TRADISI ARAB PEGON DI PONDOK PESANTREN
A. Proses Akulturasi Budaya
Menurut Koentjaraningrat,
akulturasi merupakan suatu proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu
kebudayaan asing sehingga unsur-unsur tersebut lambat-laun diterima dan diolah
ke dalam kebudayaannya sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu.
Akulturasi terjadi apabila
kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling
berhubungan secara langsung dengan intensif, kemudian menimbulkan perubahan-perubahan
besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang
bersangkutan. Di antara variabel-variabel yang banyak itu termasuk tingkat
perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas, frekuensi dan semangat persaudaraan
dalam hubungannya. Siapa yang dominan dan siapa yang tunduk, dan apakah
datangnya pengaruh itu timbal balik atau tidak.
Terjadinya akulturasi
dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya; (1) Apabila ditemukan
unsur-unsur baru, (2) Apabila unsur baru dipinjam dari kebudayaan lain, (3)
Apabila unsur-unsur kebudayaan yang ada tidak lagi cocok dengan lingkungan,
lalu ditinggalkan atau diganti dengan yang lebih baik, (4) Apabila ada
unsur-unsur yang hilang karena gagal dalam perwujudan dari suatu angkatan ke
angkatan berikutnya.
Dalam hal ini peristiwa
akulturasi yang terjadi di Nusantara telah melahirkan produk kebudaayaan
sehingga memunculkan terjadinya proses Islamisasi melalui Arab pegon.
Mengenai sejarah
persebaran agama Islam di pulau Jawa dan beralihnya keyakinan penduduk Jawa ke
agama Islam, pada umumnya para ahli
sejarah belum banyak mengetahuinya. Masih perlu diadakan pengumpulan data dan
penelitian untuk membuat suatu dokumentasi mengenai berbagai spekulasi
serta hipotesa yang penting dari proses tersebut., juga ditunjang oleh
fakta-fakta sejarah yang kuat. Sampai sekarang kita hanya dapat merasa puas
dengan ikhtisar-ikhtisar yang bersifat sementara, seperti yang tercantum dalam
karangan B.J.O. Schrieke, H.J. de Graaf, dan banyak yang lainnya.
Koentjaraningrat dalam
bukunya yang berjudul Kebudayaan Jawa, menyebutkan, bahwa Islam masuk ke
Jawa melalui suatu negara yang baru muncul di pantai barat Jazirah Melayu,
yaitu Malaka. Dalam abad ke-14, ketika kekuasaan Majapahit sebagai suatu
kerajaan yang berdasarkan perdagangan mulai berkurang, maka bagian barat dari
rute perdagangan yang melalui kepulauan Nusantara berhasil dikuasai oleh negara
itu. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat
dan Persia. Namun, dalam abad ke-13 mereka membawa Islam, mula-mula ke pantai
Timur Aceh.kemudian ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke
pulau-pulau rempah di Indonesia Timur, juga ke kota-kota pelabuhan di pantai
utara pulau Jawa. Dengan demikian agama Islam tiba dari Malaka dalam abad ke-14,
bahkan mungkin sudah lebih awal. Pedagang-pedagang Jawa dari pelabuhan dagang
Gresik, Demak dan Tuban pergi berdagang ke Malaka, dan sebaliknya
pedagang-pedagang beragama Islam dari Malaka juga mengunjungi pulau Jawa.
Kecuali itu banyak orang asing lain datang ke kota-kota pelabuhan di Jawa
utara, seperti orang Persia, India Selatan, Cina dan Vietnam. Oleh karena itu,
para ahli sejarah belum tahu pasti mengenai identitas para pedagang yang paling
dahulu tiba di pantai utara pulau Jawa, tetapi mereka menduga bahwa
pedagang-pedagang itu berpindah-pindah dari satu kota pelabuhan ke yang lain.
Mulai dari Gujarat di sebelah barat, melalui jazirah Melayu, kemudian tiba di
kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa di sebelah timur.
Kedatangan agama Islam yang
mulai menyebar di Nusantara semenjak abad ke-13 M, ternyata juga tidak
mengganggu budaya asli animisme-dinamisme di Jawa. Ini karena budaya asli
tersebut mempunyai watak yang elastis, sehingga ajaran Islam yang datang
dapat menyebar ke Nusantara.
Masuknya Islam di pulau
Jawa sejak awal hingga sekarang secara terus menerus masih merupakan suatu
proses akulturasi. Tradisi Islam yang datang ke pulau Jawa sangat akomodatif
terhadap tradisi Jawa, begitu juga sebaliknya, tradisi Jawa sangat apresiatif
menerjemahkan tradisi Islam-Arab ke dalam sistem budaya Jawa. Agama sebagai
salah satu unsur dari kebudayaan memiliki peran dalam perubahan kebudayaan itu
sendiri.
Proses interaksi antara
Islam dan budaya lokal itu berlangsung terus-menerus tanpa henti, mengalami
pertumbuhan ke arah yang lebih kompleks. Proses pertumbuhan yang berjalan rapi
dikarenakan penyampaian pesan-pesan Islam yang ditempuh melalui pendekatan
kultural. Dengan masuknya agama Islam di pulau Jawa, kemudian munculah pondok-pondok pesantren sebagai
pusat pendidikan agama Islam. Dari pondok-pondok pesantren inilah kemudian
lahir teks-teks keagamaan. Selain lahir di pondok pesantren , juga muncul dari
lingkungan keraton.
Keberhasilan para wali
yang mula-mula menyebarkan Islam dan mendirikan pondok pesantren, merupakan
salah satu bukti bahwa mereka telah berhasil menyerap, kemudian menerjemahkan
ke dalam bahasa kebudayaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat melihat hasil “babaran”
kebudayaan itu sebagai miliknya, sebagai sesuatu yang memancar dari cipta
rasa mereka.
Terutama pada masa Mataram
Islam, Islam tidak mengalami perbenturan yang berarti dengan budaya Jawa. Bagi
masyarakat pesantren, agama adalah nomor satu dan segalanya, sebaliknya para
penguasa dan pendukung sastra budaya Jawa, kedudukan dan kekuasaan politik
adalah yang nomor satu dan segalanya. Maka, sesudah Sultan Agung berhasil
mematahkan kesultanan pesisiran yang didukung masyarakat pesantren, ia segera
menyadari perlunya menetapkan strategi budaya untuk menghubungkan dua
lingkungan budaya. Yaitu lingkungan budaya pesantren dengan sastra budaya agama
yang berbahasa Arab dengan lingkungan budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa
yang berpusat di lingkungan istana kerajaan-kerajaan Jawa. Adapun strategi
untuk membaurkan unsur-unsur Islam dalam budaya Jawa, dimulai dengan mengganti
perhitungan tahun saka yang berdasarkan perjalanan matahari, menjadi
perhitungan tahun hijriyah, yang berdasar pada perjalanan bulan.
Strategi yang dicanangkan
Sultan Agung tersebut diatas ternyata menggairahkan para sastrawan kejawen
untuk menekuni pokok-pokok ajaran Islam, untuk menyusun karya-karya baru dengan
menyadap dan mengolah unsur-unsur ajaran Islam sebagai upaya untuk memperkaya
pengembangan sastra budaya Jawa. Terutama aspek filsafat mistik sufisme
yang sangat menarik untuk memperkaya sastra budaya Jawa.
Dalam sejarah masyarakat,
bahasa memungkinkan manusia membentuk hubungan ruhaniyah. Secara jasmaniyah
warga masyarakat terpisah antara satu dengan lainnya, tapi secara ruhaniyah mereka
berhubungan. Tanpa hubungan ruhaniyah masyarakat tidak terbentuk. Dengan
bahasa, si A menyampaikan apa yang ada dalam dirinya (pikiran, perasaan,
keinginan, dan pengalaman) kepada si B, tanpa saluran tersebut si B tidak akan
mengetahui apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan dan dialami si A.
Kemudian si B timbul reaksi., reaksi menimbulkan aksi lagi, melalui bahasa itu
pula reaksi si B kemudian menimbulkan reaksi pula pada si A. sehingga
terjadilah interaksi antara dua orang bahkan sekelompok orang. Dengan interaksi
terwujudlah kerjasama dan kehidupan bersama antara kelompok pribadi itu,
sehingga terbentuklah masyarakat. Sampai sekarang bahasa memainkan peranan
utama dalam masyarakat.
Dalam hal ini, bahasa yang
digunakan sebagai penghubung dalam proses interaksi khususnya daerah Jawa tentu
saja menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa
kemudian mengalami proses akulturasi, salah satunya yaitu dengan timbulnya penggunaan
aksara atau tulisan huruf Arab yang menggunakan bahasa Jawa, kemudian dikenal
dengan tulisan Arab pegon. Belum diketahui siapakah yang pertama kali
menggunakan cara ini. ada yang menyebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan
adalah para wali, sebagai upaya untuk memperlancar penyebaran agama Islam.
Sebuah agama akan tersebar
dan berkembang dengan baik apabila para penyiar agama yang bersangkutan
memiliki kesanggupan dan pengetahuan yang luas tentang kebudayaan dan segala
seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk bahasa, adat istiadat,
kesusasteraan, seni, pandangan hidup, dan gambaran dunia yang ada. Dalam hal
ini, para wali di Jawa berhasil menjadi penyebar Islam karena mereka mengenal
dengan baik, bukan saja ilmu-ilmu agama, tetapi juga kebudayaan Jawa.
B. Hubungan
antara Kesusasteraan dengan Arab Pegon
Datangnya agama Islam di
Indonesia menyebabkan tersebarnya pula aksara Arab. Aksara Arab ini dengan
berbagai modifikasi digunakan dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa dan beberapa
bahasa daerah lainnya. Aksara Arab yang kini di Malaysia disebut aksara Jawi,
yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu dulu) disebut aksara Arab Melayu
atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam bahasa Jawa disebut aksara pegon.
Indonesia sudah lama
mengenal tulisan Arab. Setidak-tidaknya digunakan dalam pertengahan abad ke-13
M, tulisan Arab ketika itu sudah digunakan oleh golongan yang terbatas di
Indonesia. Kesusasteraan Melayu yang tertua, sebagian ditulis dengan tulisan
Arab bahasa Melayu, bahkan sampai waktu yang terakhir ini masih ada hasil-hasil
kesusasteraan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab tersebut
Kesusasteraan Nusantara
yang bercorak tulisan mulai berkembang dengan pesat setelah kedatangan agama
Islam. Karya-karya kesusasteraan Nusantara juga dipengaruhi Islam yang
dituliskan oleh penulis Islam Nusantara dengan tujuan menjadikanya sebagai
media penyampaian pengajaran Islam kepada pembacanya. Para penyiar Islam juga
mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan unsur-unsur pemikiran Islam
dalam masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam menyalurkan karya-karya dari
sumber peradaban Islam yang diterapkan dalam ide-ide keislaman yang ada di
Nusantara kemudian karya-karya tersebut dijadikan media untuk berdakwah.
Banyak teks sastra yang
tadinya bernafaskan Hindu Budha digubah oleh pujangga keraton menjadi
bernafaskan Islam. Penggubahan dan penciptaan secara besar-besaran dalam
suasana religius Islam di lingkungan keraton Jawa terjadi pada abad
ke-18 dan 19 sewaktu kekuasaan keraton semakin terjepit secara politik oleh
pemerintah kolonial Belanda. Jumlah naskah dari lingkungan non kraton
(diantaranya lingkungan pondok pesantren) dan keraton belum bisa dihitung
karena banyaknya, sebagian sudah rusak
karena dimakan usia.
Di samping menulis naskah
dengan huruf Jawa, para pekerja sastra tersebut (umumnya abdi dhalem)
juga menulis naskah dengan huruf Arab pegon, yaitu huruf Arab
tanpa memakai sandangan (fatkhah,
dhomah dan kasroh). Naskah yang ditulis dengan huruf Arab pegon
antara lain serat Menak, serat Ambiya, produksi zaman Hamengku Buwono V
dan hikayat Bayan Budiman yang tidak mencantumkan waktu penyalinan dan
diperkirakan ditulis sesudah masa Hamengku Buwono V.
Serat Ambiya ini tidak terdapat nama penulisnya, namun disebutkan
bahwa serat ini ditulis atas prakarsa Hamengku Buwono V. penanda waktu dalam Serat
Ambiya meliputi hari, tanggal dan tahun Jawa, nama tahun Jawa, jam, tarikh
Islam, bulan dan tahun Hijriyah, nama musim, nama lambang, bulan dan tahun
Masehi, angka merta, nama wuku, sengkalan tahun Jawa.
Ragam bahasa digunakan,
bukan saja bahasa Jawa, namun juga menggunakan bahasa daerah lainnya. Berikut
beberapa kitab yang memakai aksara Arab dan berbahasa daerah, koleksi
perpustakaan Nasional Republik Nusantara; (1) Hikayat Sang Boma;
beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (2) Hikayat Sultan Taburat; beraksara
Arab dengan bahasa Melayu, (3) Kutika; beraksara Bugis dan Arab dengan
bahasa Bugis, (4) Undang-undang Johor; beraksara Arab dengan bahasa
Melayu.
C. Hubungan antara Kitab Kuning dalam
Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon
Pesantren merupakan salah
satu tradisi pengajaran agama Islam yang juga berlangsung di pulau Jawa. Alasan
pokok dari munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam
tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis
berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Nusantara sebagai kitab
kuning.
Pengetahuan kita mengenai
asal usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan tidak mengetahui kapan lembaga
tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun menurut Martin Van Bruinessen,
lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18, namun hal itu tidak berarti
bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya. Kitab-kitab klasik
berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Beberapa
kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu,
sementara beberapa pengarang Nusantara juga telah menulis kitab-kitab sastra
dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa.
Seiring dengan masuknya
Islam, aksara Arab juga ikut serta didalamnya. aksara atau tulisan arab yang
dipadukan dengan bahasa Jawa atau disebut dengan Arab pegon ini
dijadikan sebagai sarana penyampai pesan yang terkandung, baik itu melalui
karangan para sastrawan maupun digunakan untuk menerjemahkan (mema’nai) kitab
kuning yang dipelajari di pesantren tradisional.
Mempelajari kitab
kuning di pesantren dengan pendekatan tradisional menggunakan sistem
terjemahan menggantung, karena bahasa sasaran (dalam hal ini menggunakan bahasa
Jawa) yang digunakan diletakkan menggantung pada bahasa sumber (bahasa Arab)
dan proses penerjemahnnya berlangsung terhadap setiap kata, frase dan berbagai
unsur gramatikal yang ada. Biasanya terjemahan ini dilakukan ke dalam bahasa
Jawa khas pesantren, yang umumnya sangat terkait dengan urutan dan struktur
bahasa Arab. Tahap berikutnya adalah penerjemahannya kembali ke dalam bahasa
sasaran, yang biasanya merupakan bahasa Jawa yang wajar.
Kebanyakan kitab Arab
klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab komentar (syarah) atau
komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn). Format
kitab kuning yang paling umum dipakai di pesantren, kertasnya sedikit
lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
Secara garis besar,
lembaga-lembaga pesantren pada dewasa ini dikelompokkan dalam 2 kelompok besar,
yaitu; (1) Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan
pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem
madrasah diterapkan untuk mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam
pengajian-pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengetahuan umum. Termasuk
Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. (2) Pesantren Khalafi.
Pesantren jenis ini telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum, namun juga tetap
mempertahankan sebagian kitab-kitab klasik..
Mengenai isi kitab
kuning, terbagi menjadi dua kelompok; (1) Kelompok ajaran, mencakup (i)
Ajaran dasar, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, (ii) Ajaran
yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama Islam terhadap
ajaran dasar tersebut. (2) Kelompok bukan ajaran. Maksudnya, sesuatu yang
datang ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam sejarah seperti
lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, metode keilmuan, termasuk ijtihad
dan pemikiran para ahli.
Metode penalaran yang
dipakai dalam pembahasan kitab kuning, diantaranya;
1.
Metode Deduktif (istinbath).
Model ini banyak dipakai untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan (Al-Qur’an dan
Al-Hadis), masalah-masalah fiqhiyah, termasuk masalah yang di produk
melalui ushul fiqh aliran mutakalimin.
2.
Metode Induktif (istiqro’I).
Merupakan pengambilan kesimpulan umum dari soal-soal khusus. Metode ini
juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum.
3.
Metode Genetika (takwini).
Yaitu cara berfikir mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat
sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah kemunculan masalah itu. Biasanya
digunakan oleh ulama ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah
dan diroyah.
4.
Metode dialektika (Jadali).
Adalah cara berfikir yang uraiannya jelas diangkat dari pertanyaan atau
dari pernyataan seseorang yang dipertanyakan.
Penyajian kitab kuning
dilihat dari kandungan makna terbagi menjadi dua: (1) Kitab kuning yang
berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos. (2) Kitab kuning
meyajikan materi yang terbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti nahwu, ushul
fiqh, mustholah hadis dan semacamnya.
Kitab kuning dilihat dari kadar penyajiannya, terbagi menjadi tiga:
(a) Kitab yang tersusun secara ringkas (mukhtasar), yang hanya
menyajikan pokok-pokok masalah, baik muncul dalam bentuk nazhom (syi’ir), atau
berbentuk ulasan biasa (natsar). (b) Kitab yang membawakan uraian
panjang lebar, menyajikan argumentasi ilmiah secara komperatif dan
banyak mengutip ulasan para ulama dengan hujjahnya masing-masing. (c)
Kitab yang menyajikan materi yang tidak terlalu panjang dan luas (mutawassithoh).
Dilihat dari penampilan
uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar, yaitu (a) Mengulas
pembagian sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang khusus, yang global menjadi
terinci. (b) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa
pernyataan untuk menuju suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. (c) Membuat
ulasan-ulasan tertentu dalam mengurai uraian-uraian yang dianggap perlu. (d)
Memberikan batasan-batasan jelas. (e) Menampilkan beberapa alasan pernyataan
yang dianggap perlu.
Suatu tulisan kitab kuning
diarahkan untuk menjelaskan suatu topik
tertentu, tetapi beberapa tulisan kitab kuning ada yang
memerlukan penjelasan lebih luas lagi, yang oleh para ahli disebut syarah
atau khasyiyah. Kebutuhan akan syarah ini antara lain karena (1)
Kemahiran seorang pengarang dalam menampilkan redaksi, sehingga ia mampu
memaparkan pengertian yang mendalam dengan bahasa yang sangat singkat. (2)
Pengarang membuang suatu alasan karena dinilai telah jelas dengan sendirinya,
maka penulis syarah merasa perlu memunculkan kembali ulasan yang dibuang
itu. (3) Suatu pernyataan terkadang memerlukan ulasan tegas karena pernyataan
itu muncul dalam bahasa sindiran (majas dan kinayah).
Adapun bahasa kitab
kuning yang baik yaitu yang berbentuk matn atau syarh atau hasyiyah,
maka semuanya tetap memelihara ketata bahasaan Arab (nahwu dan shorof). Kitab
kuning dilihat dari segi bahasa tampak berbeda satu sama lain. Kitab-kitab
yang disusun oleh ulama kuno (salaf) memilki bahasa yang lebih klasik
daripada kitab-kitab yang disusun oleh ulama belakangan (khalaf). Begitu
pula penyajian materi memiliki gaya yang berbeda pula, misalnya kitab-kitab
fiqih yang ditulis oleh imam-imam mujtahid sangat berbeda dengan fiqih
yang ditulis oleh ulama-ulama pengikutnya. Perbedaan bahasa ini terkadang
membawa perbedaan penafsiran, perbedaan asumsi bahkan perbedaan konsep tentang
suatu masalah. Karena itu wajar jika pengikut satu madzhab saling berbeda
interpretasi terhadap pendapat mazhabnya.
0 comments:
Post a Comment