya dasar hukum yang menjelaskannya. Begitu pula perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum. Artinya, bahwa perbuatan tersebut harus bersifat telah pasti terjadinya, tidak hanya berdasarkan praduga atau perkiraan semata. Oleh karena itu untuk mengetahui telah terjadinya perbuatan nusyuz para mufassir berangkat dari pemaknaan atas kata "خوف" dalam rangkaian kalimat awal Ayat surat an-Nisa’ (4): 34 (واللا تى تخافون) yang menurut mereka memiliki dua arti yaitu ظن (prasangka) dan علم (pengetahuan), walaupun sebagian mufassir ada yang lebih condong menggunakan arti yang pertama seperti al-Jamal dan ar-Razi.
Begitu pula masuk dalam pengertian subtansi hukum perbuatan nusyuz di sini adalah segi kualitatif, kuantitatif dan latar belakang pemicu perbuatan itu sendiri. Hal ini tentu saja karena jenis, sifat dan bentuk dari perbuatan nusyuz tersebut sangat beragam, sehigga diperlukan pengkategorian secara spesifik untuk dapat menentukan masuk dalam klompok apa bentuk perbuatan itu, ringan, sedang ataukah berat. Sehingga dalam menyikapinya pun suami dapat dinilai apakah ia telah berlebihan atau tidak.
Adapun tujuan penjatuhan sanksi terhadap isteri nusyuz juga dapat dugunakan sebagai paremeter seorang suami dalam melakukan hak-haknya, begitu pula dapat digunakan untuk menilainya, apakah dia telah melampaui batas-batas hak dan kewenanganya atau belum. Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan sanksi dapat dibagi menjadi lima hal, yaitu: (1) pembalasan (revenge), (2) penghapusan dosa (expiation), (3) menjerahkan (deterrent), (4) perlindungan terhadap umum (protektion of the public), (5) memperbaiki si pelaku (rehabilitation). Dan dari kelima tujuan tersebut yang paling cocok untuk dijadikan peganggan bagi suami dalam menindak isteri yang nusyuz tentu saja adalah tujuan yang nomor tiga dan lima.
Dalam hal tujuan penjatuhan sanksi terhadap isteri yang nusyuz maka tidak lain hal itu sebagai media pembelajaran terhadap isteri. Begitu pula menurut Sa’id Hawa bahwa hak-hak yang dimiliki suami dalam memperlakukan isteri nusyuz tidak lain merupakan upaya ‘penggobatan’ terhadap isteri.
Begitu pula dalam metode penerapannya menurut pendapat Syafi’i sebagaimana dikutip oleh ar-Razi bahwa tiap-tiap tahapan harus saling berurutan, selama cara pertama dapat mengatasi maka tidak perlu memakai yang selebihnya. Seperti misalnya dalam tahap hijr, sebaiknya dimulai dalam bentuk hijr lisan lalu tempat tidur kemudian baru mubasyarah (bersetubuh).
Menurut Muhammad Abduh dan kebanyakan para mufassir yang lain bahwa memang sudah menjadi keharusan jika dalam penerapan tiap-tiap tahapan berurutan, walaupun pada kenyataannya adanya huruf ‘wau’ diantara kalimat-kalimat yang ada tidak dimaksudkan dengan makna littartib (berurutan), sebab hal itu menurutnya sudah dapat diketahui dengan petunjuk nalar rasio.
B.  Macam-macam Hak Suami Atas Isteri Nusyuz    
Hak atau wewenang adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Menurut L. J. Van Apeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh C.S.T. Kansil mendefinisikan hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi sesuatu kekuasaan.
Dalam ilmu hukum hak dibedakan menjadi dua, hak mutlak (absolut) dan hak nisbi (relatif). Hak mulak ialah hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, dan hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Seperti hak marital, hak suami untuk menguasai isterinya dan harta bendanya. Sedangkan hak nisbi atau relatif  ialah hak yang memberikan wewenang  kepada seseorang atau beberapa orang untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang yang lain tertentu untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan peneliti berkaitan dengan persoalan nusyuz secara umum, maka terdapat minimal tiga hak atau kewenangan yang dimiliki suami, dan selama ini dianggap sebagai hak bersifat mutlak (absolut) karena adanya beberapa alasan yang mendukungnya. Hal ini tentu saja berakar dari pemahaman dan penafsiran atas ayat an-Nisa’ (4): 34 secara keseluruhan terutama menyangkut konsep kedudukan dan relasi suami isteri dalam rumah tangga.
Hampir secara keseluruhan ulama sepakat bahwa laki-laki (baca: suami) adalah pemimpin bagi perempuan (baca: isteri) dengan dua alasan. Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Dan kedua, karena  nafkah yang mereka keluarkan untuk keperluan isteri dan rumah tangga lainnya. Sekalipun ulama sepakat dengan kelebihan laki-laki atas perempuan, tetapi dalam menjelaskan faktor-faktor sebagai penyebab nilai lebih laki-laki atas perempuan tersebut terdapat perbedaan.
Dalam menafsirkan Ayat tersebut, Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq At-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil menyatakan bahwa suami adalah pemimpin terhadap isterinya dalam rumah tangga. Kalimat kunci yang menjadi  landasan adalah   الرّجـال قوّامون على النساء. Oleh Az-Zamakhsyari,  kalimat  tersebut  ditafsirkan  dengan  يقـومـون عليهن آمرين ناهين كما يقوم الولاة على الرعايا (kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya). Dengan fungsi itulah laki-laki dinamakan qawwam. Alasan mengapa suamilah yang menjadi pemimpin rumah tangga, Al-Zamakhsyari menafsirkan Ayat:
بما فضّل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم
Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka dan memberikan mahar.
Adapun dua alasan kenapa laki-laki yang memimpin perempuan dalam rumah tangga adalah:
Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Kata ganti hum pada kalimat بمافضّل الله بعضهم على بعض  menurut Az-Zamakhsyari berlaku untuk kedua-duanya, laki-laki dan perempuan.
Kedua, adalah karena laki-laki berkewajiban membayar mahar dan mengeluarkan nafkah keluarga.
Sebagai konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan dengan dua alasan seperti yang telah diuraikan di atas, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa perempuan-perempuan yang saleh (fa assalihat), dalam lanjutan Ayat ini adalah perempuan-perempuan yang ta’at (qanitat) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hafizat li al-ghaib), termasuk juga menjaga rahasia suami.
Dengan menyebutkan hadits riwAyat Ibn Jarir dan Baihaqi dari Abu Hurairah r.a., dia berkata. Rasulullah SAW bersabda:
خيرالنساء امرأة إذا نظرت اليها سرّتك وإن امرتها أطاعتك وإن غبت عنها حفظتك فى نفسها ومالك
“Sebaik-baik isteri adalah perempuan yang apabila engkau memandangnya menggembirakanmu, apabila engkau memerintahnya dia patuh padamu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya dia akan menjaga dirinya dan harta bendamu.”
Kata Abu Hurairah: Kemudian Rasulullah  SAW.  membaca:
الرجال قوامون على النساء
Begitu pula pendapat at-T{abari dalam menafsirkan الرجال قوامون على النساء ia menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa alasan tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi pendidikannya serta kewajibannya untuk memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal ini pula yang tercermin dalam kalimat وبما أنفقوا من أموالهم  yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan kifayah.
Lebuh lanjut ia menjelaskan tentang keutamaan laki-laki dapat juga ditinjau dari sudut kekuatan akal serta kekuatan fisiknya, sehingga kenabian pun menjadi hak bagi kaum laki-laki. Dengan dasar kekuatan akal dan fisik inilah, maka at-T{abari menyatakan dengan tegas bahwa kepemimpinan dalam bentuk al-Imam al-Kubra (khalifah) dan al-Imam as-Sughra seperti imam salat, kewajiban jihad, azan, iktikaf, saksi, hudud, qisas, perwalian dalam nikah, talak, rujuk dan batasan jumlah isteri, semuanya didasarkan kepada laki-laki.
Ar-Razi juga memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dengan at-T{abari mengenai masalah kepemimpinan laki-laki atas perempuan, menurutnya hal itu dikarenakan adanya keutamaan dalam diri laki-laki sebagaimana firman Allah, بما فضل الله بعضهم على بعض ia mengatakan bahwa keutamaan laki-laki itu berdasarkan dua aspek; hakiki dan syar’i. Secara hakiki laki-laki memiliki kelebihan dalam hal akal dan ilmu. Dalam segi syar’i laki-laki memiliki kontribusi dan peran optimal dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah tanpa ada halangan apa pun.
Sedangkan menurut Muhammad Abduh pengertian kepemimpinan laki-laki dalam surat an-Nisa’ (4): 34 itu adalah memiliki arti menjaga, melindungi, menguasai dan mencukupi kebutuhan perempuan. Sebagai konsekwensi dari kepemimpinan itu adalah laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak daripada perempuan dalam hal kewarisan, karena laki-laki bertanggung jawab terhadap nafkah mereka. Adapun perbedaan taklif dan hukum antara laki-laki dan perempuan menurutnya adalah akibat dari perbedaan fitrah dan kesiapan individu (potensi), juga sebab lain yang sifatnya kasabi, yaitu memberi mahar dan nafkah. Jadi sudah sewajarnya apabila laki-laki (suami) yang memimpin perempuan (isteri) demi tujuan kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Melengkapi penjelasan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa termasuk dalam kategori kepemimpinan adalah akad nikah yang berada pada kekuasaan laki-laki dan laki-lakilah yang berhak menjatuhkan talak. Sementara itu menurut dia, alasan yang dikemukakan oleh para mufassir tentang kelebihan laki-laki terhadap perempuan, seperti menjadi nabi, imam, mu’azin, khatib jum’at dan sebagainya bukanlah yang dimaksud oleh Ayat ini.
Berangkat dari akar pemikiran tentang konsep kepemimpinan laki-laki atas perempuan seperti di atas, selanjutnya hal ini berimplikasi dalam memahami persoalan nusyuz. Az-Zamakhsyari berpendapat. oleh karena isteri mempunyai kewajiban untuk patuh kepada suami sebagai pemimpin rumah tangga, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka apabila isteri nusyuz (tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri, tidak patuh atau melawan kepada suaminya), suami berhak bertindak dalam tiga tahapan: (1) menasehatinya (fa ‘izuhunna); (2) pisah ranjang (wahjuruhunna fi al-madaji’i); (3) memukulnya (wadribuhunna).
Seperti halnya Az-Zamakhsyari, al-Alusi juga berpendapat sama, kewenangan suami untuk memperlakukan isteri yang nusyuz merupakan konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Kedua mufassir ini sepakat bahwa perempuan-perempuan yang saleh (fa as-salihat), dalam lanjutan Ayat tersebut adalah perempuan-prempuan yang taat (qanitat) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hafizat li al-ghaib), termasuk juga menjaga rahasia suami. Tetapi ada perbedaan sedikit antara 'Al-Alusi dengan mufassir lainnya dalam menafsirkan  kata qanitat. Bagi Al-'Alusi, kata tersebut berarti perempuan-perempuan yang patuh kepada Allah dan suami-suami mereka. Sedangkan Az-Zamakhsyari dan Sa’id Hawa menafsirkan qanitat adalah perempuan-perempuan yang patuh pada suaminya, sebagaimana disebut di atas tanpa menyebutkan terlebih dahulu patuh kepada Allah.
Begitu pula menurut keempat mufassir yang lain yaitu at-T{abari, ar-Razi, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pendapat keempat mufassir tersebut bisa dikatakan hampir sama dengan pendapat az-Zamakhsyari maupun al-Alusi seperti di atas, dalam menyikapi isteri yang nusyuz karena laki-laki menempati posisi sebagai kepala rumah tangga maka ia diberikan kewenangan atau hak dalam mendidik atau juga dapat dikatakan sekaligus untuk menindak isteri mereka yang nusyuz tersebut dengan melakukan tiga tahap cara yang telah dijelaskan al-Qur’an; menasihati, memisahi ranjang dan memukul. Ketiga tahap tersebut harus dilakukan suami secara bijak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri.
Demikianlah akar pemikiran tentang kepemimpinan dalam rumah tangga yang sekaligus berimplikasi terhadap kewenangan suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dengan berangkat dari penafsiran terhadap surat an-Nisa’ (4); 34. Dalam hal kewenangan ‘mengasingkan’ isteri (hijr), memukul, mencegah hak nafkahnya dan menjatuhi talak semua itu merupakan konsekuensi logis dari pemahaman mereka bahwa suami adalah  pemimpin rumah tangga, dan ini mendapat sorotan dari kalangan feminis Muslim.
 Dan mengenai hak-hak yang dimiliki suami tersebut akan diperinci dan sekaligus akan dikemukakan batasan-batasannya menuru perspektif hukum sebagai berikut:
1.  Hak Persuasif dan Sanksi Fisik
Dengan merujuk dalam al-Qur’an pada surat an-Nisa’ (4): 34, seorang suami diberikan tiga hak yang merupakan bentuk dari kewenanganya dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz. Yaitu: (1) menasihatinya, (2) memisahi tempat tidurnya (menghindari untuk berhubungan badan), (3) diperbolehkan memukulnya.
2.  Hak Mencegah Nafkah
Para ulama maz\hab sepakat bahwa isteri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah tersebut. Demikian pula menurut Sayyid Sabiq, bahwa suami berhak menta'zir isterinya yang nusyuz, seperti dengan pencegahan nafkah disamping melakukan tindakan-tindakan yang telah ditentukan dalam al-Qur'an, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Menurut Muhammad Ali Sabikh, apabila seorang isteri berlaku nusyuz yaitu isteri yang durhaka terhadap suami atau keluar rumah tanpa seizin suami dan tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka:
a.       menggugurkan haknya untuk mendapatkan nafkah.
b.      Menggugurkan nafkahnya yang berupa kebendaan
c.       Gugur pula nafkah yang terhutang.
Dengan berdasarkan atas kaidah fiqh alasan gugurnya kewajiban suami memberi nafkah tersebut dapat dianggap suatu yang logis karena kedurhakaan isteri kepada suaminya dalam rumah tangga itu harus dihilangkan, hal ini sesuai kaidah fiqh yang berbunyi;
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
Karena isteri meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suami pun boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pencegahan nafkah bagi isteri yang nusyuz juga diakui, sebagaimana yang disebutkan disana bahwa kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5): nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan, semua itu akan menjadi gugur apabila isteri nusyuz. Dan hak-hak tersebut dapat diperoleh isteri lagi jika ia tidak nusyuz lagi.
3.  Hak Talak
Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena:
a.       Kematian
b.      Perceraian; dan
c.       Atas keputusan pengadilan
Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal selanjutnya bahwa untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
Suami-isteri yang sudah tidak dapat hidup rukun lagi karena terjadinya nusyuz oleh salah satu pihak atau kedua-duanya secara bersamaan (syiqaq) dan telah diupayakan sekuat tenaga untuk menyelesaikanya secara damai, baik oleh kedua belah pihak yang bersangkutan sendiri atau melalui pihak ketiga sebagai mediator, maka dalam kondisi seperti ini sudah tidak ada cara lain kecuali memutuskan hubungan tali perkawinan suami-isteri tersebut agar situasi tidak semakin parah dan dapat memicu terjadinya tindak kekerasan.
Menurut pendapat prof. Mahmud Yunus bahwa sebab-sebab yang memperbolehkan menjatuhkan talak dengan tiada dibenci oleh Allah ialah:
a.       isteri berbuat zina
b.      isteri nusyuz setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya
c.  isteri suka mabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang menggangu keamanan rumah tangga, dan lain-lain, sebab yang berat yang tidak memungkinkan berdirinya rumah tangga dengan damai dan teratur.
C.  Batasan-Batasan Hak Suami Dalam Memperlakukan Isteri Nusyuz
Walapun pada dasarnya persoalan nusyuz tidak selalu muncul dari pihak isteri akan tetapi juga dapat timbul dari pihak suami, namun pada kenyataannya hak-hak yang dimiliki oleh suami selama ini lebih dominan dan mendapatkan pengakuan secara yuridis. Artinya, secara hukum maupun secara realitas di lapangan pihak suami selalu menjadi pihak yang menang dan diuntungkan ketika persoalan nusyuz terjadi, sedangkan bagi pihak isteri kerap kali menjadi korban yang dipersalahkan. Oleh karena itu batasan hak-hak suami di sini perlu untuk ditegaskan.
1.   Hak Persuasif dan Sanksi Fisik
Dalam Tafsir Ibnu Kas\ir diterangkan bahawa bila kamu menghawatirkan nusyuz dari pihak isteri-isteri kamu, maka nasihatilah mereka, dan pisahkan dirimu di tempat tidur mereka, jika nasehatmu diacuhkan maka janganlah mereka diajak bicara tanpa memutus pernikahanmu dengan mereka, dan jika semua itu tidak berhasil juga, maka kamu boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak merusak bagian-bagian tubuhnya terutama wajah dan kepalanya. Dalam hal ini bahwa tindakan bertahap yang dapat dilakukan oleh suami terhadap isteri yang nusyuz adalah:
a.      Menasihati (فعظوهنّ )
Dalam rangka menyikapi persoalan nusyuz ini, langkah pertama yang ditawarkan dalam al-Qur'an adalah dengan memberikan nasehat (advice) secara bijaksana kepada isteri yang nusyuz. Tentu saja nasehat kepada isteri berbeda antara satu dengan yang lainya, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi, karena diantara mereka ada yang terpengaruh oleh sanksi-sanksi duniawi, seperi dimusuhi dan lain-lain ada juga yang tidak.
Nasihat merupakan upaya persuasif dan langkah edukasi pertama yang harus dilakukan seorang suami ketika menghadapi isteri yang nusyuz. Hal ini ditujukan sebagai cara perbaikan secara halus untuk menghilangkan semua kendala-kendala yang mengusik hubungan cinta kasih suami-isteri. Hampir seluruh ulama berpendapat sama, yakni, amat pentingnya cara memberi nasihat ini, sehingga hal ini menjadi urutan pertama dalam upaya menyelesaikan permasalahan nusyuz.
Suami hendakanya menggigatkan kembali tentang ikatan janji yang kuat (mis\aqan galiza) diantara mereka yang tidak boleh pudar begitu saja oleh hati maupun aqal. Kepada isteri juga disampaikan akibat buruk yang akan menimpa hubungan mereka apabila ia tetap dan meneruskan jalanya itu. Dalam Tafsir al-Bahru al-Muhit dijelaskan dalam usaha menasihati isteri yang nusyuz tersebut tidak lupa dengan mengingatkan kepadanya akan perintah Allah untuk taat kepada suami. Hal ini senada dengan apa yamg diungkapkan oleh Abu Bakar Al-Jassas bahwa menasihati yaitu menakut-nakuti isteri dengan siksaan Allah.
Mau’idah atau nasihat merupakan upaya persuasif yang penting dan sudah semestinya selalu dikedepankan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi antara suami-isteri dalam rumah tangga. Namun jika persoalan yang mereka hadapi terasa semakin berat dan diantara mereka tidak ada lagi pihak yang mau memulai untuk mengambil inisiatif damai secara persuasif ini, maka mereka dapat mendatangkan mediator pihak lain sebagai perwakilan mereka guna mendiskusikan persoalan yang sedang terjadi. Upaya persuasif dengan jalan musyawarah dan diskusi dengan memakai mediator ini sendiri disinggung al-Qur’an secara langsung;
وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلا حا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا
Diharapkan dengan adanya sikap saling memberikan nasihat secara baik dan bijak akan dapat menciptakan kondisi relasi suami-isteri dan kehidupan rumah tangga secara umum kembali harmonis dan kondusif. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan adanya suasana musyawarah dan dimokratis dalam kehidupan rumah tangga. Musyawarah berarti dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan musyawarah minimal antara suami-isteri. Sedangkan maksud demokratis adalah bahwa antara suami dan isteri harus saling terbuka untuk dapat menerima pandangan dan pendapat pasanganya.
Terciptanya suasana musyawarah dan demokratis dalam rumah tangga pada ahirnya akan menjadikan pasangan suami-isteri dalam menjalankan kewajiban dan memperoleh hak secara berimbang dan sejajar. Dan dari sini diharapkan dapat memunculkan sikap diantara mereka untuk:
1)      saling mengerti, mengerti latar belakang masing-masing dan diri sendiri.
2)      saling menerima, menerima sebagaimana adanya menyangkut kelebihan dan kekurangan pasangannya.
3)      saling menghormati, menghormati perasaan, keinginan dan pribadi masing-masing.
4)      saling mempercayai.
5)      saling mencintai, bijaksana dan menjahui sikap egois.
b.      Pisah ranjang (واهجروهنّ)
Secara etimologis hijr berarti meniggalkan, memisahkan dan tidak berhubungan dengan obyek yang dimaksud. Sedangkan kata al-Madaji' yang menjadi rangkaian kata hijr berarti tempat tidur atau tempat berebah. Secara epistemologis atau istilah para fuqaha', hijr adalah seorang suami yang tidak menggauli isterinya, tidak mengajaknya bicara, tidak mengadakan hubungan atau kerja sama apapun dengannya.
Sedangkan hijr menurut pendapat Ibn 'Abbas sebagaimana yang juga dikutip oleh as-Sabuni adalah sikap seorang suami yang memiringkan pinggang dan memalingkan pungungnya dari isterinya serta menghindari melakukan hubungan badan denganya. Pendapat yang lain mengatakan tentang hijr yaitu suami yang meninggalkan tempat tidur isterinya dan menjauhkan diri untuk kontak denganya. Jadi batasanya jarak mengenai hijr itu sendiri dapat dikatakan sebatas kontak fisik, tempat tidur atau maksimal sebatas dalam rumah.
Dari pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa hijr dapat berbentuk ucapan atau perbuatan. Hijr dengan ucapan artinya suami tidak memperhatikan atau memperdulikan perkataan isterinya serta tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan hijr dengan perbuatan adalah bahwa suami berpisah tempat tidurnya dari isterinya atau sekedar tidak mengaulinya, atau memisahkan diri dari kamarnya.
Para ulama sepakat membolehkan hijr dengan ucapan selama tidak melebihi dari tiga hari. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis Abu Ayyub al-Ansariy, bahwa Rasulullah bersabda:
لايحل لمسلم ان يهجر أخاه فوق ثلاث ليال
Mengenai hijr dengan perkataan ini sebenarnya tidak ada ketentuan batas waktunya. Oleh karena itu para ulama membatasi waktunya dengan menganaloqikannya kepada hukum illa’, yang menurut syara’ ditentukan selama 4 (empat bulan). Sebagaimana dijelaskan al-Qur’an:
للذين يؤلون من نسائهم تربص أربعة أشهر فإن فاءو فإن الله غفوررحيم
Hanya saja batasan ini bukanlah batasan yang mutlak. Artinya boleh juga hanya sebulan dan sudah dianggap cukup untuk mengambil sebuah tindakan selanjutnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap isteri-isterinya.
Adapun batas waktu hijr dengan perbuatan yang berupa sikap menjahui dan tidak melakukan hubungan intim dapat dilakukan suami tanpa batas, selama yang diinginkanya, selagi hal itu dipandang dapat menyadarkan isteri, asal tidak lebih dari empat bulan berturut-turut, karena jangka waktu empat bulan adalah batasan maksimal yang tidak boleh dilampaui, sesuai pendapat yang terkuat dari pendapat ahli hukum. Hal ini juga sebagaina yang dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Qurtubi bahwa suami dibolehkan tidak mengauli isterinya selama empat bulan dalam upaya menyadarkan isterinya.
Pada dasarnya jika diteliti lebih jauh tahap hijr ini masih merupakan upaya lanjut yang merupakan hak dari suami dalam menyikapi isteri nusyuz secara persuasif sebelumnya yaitu Mau’idah yang mana kedua langkah tersebut merupakan usaha bijaksana untuk rekonsisiliasi, penyatuan kembali dengan melakukan intropeksi diri masing-masing pasangan. Kalau perlu, dalam tahap intropeksi dan perenungan diri ini dilakukan dengan pisah ranjang sementara  (al-tahjir fil madaji’).
Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nurjannah Ismail ia berpendapat bahwa langkah kedua ini, yaitu menjahui isteri dari tempat tidurnya merupakan sanksi dan pelajaran yang diberikan kepada isteri yang sangat mencintai suami dan amat menderita bila dikucilkan. Menjahui tempat tidur bukan berarti harus meninggalkan tempat tidur atau kamar tidur untuk tidak tidur bersama isteri, karena itu malah akan dapat menambah kebandelan isteri. Sebab dengan masih tidur bersama isteri walaupun tidak mencampurinya diharapkan akan mampu menetralisir emosi suami dan isteri, sehingga jiwa menjadi tenang dan pertengkaran dapat diatasi.
Oleh karena itu pemahaman tentang hijr yang selama ini lebih dipahami sebagai hak suami untuk ‘menghukum’ isterinya yang nusyuz dengan menjahuinya, mendiamkannya dan tidak melakukan hubungan badan dengannya merupakan pemahaman yang berlebihan. Sebab ketika tahap hijr diartikan seperti itu maka tentu saja persoalan yang ada di antara suami-isteri tidak akan selesai-selesai bahkan akan berlarut-larut. Hal itu ditambah lagi perasaan kecewa isteri karena kebutuhan psikologis dan biologisnya tidak terpenuhi oleh sikap suami yang berusaha menjahuinya.
Pencegahan atau kekurang puasan salah satu pasangan dalam urusan penyaluran biologis sendiri dapat memicu berbagai masalah yang dapat menganggu keharmonisan relasi suami-isteri antara lain penyelewengan, perzinahan dalam berbagai bentuknya dan perceraian.
Dalam urusan penyaluran kebutuhan biologis Islam senantiasa menekankan arti penting keadilan diantara suami-isteri agar terjamin keadilan seksual sebagai kebutuhan biologis mereka secara berimbang. Hal ini sebagaimana disinggung oleh al-Qur’an sendiri, diantaranya:
ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف وللرجال عليهن د رجة والله عزيز حكيم
Dalam Ayat lain juga disebutkan:
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن
Ulama mazhab Hanafi berpendapat isteri boleh menuntut suami untuk melakukan persetubuhan dengannya, karena kehalalan suami bagi isteri merupakan hak isteri, begitu pula sebaliknya jika isteri menuntutnya maka suami wajib memenuhinya, ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa melakukan persetubuhan adalah kewajiban suami-isteri jika tidak ada uzur (alasan yang dibenarkan secara syar’i).
Begitu pula masalah kewajiban isteri untuk melayani suami dalam berhubungan badan, al-Syirazi berpendapat bahwa meskipun pada dasarnya isteri wajib melayani permintaan suami, akan tetapi jika ia tidak ‘mud’ atau sedang tidak bergaira untuk melayaninya ia boleh menawarnya atau menagguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi isteri yang sedang sakit atau tidak enak badan maka tidak wajib baginya untuk melayaninya sampai sembuh. Jika suami tetap memaksa maka dia telah melanggar prinsip muasyarah bi al-ma’ruf dengan berbuat aniaaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi.
 Oleh karena itu suami tidak boleh mengklaim isterinya telah melakukan nusyuz hanya gara-gara dia tidak bersedia melayaninya di sesuatu ketika, karena hal itu harus juga mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri. Bahkan dalam persoalan hijr yang selama ini dipahami sebagai kewenangan suami untuk menjahui isteri yang nusyuz sebagai bentuk pembelajaran sekaligus pemberian sanksi sudah semestinya jika harus dikaji kembali, karena dengan melakukan hal itu pada dasarnya suami telah melupakan prinsip keadilan, keseimbangan dan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf . Dan dalam hal ini ia malah dapat dinilai telah melakukan nusyuz terhadap isterinya.
c.  Memukul (واضربوهنّ)
Dalam masalah pemukulan ini fuqaha' mendefinisikannya dengan pengertian yang masih umum, yaitu suatu perbuatan yang menyakitkan badan, baik meninggalkan bekas atau tidak, dengan mengunakan alat atau tidak.
Kalau diteliti lebih lanjut sebenarnya kalimat daraba berasal dari fi’il madi daraba – yadribu yang di dalam Al-Qur’an kata ini mempunyai banyak arti:
1) Jika dalam Ayat واضربوهنّ  jelas fi’il amr yang berasal dari fi’il madI bermakna pukul artinya seseorang yang menjatuhkan sesuatu dari anggota tangannya kepada orang lain.
2) Untuk Ayat وضرب الله مثلا kalimat fi’il madI ini bukan arti pukul, namun mempunyai arti i’tibar (perumpamaan).
3) Jika untuk Ayat عن اضرب بعصاك الحجر artinya fi’il amar yang tersebut sama artinya dengan pukul, hanya bedanya dengan suatu alat.
Bagi fuqaha yang berpendapat tentang dibolehkanya melakukan pemukulan, mereka mendasarkannya pada surat an-Nisa’ (4): 34 yang memiliki kronologi historis (sabab an-nuzul) sebagaimana diriwAyatkat oleh az-Zamakhsyari tentang peristiwa Sa’ad ibn Ar-Rabi’ ibn ‘Amr dan isterinya Habibah binti Zaid ibn Abi Zuhair sebagai peristiwa yang melatar belakangi turunya Ayat ini. DiriwAyatkan bahwa Habibah nusyuz terhadap suaminya Sa’ad, salah seorang pemimpin Ansar. Lalu Sa’ad memukul Habibah, puteri Zaid ibn Zuhair ini mengeluhkan perlakuan suaminya kepada ayahnya. Sang ayah kemudian mengadukan hal itu kepada Nabi. Nabi menganjurkan Habibah membalas dengan setimpal (qisas). Berkenaan peristiwa itulah turun surat an-Nisa’ Ayat 34 ini. Setelah Ayat turun, Nabi bersabda: “Kita  menginginkan  satu cara, Allah menginginkan cara yang lain. Yang diinginkan Allah itulah yang terbaik” (أردنا أمرا وأراد الله أمرا والذى أراد الله خير). Kemudian dibatalkan hukum qisas terhadap pemukulan suami itu.
Ada juga beberapa hadis yang dikerap kali dijadikan dasar dalam masalah ini oleh fuqaha, diantaranya:
ألآواستوصوا بالنساء خيرا, فإن هن عوان عندكم ليس تملكون منهن شيئا غير ذالك إلا أن يأتين بفاحشة مبينة, فإن فعلن فاههجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا غيرمبرح, فإن أطعنكم فلاتبغو عليهن سبيلا0 ألا إن لكم على نسائكم حقا0 فحقكم عليهن فلا يوطعن فروشكم من تكرهون ولايأذن فىبيوتكم لمن تكرهون ألاوحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن فىكسوتهن وطعامهن
Sebenarnya masih terdapat ayat lain yang cukup beralasan untuk dijadikan pembanding dalam mengkaji persoalan pemukulan terhadap isteri ini yaitu;
وخذ بيدك ضغثا فاضرب به ولاتحنث إنا وجدنه صابرا نعم العبدإنه أواب
Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di atas tentang dibolehkannya suami memukul isterinya dalam rangka memberi pelajaran. Seperti halnya nabi Ayyub yang memukul isterinya karena telah melanggar hak-hak suami.
Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya pemukulan terhadap isteri dengan batasan tidak sampai melampaui batas sebagai instrument pendidikan, dalam arti lain, dibolehkanya tindakan tersebut bukan berarti tanpa adanya unsur kemakruhan atau suatu yang lebih baik jika harus dihindari.
Walaupun kelihatanya secara tekstual syari’at membolehkan suami memukul isteri yang nusyuz, akan tetapi bagaimanapun harus diperhatikan penjelasan Rasulullah dalam menetapkan syarat-syarat diperbolehkannya tindak pemukulan tersebut, yaitu tidak boleh dimaksudkan untuk menghina derajat atau martabat wanita, menyakiti isterinya dan tidak boleh dilakukan dengan motifasi menggangu atau tindakan balas dendam. Dalam hal pemukulan, para mufassir sepakat bahwa pemukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarrih) pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka.
Menurut Muhammad 'Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili, bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:
a.       bagian muka, karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati.
b.      bagian perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena   pemukulan ini bukan bermaksud untuk mencidrai apalagi membunuh isteri yang nusyuz, melainkan untuk mengubah sifatnya.
c.       memukul hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya.
Dalam rangka memberi pendidikan bagi isteri yang nusyu ar-Razi dan at-T{abari juga tampaknya memiliki pemahaman yang tidak jauh berbeda dengan ulama fiqh. Mereka tidak menafikan adanya kemungkinan untuk memukul isteri asal telah diyakini melakukan nusyuz. Hanya  saja untuk masalah pemukulan ini, kedua mufassir tersebut bahkan tampaknya semua mufassir sepakat memberikan catatan bahwa pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghaira mubarrih), yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka. Ringkasnya, mereka mengatakan wa ad-dharbu mubah wa tarkuhu afdal (pemukulan itu boleh dan meninggalkannya lebih baik).
Sebagaimana para mufassir yang lain Muhammad Abduh berpendapat perintah memukul isteri bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal dan fitrah. Memukul diperlukan jika keadaan sudah buruk dan akhlak isteri sudah rusak. Suami boleh memukul isteri ketika suami melihat bahwa rujuknya isteri hanya dengan cara memukulnya. Akan tetapi, jika keadaan sudah membaik dan isteri sudah tidak nusyuz lagi cukup dengan cara menasehatinya atau mengasingkannya dari tempat tidur, maka tidak perlu memukulnya. Setiap keadaan menentukan hukuman yang sesuai, sementara itu kita diperintahkan menyayangi kaum perempuan, tidak menganiaya, menjaganya dengan cara yang baik, dan jika menceraikannya harus dengan cara yang baik pula.
Diantara ketiga hak atau kewenangan yang dimiliki seorang suami dalam memperlakukan istri nusyuz dengan berdasarkan pada surat an-Nisa’ (4): 34 di atas, hak suami dalam memukul merupakan salah satu hak yang mengundang polemik dan perdebatan panjang, khususnya dikalangan ulama fiqh, ahli tafsir (mufassir) dan pemikir-pemikir feminis kontemporer.
Jika para ulama sepakat dengan pemukulan terhadap isteri nusyuz diperbolehkan asal masih dalam batas-batas yang wajar dan tidak bertujuan untuk menyakiti, pada dasarnya ulama juga menekankan agar tidak memukul. Sedangkan bagi para feminis ada yang berpendapat bahwa pemukulan tidak pernah dianjurkan oleh Al-Qur’an. Pendapat ini dilontarkan oleh para kaum feminis seperti Ashgar Ali Engineer, ia berpendepat dengan mengutip pendapat Ahmed Ali dari kitab Ragib Al-Mufradat fi Garib Al-Qur’an yang menerangkan bahwa kata daraba mempunyai makna metaforis yaitu melakukan hubungan seksual.
Pada dasarnya Nabi sangat menghargai perempuan, asbab an-nuzul ayat 34 ini ketika Habibah mengadu bersama ayahnya kepada Nabi tentang pemukulan suaminya. Nabi ketika itu dengan bersimpati menyuruh Habibah agar membalas (qisas) terhadap suaminya, tetapi Allah menurunkan ayat ini. Di sini Nabi menunjukkan simpati, keinginan untuk mengangkat derajat perempuan atau korban kekerasan, tetapi Ayat ini terkesan memihak laki-laki. Menurut Ashgar dengan mengutip pendapat S.T Lokhandwala, dalam The Potition of Women Under Islam; bahwa ayat ini bersifat kontekstual, karena suami Habibah merupakan pemimpin Ansar (Sa’ad bin Rabi’). Keputusan Nabi untuk mengqisas suaminya mendapat penolakan dari laki-laki Madinah, mungkin kekhawatiran Nabi akan sarannya menimbulkan kegemparan dalam sebuah masyarakat di mana laki-laki benar-benar dominan. Ayat ini diwahyukan sebagai anjuran yang menyejukkan demi mengendalikan kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan menganjurkan mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.
Ayat ini tampak mengizinkan pemukulan terhadap isteri, tetapi Lokhandwala berpendapat bahwa konteks Madinah tidak dapat diabaikan. Dilihat dari konteks ini, Ayat tersebut mempunyai maksud agar tidak menimbulkan reaksi yang terlalu keras, pertama Al-Qur’an mengatakan bahwa perempuan yang tidak taat sebaiknya diperingatkan, dan jika mereka tetap dalam nusyuz (pemberontakannya) mereka harus dipisahkan di tempat tidur, dan jika mereka tetap tidak berubah juga, maka mereka harus dihukum. Tetapi Allah meminta agar tidak mencari-cari jalan untuk memusuhi mereka dan berbaikan dengan mereka jika mereka taat.
  1. Hak mencegah Nafkah
Dalam kitab Kifayat al-Ahyar dijelaskan bahwa ketika seorang isteri yang telah jelas-jelas nusyuz maka hendanya dinasihati, dan jika masih tetap tidak mau berubah maka boleh dijauhi (hijr), dan jika tidak mau berubah juga maka boleh dipukul. Gugur pula sebab nusyuz tersebut adalah hak nafkah isteri dan gilirannya.
Hampir seluruh ulama sepakat tentang tercegahnya nafkah bagi isteri yang nusyuz. namun mereka berbeda pendapat di dalam menentukan bentuk dan sifat perbuatan nusyuz seperti apa yang menyebabkan tercegahnya nafkah isteri itu. Menurut Abu Hanifah, seorang isteri gugur hak nafkahnya manakalah dia berpergiang tanpa izin dari suaminya dan untuk sesuatu yang tidak menjadi kewajiban baginya. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi’i, hal itu tidak sampai menyebabkan hilangnya hak nafkah isteri. Dasar ketidakwajiban seorang suami dalam memberikan nafkah kepada isteri nusyuz adalah berdasarkan ijmak ulama.
Ulama Hanafi berpendapt manakala isteri mengeram dirinya dalam rumah suaminya, dan tidak keluar rumah tanpa izin dari suaminya, maka ia masih disebut patuh (muti'at), sekalipun ia tidak bersedia dicampuri tanpa alasan syara' yang benar. Penolakan yang seperti itu, walaupun haram, tetapi tidak menggugurkan haknya untuk mendapat nafkah. Oleh karena itu beliau berbeda pendapat dengan seluruh mazhab yang lainya. Sebab seluruh mazhab yang lain sepakat bahwa, manakala isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan ber-khalawat dengannya tanpa alasan berdasar syara' maupn rasio, maka dia dipandang sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak atas nafkah. Bahkan Syafi'i mengatakan bahwa, sekadar kesediaan digauli dan ber-khalawat, sama sekali belum dipandang cukup kalau si isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas, "aku menyerahkan diriku kepadamu.
Ada pula yang mengkaitkan gugurnya hak nafkah isteri ini dengan pengertian perbuatan nusyuz secara umum, karena ketika isteri melakukan nusyuz, maka berarti ia telah keluar dari ketaatan, dan itu dapat menyebabkan hilangnya hak nafkah. Dan jika ia taat lagi, maka nafkah isteri tersebut wajib diberikan terhitung saat ia taat pada suaminya kembali.
Adapun hikmah dari gugurnya hak nafkah tersebut bagi isteri yang nusyuz adalah diharapkan dengan itu sikap isteri akan kembali baik dan taat kepada suaminya sehingga terpeliharalah kekokohan dan kelangsungan rumah tangga karena gugurnya nafkah merupakan sanksi kepada isteri yang melakukan nusyuz.
Dalam masalah nafkah bagi isteri yang nusyuz, Ibn Hazm mempunyai pendapat yang bertentangan dengan jumhur fuqaha. Ibn Hazm berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tetap mendapatkan nafkah. Menurutnya, suami wajib memberinya nafkah sejak akad nikah, tidak ada perbedaan antara isteri yang nusyuz maupun yang tidak, yang masih kecil atu yang sudah besar dan sebagainya. Mengenai pendapat Ibn Hazm ini disebut dalam kitab al-Muhalla;
وينفق الرجل على امرائته حين يعقد نكاحها دعى الى البناء اولم يدع ولو أنها فىالمهد ناشزا كانت اوغير ناشز غنية كانت اوفقيرة ذات أب كانت اويتيمة بكر او ثيبا حرة كانت اوأمة
Pendapat tersebut berdasarkan hadis yang diriwAyatkan oleh Muslim dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda:
فاتقوا الله فىالنساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمةالله ولكم عليهن ان لايوطئن فرشكم احدا يكرهونه فإن فعلن ذالك فضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Dan juga riwAyat Abu Dawud dari Hakim bin Mu’awiyah dari ayahnya yang pernah bertanya kepada Nabi SAW;
 قلت يارسول الله ما حق زوجة احدنا عليه؟ قال: أن تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا اكتسيت ولا تظرب الوجه ولا تقبح ولا تجهر الا فىالبيت
Dari kedua riwAyat hadis tersebut, menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. menyamamaratakan seluruh wanita dan tidak menghususkan orang yang nusyuz dengan lainya, begitu pula wanita yang masih kecil atau pula yang sudah besar. Adapun pendapat sebagian yang menyatakan tidak ada nafkah bagi isteri yan tidak mau diajak serumah dengan suami, menurut Ibn Hazm, pendapat itu tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur'an, as-Sunnah, qaul Sahabat, qiyas maupun ra'yu. Jika ada pengecualian kepad isteri yang nusyuz atau masih kecil maka Allah tidak akan lupa menjelaskanya.
Ibn Hazm tidak mengetahui alasan Fuqaha' yang berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tercegah (gugur) hak nafkahnya. Hanya ada satu riwAyat yaitu dari Nakhai, as-Sya'bi, Humad bin Abi Sulaiman, al-Hasan dan az-Zuhri, tetapi Ibn Hazm tidak mengetahui alasan mereka secara jelas, hanya saja mereka menyatakan;
النفقة بإزاء الجماع فإذا منعت الجماع منعت الفقة

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com