PANDANGAN EMILE DURKHEIM
TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN MORAL
5. Materi pendidikan moral
A. Pengertian dan hakikat pendidikan moral
Pemikiran
pendidikan menurut Emile Durkheim haruslah berorientasi pada moralitas. Menurut
Durkheim pendidikan adalah upaya yang terus menerus untuk mengisi jiwa anak
dengan cara atau jalan melihat, merasa dan bertindak, dimana upaya itu diterima
dan dicapai oleh si anak tidak secara spontan tetapi bersifat diarahkan. Sejak
lahir seorang bayi dilatih (dipaksa) untuk makan, minum dan tidur pada waktu
yang telah ditentukan, disisi lain ia juga dilatih untuk tenang, bersih dan
menurut apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kemudian ia bertambah besar ,
kebiasaaan itu tidaklah cukup dengan paksaan saja karena ia tumbuh dan
berkembang ditengah-tengah masyarakat luas, oleh karena itu dia harus dibimbing
dan dibina untuk memikirkan orang lain, memahami lingkungan, menghormati
adat-istiadat, serta merasakan pentingnya suatu karya.
Pendidikan menurut
Durkheim juga merupakan sarana sosial untuk mencapai tujuan sosial – sarana
dengan mana suatu masyarakat menjamin kelangsungan hidupnya. Pendidikan bukan
hanya bertugas mengembangkan seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya
menyingkapkan segala kemampuan tersembunyi
pada individu yang mengganggu penampakannya, namun pendidikan haruslah
menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I Homme Un
Etre Nouveau)
Moralitas bagi Durkheim tidak bisa dianggap hanya
ajaran normatif yang menyangkut baik dan buruk melainkan suatu sistem fakta
yang diwujudkan, terkait dalam keseluruhan sistem dunia. Moralitas bukan hanya
menyangkut sistem perilaku yang sewajarnya melainkan juga suatu sistem yang
didasarkan pada ketentuan- ketentuan. Dan ketentuan ini adalah sesuatu yang ada
di luar diri pelaku. Karena itu selain bercorak positivis studi tentang
moralitas semestinya juga bersifat rasional dan sekuler.
Seperti telah
disinggung, Durkheim sadar bahwa Eropa yang dikenalnya sedang mengalami proses
transformasi. Dengan kecenderungan visi sejarah yang bersifat evolusionistis ia
merasakan pula bahwa dasar konsensus lama telah tidak memadai. Sistem tradisional,
katanya ternyata hanya bisa bertahan karena keajaiban ekuilibrium (keseimbangan)
dan kekuatan kebiasaan. Padahal sesungguhnya tradisi itu telah lama tidak lagi
berpijak pada dasar yang kuat.
Disaat
perkembangan ilmu pengetahuan
yang makin deras dan disaat homogenitas alam telah terpecah-pecah maka
dasar moral tidak bisa hanya dilihat sebagai apa yang disebut imanuel kant
“kategori imperatif “ –suatu dorongan dari dalam diri untuk berbuat etis. Bukan
dasar yang internal itu yang biasa dipakai sebagai ukuran melainkan sistem
perbuatan yang tampaknya obyektif.
Bagi Durkheim
kebenaran haruslah bersifat moralitas dan ilmiah. Moralitas menurutnya haruslah
dilihat sebagai suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan
subyektif. Fakta
moral harus dianggap sebagai fenomena sosial yang terdiri atas aturan –aturan
atau kaidah-kaidah dalam bertindak yang bisa dikenali dari ciri khas tertentu.
Moral menurut
Emile Durkheim juga berhubungan dengan bagian yang fungsional dari
masyarakat. Dan moral terlibat pula
dalam proses historis yang bersifat evolusionistis, berubah sesuai dengan
struktur sosial. Lebih lanjut moral menurut Emile Durkheim meliputi
konsistensi, keteraturan tingkah laku dan bisa juga dalam pengertian wewenang.
Pada definisi keteraturan tingkah laku dan wewenang sebenarnya merupakan dua
aspek dari satu hal yaitu disiplin. Dengan kata lain bahwa disiplin dibentuk
dari keteraturan tingkah laku dan wewenang.
Bagi Durkheim
bertindak moral berarti bertindak demi kepentingan orang lain atau kolektif
yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang impersonal, sebab yang menjadi objek
perilaku moral adalah sesuatu yang berada diluar diri seseorang, atau diluar
sejumlah orang dari sejumlah orang yang lain yang disebut masyarakat.
Menurutnya seseorang yang bertindak demi kepentingan dirinya belum dianggap
sebagai suatu tindakan yang bersifat moral, karena tindakan tersebut tidak
bersifat sosial.
Dengan demikian
menurut Emile Durkheim pendidikan moral merupakan suatu aktifitas yang harus
dilatih dan mungkin dipaksakan bagi setiap orang sejak dini untuk menjadikan anak yang baik
dan mempunyai tingkat kesadaran
moralitas yang tinggi dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosial. Disamping bersifat
sosial pendidikan moral haruslah bersifat rasional. Durkheim mengacu pada
pendapat –pendapat kaum rasionalis yang menyatakan bahwa tidak ada realita
apapun yang membenarkan seseorang membuat pertimbangan secara mendasar diluar
lingkup penalaran manusia.
2.
Tujuan Pendidikan Moral
Oleh banyak kalangan Durkheim
acap disebut sebagai juru bicara paradigmatik dari mereka yang mengembangkan
konsepsi sosial dalam menyikapi persoalan-persoalan moral. Sebutan semacam itu
agaknya cukup beralasan kalau kita
kaitkan dengan pelbagai pandangan Durkheim yang antara lain melihat bahwa
tujuan-tujuan moral adalah segala sesuatu yang berobyekkan pada masyarakat,
ranah moral akan berkembang bersamaan dengan ranah sosial, moralitas dimulai
dari keterlibatan seseorang pada masyarakat dan bukan tindakan –tindakan yang
merefleksikan kepentingan individu semata.
Dalam teori sosiologi menurut
Emile Dukheim, proses sosialisasi harus dilihat sebagai faktor yang hakiki dari
pembentukan gagasan, perasaan, hasrat yang lebih tinggi dan watak. Selain itu
teori Emile Durkheim menyatakan bahwa:
Ø Manusia baru menjadi manusia, sebab dia hidup di masyarakat.
Ø Seseorang dianggap sebagai makhluk moral karena
dia hidup di masyarakat.
Ø Tanpa masyarakat moralitas tidaklah memiliki
tujuan, tugas dan akar.
Ø Moralitas diciptakan oleh masyarakat dan
ditujukan untuk masyarakat.
Ø Moralitas sosial tidak selalu sama dengan
moralitas konvensional.
Dari pernyataan ini memunculkan
pandangan bahwa Emil Durkheim lebih melihat bahwa makhluk individual adalah
makhluk prasosial, tanpa masyarakat moralitas tidak akan tercipta dan tujuan tindakan moral adalah masyarakat.
Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat tidak bisa direduksi hanya sebagai
kumpulan individu-individu semata, melainkan harus dilihat sebagai makhluk baru
yang sui generis, dengan ciri khasnya sendiri yang berbeda dari ciri khas
anggota-anggota, dengan individualitas sendiri yang tentunya berbeda dengan
individualitas pembentuknya. Dalil yang digunakan Durkheim adalah bahwa
kombinasi elemen-elemen dengan cara apapun, menghasilkan sifat-sifat baru yang
sama sekali berbeda dengan dari sifat masing-masing elemen pembentuknya. Jadi
kombinasi tersebut menjadi sesuatu yang justru melalui
penggabungan-penggabungan pembentuknya.
Dalam proses
penggabungan terjadi kontak dan interaksi antara masing-masing individu yang
melibatkan tindakan, pikiran, maupun perasaan sehingga melahirkan kesadaran
kolektif. Dengan demikian masyarakat menjelma menjadi makhluk moral yang
mempunyai ide-ide, tindakan, dan perasaan yang khas yang tidak pernah menjadi
ciri individu bila hidup terpisah-pisah.
Disamping itu jika
masyarakat menjadi tujuan tindakan moral ia juga harus dipandang sebagai
sesuatu yang diinginkan dalam dan pada dirinya, dan tidak hanya karena berguna bagi individu. Dalam mengikat dirinya
dengan masyarakat setiap orang harus mempunyai kepentingan. Keterikatan hanya
mungkin terealisir bila manusia rela menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sebab
dalam kenyataannya mengaitkan diri dan makhluk lain selalu berarti sampai tingkat
bergabung atau menyatu bersamanya, bahkan siap menggantikan makhluk tersebut
apabila keterikatan memang menuntut pengorbanan.
Namun bagaimana
mungkin keterikatan demikian bisa mengendap dalam kesadaran individu, jika
masyarakat sebagai tujuan moral berada diatas dan berbeda dengan individu.
Apakah kepentingan pribadi harus dikorbankan
karena kepentingan masyarakat. Durkheim mengakui adanya perbedaan antara
individu dan masyarakat. Namun perbedaan itu menurutnya tidak dapat diletakkan
pada posisi resiprokal dan kedua
makhluk tersebut tidak dapat diletakkan dalam posisi antagonis. Sejalan dengan
itu ujarnya tidak benar individu sendirilah yang hanya mengidentifikasi hakekat
dirinya, yang benar justru sebaliknya yaitu ia tidak dapat sepenuhnya
merealisasikan dan menjadi dirinya sendiri kecuali manakala ia telah melibatkan
diri dalam masyarakat.
Hal serupa juga
terjadi pada ilmu pengetahuan. Ia terbentuk dan berkembang sebagai hasil dari
tujuan kolektif. Masyarakatlah yang membentuknya seraya mendesak para anggotanya
untuk terus belajar . Demikian pula peradaban dilahirkan, dilestarikan, dan
diwariskan masyarakat kepada individu. Peradaban merupakan kumpulan dari segala
sesuatu yang dipandang memiliki nilai tertinggi serta merupakan kongregasi dari
nilai-nilai kemanusiaan
Oleh karena itu
untuk menjadi manusia yang baik, orang harus segera menyatu dengan sumber utama
kehidupan moral dan mental yang mnjadi ciri manusia yaitu masyarakat. Dari
masyarakatlah berasal segala sesuatu yang paling baik dalam diri manusia.
Berawal dari masyarakat pulalah keseluruhan segala tingkah laku manusia.
Lebih lanjut
Durkheim mengatakan bahwa seseorang hanya akan bertindak efektif demi
kepentingan masyarakat manakala menggabungkan usaha- usaha individu sehingga
tercipta tindakan kolektif. Tindakan ini tidak saja memiliki pengaruh lebih
luas, melainkan di dalamnya juga terkandung moral yang lebih tinggi, karena
mengejar tujuan yang melampaui kepentingan pribadi.
Dengan demikian
tujuan pendidikan moral menurut Emile Durkheim adalah upaya membentuk manusia
menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I Homme Un Etre Nouveau yang mempunyai rasa solidaritas tinggi, disiplin
untuk tujuan-tujuan sosial dan menciptakan ekuilibrium
masyarakat.
3.
Sumber Pendidikan Moral
Gagasan Emile
Durkheim tentang pendidikan lebih difokuskan pada pendidikan moral yang
rasional yang tidak memasukan unsur-unsur agama didalamnya . Moralitas bukan
sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan melainkan suatu sistem perilaku
yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi
kesepakatan bersama. Dalam hal ini moralitas didasarkan pada beberapa
unsur sebagaimana telah dikemukakan oleh Durkheim . Unsur-unsur tersebut adalah
semangat disiplin, ikatan pada kelompok dan otonomi
Durkheim menolak
sumber moral adalah agama. Hal ini disebabkan analisa Durkheim bahwa kini
peranan Tuhan hanya menjadi pengawal. Sistem moral tidak diciptakan untuk
kepentingan-Nya melainkan demi kepentingan manusia. Tuhan hanya bercampur
tangan dalam membuat moral agar lebih efektif. Sejak saat itulah kewajiban
manusia sebagian besar menjadi bebas dari gagasan religius sehingga ia tidak
lagi merupakan landasan pijak bagi perkembangan moral.
Tahapan
perkembangan diatas memperlihatkan betapa moralitas pada awalnya tidak dibangun
sama sekali dengan melepaskan konsepsi teologis manapun. Namun demikian
pertalian yang sejak semula memadukan dan mengikat kedua sistem tersebut semakin lama semakin
longgar. Maka usaha melepaskan ikatan tersebut secara definitif berarti
mengakui arus sejarah. Persis pada titik inilah proses sekularisasi moral
merupakan kenyataan yang mau tidak mau harus diterima. Durkheim menyadari bahwa
upaya menjadikan proses yang dimaksud tidak akan hanya cukup dengan mengajarkan
moralitas warisan leluhur seraya menghindarkan segala kebutuhan untuk menemukan
kembali jalan menuju gagasan religius. Lebih dari itu diperlukan transformasi
menyeluruh
Mengapa transformasi menyeluruh ditekankan, hal ini
disebabkan karena sistem kepercayaan dan moralitas telah menjadi satu dalam
sejarah selama berabad-abad. Kedua sistem tersebut terjalin erat bahkan sebelum
hubungan keduanya disa dikenal, serta pemisahan antara keduanya bisa
diwujudkan. Baik kepercayaan maupun moral haruslah ditopang pada landasan yang
sama yaitu Tuhan. Dia adalah pusat religius tertinggi serta jaminan tata nilai
moral tertinggi.
Inilah sebabnya mengapa perpaduan ini menjadikan agama
dan moral sama-sama memiliki unsur kewajiban. Orang bahkan dengan mudah melihat
bahwa beberapa elemen dari kedua sistem tersebut saling mendekati satu sama
lain, sehingga membentuk hanya sebuah sistem. Gagasan moral tertentu menyatu
dengan gagasan religius sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan lagi.
Oleh karena itu
apabila dalam merasionalisasikan moralitas, seseorang semata-mata berusaha
mencabut apa saja yang dianggap bersifat moral tanpa mencari unsur
penggantinya, hal ini merupakan yang bersangkutan sekaligus mencabut semua
elemen yang sebetulnya adalah moral itu sendiri. Upaya mencari jalan keluar
metodis dari masalah ini sebagaimana ditawarkan Durkheim dapat dilakukan dengan
mencari tepat pada jantung konsepsi religius, hakekat realitas moral yang
terkubur dan tersembunyi di dalamnya.
Jadi seseorang
harus melepaskan gagasan religius namun pada saat yang sama harus menemukan
unsur-unsur moral, menentukan sifatnya dan mengungkapkannya dalam bahasa
rasional. Dalam hal ini kecenderungan
Durkheim adalah menggantinya dengan masyarakat, dengan catatan masyarakat
dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu
dalam membentuk otoritas moral sehingga memanifestasikan dirinya dalam
aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai
unsur pengganti sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari
realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan rasional
sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan.
Demikianlah
gambaran dari upaya Durkheim menggagas realitas moralitas sekuler yang ingin
mendasarkan moral pada masyarakat dan sebaliknya menolak agama sebagai titik
pijak moral. Konsepsi tentang moralitas sekuler ini sekaligus dijadikan alasan
untuk mengkritik anggapan banyak orang yang melihat moralitas tidak mungkin
digeluti oleh nalar manusia, karena di dalamnya memuat sifat mistis dan
Durkheim juga menggunakan ini sebagai landasan untuk menolak persepsi kaum empiris utilitarian yang disatu pihak
menawarkan gagasan rasional tentang moralitas namun menolak sifat-sifatnya yang sui generis dan
mereduksi ide-ide menjadi ide-ide teknik ekonomi.
Terlepas dari itu
semua, pandangan Durkheim mengenai sumber dan prinsip-prinsip moral
membentangkan kombinasi elemen-elemen yang berbeda. dan sebagian lainnya, memberikan
tekanan pada satu elemen dan tidak pada elemen yang lain. dan itulah yang
barangkali yang menjadi alasan mengapa Durkheim acap kali dilukiskan sebagai
sosok yang begitu perhatian pada norma-norma moral dan tindakan-tindakan yang
bersifat wajib, lebih lagi kalau melihat kecenderungannya terakhir yang begitu
besar perhatiannya pada ide-ide moral.
Prinsip-prinsip
moral kata Durkheim harus berfungsi sebagai penunjuk dan asas kehidupan moaral
yang dapat dan harus dijelaskan kepada peserta didik melalui proses pendidikan
moral. Mengingat prinsip-prinsip pendidikan moral adalah jantung bagi
pendidikan moral maka prinsip-prinsip moral itu harus diajarkan sedemikian rupa
sehingga peserta didik akan merasa terpanggil untuk melaksanakan dengan
mengetahui landasan-landasan atau pertimbangan-pertimbangannya.
4.
Metode Pendidikan Moral
Bagaimana
membangun unsur-unsur moralitas pada anak.?
pertama
dalam mengembangkan unsur-unsur
moralitas pada anak adalah, dengan metode
pembiasaan (membangun disiplin).
Untuk mebangun
disiplin ada dua unsur yang terkait di dalamnya yaitu keinginan adanya
keteraturan dan keinginan tidak berlebihan serta penguasaan diri. Pada usia
dini anak harus dapat dididik untuk
membiasakannya dengan keteraturan. Dengan kata lain disiplin merupakan cara
untuk merangsang kemauan anak dalam proses pembelajaran. Anak harus dilatih
menaati kaidah peraturan, maka ia harus bisa merasakan adanya sesuatu yang
patut dihormati yaitu otoritas moral yang ditanamkan pada anak.
Kedua, metode hukuman dan penghargaan.
Hukuman diperlukan
untuk lebih menaati kaidah peraturan dan menyampaikan kepada anak tentang
otoritas yang inheren, sehingga mereka mematuhi peraturan tersebut secara
spontan dan mempunyai rasa hormat terhadap peraturan. Memang dengan adanya
hukuman tidak menjamin segala sesuatu berjalan baik, namun hukuman itu
diharapkan sekurang-kurangnya dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran
peraturan yang telah ditetapkan dalam mencapai disiplin dan tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan.
Menghukum bukan
berarti membuat orang lain menderita secara jasmani dan ruhani, karena hal ini
bertentangan dengan tujuan moral dalam pendidikan yaitu menghargai martabat
manusia. Hukuman hanya simbol yang
gamblang dari keadaan batin. Oleh karena itu hukuman tidak diperbolehkan
diberikan dalam dosis terlalu berat, sebaiknya dilakukan dengan sangat
bijaksana, karena pengaruhnya akan terasa dan meningkat kalau diterapkan secara
bijaksana.
Ketiga, adalah penggunaan lingkungan sekolah dalam
menumbuhkan solidaritas pada anak.
Untuk membentuk unsur
moralitas kedua, ikatan terhadap kelompok sosial maka Emile Durkheim mengambil
sekolah sebagai sarana pelatihan anak untuk selalu merasa dirinya berada di
lingkungan masyarakat luas sehingga mempunyai solidaritas tinggi terhadap orang
lain dan lebih percaya terhadap apa yang dia lakukannya..
Lingkungan sekolah
yang terdiri dari berbagai murid yang melakukan aktifitas bersama, dapat
dijadikan sarana yang tepat untuk menanamkan kepada anak kebiasaaan kebiasaan
hidup berkelompok, kebutuhan untuk terikat dengan kekuatan-kekuatan kolektif.
Dalam proses pembelajaran terkadang bahkan sering dilakukan metode pemberian
tugas secara kelompok untuk lebih melatih anak menghargai pendapat orang lain.
Keempat, adalah metode keteladanan
Dalam pendidikan
moral Emile Durkheim, keteladanan yang ditunjukkan oleh seorang pendidik
merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya pendidikan
moral. Menurutnya pendidik adalah agen moral masyarakat, mata rantai yang
sangat penting dalam pembentukan moral dan pengalihan budaya. Pendekatan
sosialisasi moral dalam pendidikan Emile Durkheim menyatakan bahwa murid atau
siswa dapat mempelajari nilai-nilai moral dan perilaku apabila pendidik mampu
mengajarkan secara aktif nilai-nilai moral tersebut. Menurut Bennet (penganut
pandangan Durkheim) para penganut Emile Durkheim percaya tentang proses
pengajaran moral dapat difasilitasi dengan cara menjelaskan tentang bagaimana
para pengajar mampu mengajarkannya dengan memberikan contoh-contoh karakter dan
perilaku personalnya.
Tentang penggunaan
metode pendidikan moral banyak tokoh yang memandang bahwa metode pembiasaan dan
keteladanan adalah hal yang sangat penting dalam rangka membentuk anak didik
mempunyai moralitas yang baik. Abdullah Nasih Ulwan misalnya, menyebutkan ada lima metode dalam
pendidikan moral yang diharapkan dapat mempersiapkan anak baik secara moral,
mental, spiritual, maupun memiliki ethos sosial. Diantara metode yang
dirumuskan Nasih ulwan tersebut adalah:
a)
Pendidikan dengan keteladanan
b)
Pendidikan dengan adat kebiasaan
c)
Pendidikan dengan nasehat
d)
Pendidikan dengan perhatian dan pengawasan
e)
Pendidikan dengan hukuman.
Metode yang lain juga disampaikan oleh Athiyah
al-Abrasyi bahwa dalam memberikan pendidikan moral itu tidak terlepas dari keteladanan para guru, selain itu juga metode
yang menjadi perhatiannya adalah pendidikan moral baik secara langsung maupun
tidak langsung yaitu bagaimana guru dapat mensugesti anak didik.
Zakiah Daradjat juga menyampaikan bahwa untuk
membentuk moral yang baik ada beberapa
metode yakni metode pembiasaan dan pengulangan terhadap apa yang dianggap baik,
metode kebebasan yakni anak didik diberi otonomi dalam menentukan mana yang
baik dan mana yang buruk, setelah anak didik diberi pelajaran.
Materi pendidikan
moral menurut Emile Durkheim bukan suatu materi yang harus dicantumkan dalam
kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal ini merupakan kurikulum
tersembunyi ( hidden curiculum). Jadi setiap guru harus memberikan
contoh yang baik kepada anak didik, baik dari segi tingkah laku, sikap,
pengetahuan saling menghormati dan lain sebagainya. Di dalam sebuah sekolah tanggung jawab pokok
untuk pembentukan moral tidaklah terletak pada kegiatan intra kurikuler akan
tetapi pada pengajar.
Selanjutnya dengan
hidden curiculum seorang pengajar harus memiliki pandangan atau sikap
yang terbuka dan tegas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan benar dan
salah, serta membiasakannya siswa bertingkah laku prososial di lingkungan
sekolah. selain itu masyarakat juga harus bisa disosialisikan secara efektif
untuk menunjukkan karakter moral prososialnya dan perilaku sosialnya melalui
ekspose bebas.
Segi lain yang
paling menonjol mengenai materi pendidikan moral menurut pandangan Emile
Durkheim adalah tidak adanya daftar panjang tentang aturan-aturan yang harus
ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui pelbagai artikelnya nampaknya
Durkheim tidak mengedapankan isi materi tertentu yang diaplikasikan dalam
sebuah kurikulum pendidikan moral. Materi
pendidikan moral tidak harus memuat aturan panjang yang harus didikte akan
tetapi lebih menekankan prosedur-prosedur dan pendekatan– pendekatan yang ada
kaitannya dengan situasi-situasi moral. Materi pendidikan moral lebih bersumber
pada norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
6. Peran dan syarat pendidik moral
Masalah pendidik
moral agaknya cukup menempati peran yang sentral dalam sistem pemikiran
Durkheim. Hal ini dapat kita buktikan dari berbagai pandangannya tentang
filsafat sosial, epistemologi dan sosiologi. Bagi Durkheim belajar adalah satu
proses dimana peserta didik akan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga dapat
tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang
diharapkan oleh lingkungan sosialnya. Untuk dapat menjadi pribadi
berpengetahuan dan bermoral, tidak ada kekuatan lain yang mampu membentuk dan
mempengaruhinya kecuali masyarakat. Guru adalah agen masyarakat, mata rantai
yang sangat penting dalam peralihan budaya . Tugas guru adalah menciptakan
suatu makhluk sosial, suatu makhluk yang bermoral.
Posisi guru yang
begitu sentral, dengan tugas dan kekuasaannya
yang demikian besar, sudah pada tempatnya kalau didayagunakan secara
optimal. Namun untuk lebih efektif dan efisien, kata Durkheim, guru harus
memiliki beberapa kualitas pokok Kualitas yang pertama adalah apa yang disebut
dengan otoritas moral.
Guru pendidikan
moral harus menjadi simbol dan sekaligus menjadi contoh bagi anak didik baik
dalam upaya menjadikan dirinya sebagai lambang idola anak didiknya maupun
pemenuhan tugas sehari-hari dalam mewujudkan tertib dan efisiensi. Oleh karena
itu guru harus dibekali dengan otoritas moral, karena tanpa otoritas seorang
guru pendidikan moral tiadak akan mungkin dapat mengajar atau mengembangkan peserta
didik ke arah sifat-sifat yang dibutuhkan bagi kehidupan moral.
Kualitas pokok
yang kedua adalah totalitas dalam berusaha. Mengajar bukanlah sekedar
mentransmisikan fakta atau berita kecil yang terisolasi, akan tetapi mengajar
lebih merupakan aktivitas organis dan sintesis. Dalam mengajar, kata Durkheim
perlu diperhatikan totalitas kepribadian peserta didik
Demikianlah
pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim mengenai pendidikan moral, meliputi
konsep dan hakekat pendidikan moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidiakn
moral, materi pendidikan moral, metode pendidikan moral, serta peran dan syarat
pendidik moral.
0 comments:
Post a Comment