Wednesday, June 6, 2012

TRADISI ARAB PEGON DI PONDOK PESANTREN



TRADISI ARAB PEGON DI PONDOK PESANTREN
A.  Proses Akulturasi Budaya
Menurut Koentjaraningrat, akulturasi merupakan suatu proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur tersebut lambat-laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.
Akulturasi terjadi apabila kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif, kemudian menimbulkan perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabel yang banyak itu termasuk tingkat perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas, frekuensi dan semangat persaudaraan dalam hubungannya. Siapa yang dominan dan siapa yang tunduk, dan apakah datangnya pengaruh itu timbal balik atau tidak.
Terjadinya akulturasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya; (1) Apabila ditemukan unsur-unsur baru, (2) Apabila unsur baru dipinjam dari kebudayaan lain, (3) Apabila unsur-unsur kebudayaan yang ada tidak lagi cocok dengan lingkungan, lalu ditinggalkan atau diganti dengan yang lebih baik, (4) Apabila ada unsur-unsur yang hilang karena gagal dalam perwujudan dari suatu angkatan ke angkatan berikutnya.
Dalam hal ini peristiwa akulturasi yang terjadi di Nusantara telah melahirkan produk kebudaayaan sehingga memunculkan terjadinya proses Islamisasi melalui Arab pegon.
Mengenai sejarah persebaran agama Islam di pulau Jawa dan beralihnya keyakinan penduduk Jawa ke agama  Islam, pada umumnya para ahli sejarah belum banyak mengetahuinya. Masih perlu diadakan pengumpulan data dan penelitian untuk membuat suatu dokumentasi mengenai berbagai spekulasi serta hipotesa yang penting dari proses tersebut., juga ditunjang oleh fakta-fakta sejarah yang kuat. Sampai sekarang kita hanya dapat merasa puas dengan ikhtisar-ikhtisar yang bersifat sementara, seperti yang tercantum dalam karangan B.J.O. Schrieke, H.J. de Graaf, dan banyak yang lainnya.
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Jawa, menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Jawa melalui suatu negara yang baru muncul di pantai barat Jazirah Melayu, yaitu Malaka. Dalam abad ke-14, ketika kekuasaan Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan mulai berkurang, maka bagian barat dari rute perdagangan yang melalui kepulauan Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Namun, dalam abad ke-13 mereka membawa Islam, mula-mula ke pantai Timur Aceh.kemudian ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke pulau-pulau rempah di Indonesia Timur, juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa. Dengan demikian agama Islam tiba dari Malaka dalam abad ke-14, bahkan mungkin sudah lebih awal. Pedagang-pedagang Jawa dari pelabuhan dagang Gresik, Demak dan Tuban pergi berdagang ke Malaka, dan sebaliknya pedagang-pedagang beragama Islam dari Malaka juga mengunjungi pulau Jawa. Kecuali itu banyak orang asing lain datang ke kota-kota pelabuhan di Jawa utara, seperti orang Persia, India Selatan, Cina dan Vietnam. Oleh karena itu, para ahli sejarah belum tahu pasti mengenai identitas para pedagang yang paling dahulu tiba di pantai utara pulau Jawa, tetapi mereka menduga bahwa pedagang-pedagang itu berpindah-pindah dari satu kota pelabuhan ke yang lain. Mulai dari Gujarat di sebelah barat, melalui jazirah Melayu, kemudian tiba di kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa di sebelah timur.
Kedatangan agama Islam yang mulai menyebar di Nusantara semenjak abad ke-13 M, ternyata juga tidak mengganggu budaya asli animisme-dinamisme di Jawa. Ini karena budaya asli tersebut mempunyai watak yang elastis, sehingga ajaran Islam yang datang dapat menyebar ke Nusantara.
Masuknya Islam di pulau Jawa sejak awal hingga sekarang secara terus menerus masih merupakan suatu proses akulturasi. Tradisi Islam yang datang ke pulau Jawa sangat akomodatif terhadap tradisi Jawa, begitu juga sebaliknya, tradisi Jawa sangat apresiatif menerjemahkan tradisi Islam-Arab ke dalam sistem budaya Jawa. Agama sebagai salah satu unsur dari kebudayaan memiliki peran dalam perubahan kebudayaan itu sendiri.
Proses interaksi antara Islam dan budaya lokal itu berlangsung terus-menerus tanpa henti, mengalami pertumbuhan ke arah yang lebih kompleks. Proses pertumbuhan yang berjalan rapi dikarenakan penyampaian pesan-pesan Islam yang ditempuh melalui pendekatan kultural. Dengan masuknya agama Islam di pulau Jawa,  kemudian munculah pondok-pondok pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam. Dari pondok-pondok pesantren inilah kemudian lahir teks-teks keagamaan. Selain lahir di pondok pesantren , juga muncul dari lingkungan keraton.
Keberhasilan para wali yang mula-mula menyebarkan Islam dan mendirikan pondok pesantren, merupakan salah satu bukti bahwa mereka telah berhasil menyerap, kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa kebudayaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat melihat hasil “babaran” kebudayaan itu sebagai miliknya, sebagai sesuatu yang memancar dari cipta rasa mereka.
Terutama pada masa Mataram Islam, Islam tidak mengalami perbenturan yang berarti dengan budaya Jawa. Bagi masyarakat pesantren, agama adalah nomor satu dan segalanya, sebaliknya para penguasa dan pendukung sastra budaya Jawa, kedudukan dan kekuasaan politik adalah yang nomor satu dan segalanya. Maka, sesudah Sultan Agung berhasil mematahkan kesultanan pesisiran yang didukung masyarakat pesantren, ia segera menyadari perlunya menetapkan strategi budaya untuk menghubungkan dua lingkungan budaya. Yaitu lingkungan budaya pesantren dengan sastra budaya agama yang berbahasa Arab dengan lingkungan budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat di lingkungan istana kerajaan-kerajaan Jawa. Adapun strategi untuk membaurkan unsur-unsur Islam dalam budaya Jawa, dimulai dengan mengganti perhitungan tahun saka yang berdasarkan perjalanan matahari, menjadi perhitungan tahun hijriyah, yang berdasar pada perjalanan bulan.
Strategi yang dicanangkan Sultan Agung tersebut diatas ternyata menggairahkan para sastrawan kejawen untuk menekuni pokok-pokok ajaran Islam, untuk menyusun karya-karya baru dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur ajaran Islam sebagai upaya untuk memperkaya pengembangan sastra budaya Jawa. Terutama aspek filsafat mistik sufisme yang sangat menarik untuk memperkaya sastra budaya Jawa.
Dalam sejarah masyarakat, bahasa memungkinkan manusia membentuk hubungan ruhaniyah. Secara jasmaniyah warga masyarakat terpisah antara satu dengan lainnya, tapi secara ruhaniyah mereka berhubungan. Tanpa hubungan ruhaniyah masyarakat tidak terbentuk. Dengan bahasa, si A menyampaikan apa yang ada dalam dirinya (pikiran, perasaan, keinginan, dan pengalaman) kepada si B, tanpa saluran tersebut si B tidak akan mengetahui apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan dan dialami si A. Kemudian si B timbul reaksi., reaksi menimbulkan aksi lagi, melalui bahasa itu pula reaksi si B kemudian menimbulkan reaksi pula pada si A. sehingga terjadilah interaksi antara dua orang bahkan sekelompok orang. Dengan interaksi terwujudlah kerjasama dan kehidupan bersama antara kelompok pribadi itu, sehingga terbentuklah masyarakat. Sampai sekarang bahasa memainkan peranan utama dalam masyarakat.
Dalam hal ini, bahasa yang digunakan sebagai penghubung dalam proses interaksi khususnya daerah Jawa tentu saja menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa kemudian mengalami proses akulturasi, salah satunya yaitu dengan timbulnya penggunaan aksara atau tulisan huruf Arab yang menggunakan bahasa Jawa, kemudian dikenal dengan tulisan Arab pegon. Belum diketahui siapakah yang pertama kali menggunakan cara ini. ada yang menyebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan adalah para wali, sebagai upaya untuk memperlancar penyebaran agama Islam.
Sebuah agama akan tersebar dan berkembang dengan baik apabila para penyiar agama yang bersangkutan memiliki kesanggupan dan pengetahuan yang luas tentang kebudayaan dan segala seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk bahasa, adat istiadat, kesusasteraan, seni, pandangan hidup, dan gambaran dunia yang ada. Dalam hal ini, para wali di Jawa berhasil menjadi penyebar Islam karena mereka mengenal dengan baik, bukan saja ilmu-ilmu agama, tetapi juga kebudayaan Jawa.

B. Hubungan antara Kesusasteraan dengan Arab Pegon

Datangnya agama Islam di Indonesia menyebabkan tersebarnya pula aksara Arab. Aksara Arab ini dengan berbagai modifikasi digunakan dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah lainnya. Aksara Arab yang kini di Malaysia disebut aksara Jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu dulu) disebut aksara Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam bahasa Jawa disebut aksara pegon.
Indonesia sudah lama mengenal tulisan Arab. Setidak-tidaknya digunakan dalam pertengahan abad ke-13 M, tulisan Arab ketika itu sudah digunakan oleh golongan yang terbatas di Indonesia. Kesusasteraan Melayu yang tertua, sebagian ditulis dengan tulisan Arab bahasa Melayu, bahkan sampai waktu yang terakhir ini masih ada hasil-hasil kesusasteraan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab tersebut
Kesusasteraan Nusantara yang bercorak tulisan mulai berkembang dengan pesat setelah kedatangan agama Islam. Karya-karya kesusasteraan Nusantara juga dipengaruhi Islam yang dituliskan oleh penulis Islam Nusantara dengan tujuan menjadikanya sebagai media penyampaian pengajaran Islam kepada pembacanya. Para penyiar Islam juga mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan unsur-unsur pemikiran Islam dalam masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan dalam ide-ide keislaman yang ada di Nusantara kemudian karya-karya tersebut dijadikan media untuk berdakwah.
Banyak teks sastra yang tadinya bernafaskan Hindu Budha digubah oleh pujangga keraton menjadi bernafaskan Islam. Penggubahan dan penciptaan secara besar-besaran dalam suasana religius Islam di lingkungan keraton Jawa terjadi pada abad ke-18 dan 19 sewaktu kekuasaan keraton semakin terjepit secara politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Jumlah naskah dari lingkungan non kraton (diantaranya lingkungan pondok pesantren) dan keraton belum bisa dihitung karena banyaknya, sebagian  sudah rusak karena dimakan usia.
Di samping menulis naskah dengan huruf Jawa, para pekerja sastra tersebut (umumnya abdi dhalem) juga menulis naskah dengan huruf Arab pegon, yaitu huruf Arab tanpa memakai sandangan  (fatkhah, dhomah dan kasroh). Naskah yang ditulis dengan huruf Arab pegon antara lain serat Menak, serat Ambiya, produksi zaman Hamengku Buwono V dan hikayat Bayan Budiman yang tidak mencantumkan waktu penyalinan dan diperkirakan ditulis sesudah masa Hamengku Buwono V.
Serat Ambiya ini tidak terdapat nama penulisnya, namun disebutkan bahwa serat ini ditulis atas prakarsa Hamengku Buwono V. penanda waktu dalam Serat Ambiya meliputi hari, tanggal dan tahun Jawa, nama tahun Jawa, jam, tarikh Islam, bulan dan tahun Hijriyah, nama musim, nama lambang, bulan dan tahun Masehi, angka merta, nama wuku, sengkalan tahun Jawa.
Ragam bahasa digunakan, bukan saja bahasa Jawa, namun juga menggunakan bahasa daerah lainnya. Berikut beberapa kitab yang memakai aksara Arab dan berbahasa daerah, koleksi perpustakaan Nasional Republik Nusantara; (1) Hikayat Sang Boma; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (2) Hikayat Sultan Taburat; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (3) Kutika; beraksara Bugis dan Arab dengan bahasa Bugis, (4) Undang-undang Johor; beraksara Arab dengan bahasa Melayu. 

C. Hubungan antara Kitab Kuning dalam Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon         

Pesantren merupakan salah satu tradisi pengajaran agama Islam yang juga berlangsung di pulau Jawa. Alasan pokok dari munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Nusantara sebagai kitab kuning.
Pengetahuan kita mengenai asal usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun menurut Martin Van Bruinessen, lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18, namun hal itu tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu, sementara beberapa pengarang Nusantara juga telah menulis kitab-kitab sastra dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa.
Seiring dengan masuknya Islam, aksara Arab juga ikut serta didalamnya. aksara atau tulisan arab yang dipadukan dengan bahasa Jawa atau disebut dengan Arab pegon ini dijadikan sebagai sarana penyampai pesan yang terkandung, baik itu melalui karangan para sastrawan maupun digunakan untuk menerjemahkan (mema’nai) kitab kuning yang dipelajari di pesantren tradisional.
Mempelajari kitab kuning di pesantren dengan pendekatan tradisional menggunakan sistem terjemahan menggantung, karena bahasa sasaran (dalam hal ini menggunakan bahasa Jawa) yang digunakan diletakkan menggantung pada bahasa sumber (bahasa Arab) dan proses penerjemahnnya berlangsung terhadap setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada. Biasanya terjemahan ini dilakukan ke dalam bahasa Jawa khas pesantren, yang umumnya sangat terkait dengan urutan dan struktur bahasa Arab. Tahap berikutnya adalah penerjemahannya kembali ke dalam bahasa sasaran, yang biasanya merupakan bahasa Jawa yang wajar.
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn). Format kitab kuning yang paling umum dipakai di pesantren, kertasnya sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren pada dewasa ini dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, yaitu; (1) Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam pengajian-pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengetahuan umum. Termasuk Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. (2) Pesantren Khalafi. Pesantren jenis ini telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum, namun juga tetap mempertahankan sebagian kitab-kitab klasik..
Mengenai isi kitab kuning, terbagi menjadi dua kelompok; (1) Kelompok ajaran, mencakup (i) Ajaran dasar, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, (ii) Ajaran yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama Islam terhadap ajaran dasar tersebut. (2) Kelompok bukan ajaran. Maksudnya, sesuatu yang datang ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam sejarah seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, metode keilmuan, termasuk ijtihad dan pemikiran para ahli.
Metode penalaran yang dipakai dalam pembahasan kitab kuning, diantaranya;
1.        Metode Deduktif (istinbath). Model ini banyak dipakai untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan (Al-Qur’an dan Al-Hadis), masalah-masalah fiqhiyah, termasuk masalah yang di produk melalui ushul fiqh aliran mutakalimin. 
2.        Metode Induktif (istiqro’I). Merupakan pengambilan kesimpulan umum dari soal-soal khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum.
3.        Metode Genetika (takwini). Yaitu cara berfikir mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah kemunculan masalah itu. Biasanya digunakan oleh ulama ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah dan diroyah.
4.        Metode dialektika (Jadali). Adalah cara berfikir yang uraiannya jelas diangkat dari pertanyaan atau dari pernyataan seseorang yang dipertanyakan.
Penyajian kitab kuning dilihat dari kandungan makna terbagi menjadi dua: (1) Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos. (2) Kitab kuning meyajikan materi yang terbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti nahwu, ushul fiqh, mustholah hadis dan semacamnya.
Kitab kuning dilihat dari kadar penyajiannya, terbagi menjadi tiga: (a) Kitab yang tersusun secara ringkas (mukhtasar), yang hanya menyajikan pokok-pokok masalah, baik muncul dalam bentuk nazhom (syi’ir), atau berbentuk ulasan biasa (natsar). (b) Kitab yang membawakan uraian panjang lebar, menyajikan argumentasi ilmiah secara komperatif dan banyak mengutip ulasan para ulama dengan hujjahnya masing-masing. (c) Kitab yang menyajikan materi yang tidak terlalu panjang dan luas (mutawassithoh).
Dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar, yaitu (a) Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang khusus, yang global menjadi terinci. (b) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan untuk menuju suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. (c) Membuat ulasan-ulasan tertentu dalam mengurai uraian-uraian yang dianggap perlu. (d) Memberikan batasan-batasan jelas. (e) Menampilkan beberapa alasan pernyataan yang dianggap perlu.
Suatu tulisan kitab kuning diarahkan untuk menjelaskan suatu topik  tertentu, tetapi beberapa tulisan kitab kuning ada yang memerlukan penjelasan lebih luas lagi, yang oleh para ahli disebut syarah atau khasyiyah. Kebutuhan akan syarah ini antara lain karena (1) Kemahiran seorang pengarang dalam menampilkan redaksi, sehingga ia mampu memaparkan pengertian yang mendalam dengan bahasa yang sangat singkat. (2) Pengarang membuang suatu alasan karena dinilai telah jelas dengan sendirinya, maka penulis syarah merasa perlu memunculkan kembali ulasan yang dibuang itu. (3) Suatu pernyataan terkadang memerlukan ulasan tegas karena pernyataan itu muncul dalam bahasa sindiran (majas dan kinayah).
Adapun bahasa kitab kuning yang baik yaitu yang berbentuk matn atau syarh atau hasyiyah, maka semuanya tetap memelihara ketata bahasaan Arab (nahwu dan shorof). Kitab kuning dilihat dari segi bahasa tampak berbeda satu sama lain. Kitab-kitab yang disusun oleh ulama kuno (salaf) memilki bahasa yang lebih klasik daripada kitab-kitab yang disusun oleh ulama belakangan (khalaf). Begitu pula penyajian materi memiliki gaya yang berbeda pula, misalnya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh imam-imam mujtahid sangat berbeda dengan fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama pengikutnya. Perbedaan bahasa ini terkadang membawa perbedaan penafsiran, perbedaan asumsi bahkan perbedaan konsep tentang suatu masalah. Karena itu wajar jika pengikut satu madzhab saling berbeda interpretasi terhadap pendapat mazhabnya. 

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com