METODE
BANDONGAN
A. METODE
BANDONGAN
1.
Pengertian
Metode Bandongan
Metode utama sistem pengajaran di
lingkungan pesantren adalah sistem bandongan
atau seringkali juga disebut weton.
Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang
guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku
Islam dalam bahasa Arab. Seorang murid memperhatikan bukunya sendiri-sendiri dan membuat catatan-catatan
tentang kata-kata yang sulit.
Metode bandongan adalah kiyai menggunakan daerah setempat, kiyai membaca,
menerjemahkan, menerangkan, kalimat demi kalimat kitab yang dipelajarinya,
santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai dengan
memberikan catatan-catatan tertentu pada kitabnya masing-masing dengan
kode-kode tertentu sehingga kitabnya disebut kitab jenggot karena banyaknya catatan yang menyerupai jenggot seorang
kiayi. Dengan metode pengajaran bandongan
ini lama belajar santri tidak tergantung lamanya tahun belajar tetapi
berpatokan kepada waktu kapan murid tersebut menamatkan kitabnya yang telah
ditetapkan.
Pendidikan tradisional di pesantren
salah satunya meliputi pemberian pengajaran dengan struktur, metode, dan
literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradisional ini dapat berupa
pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang
bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara
pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah atas suatu
kitab tertentu.
Dalam prakteknya selalu berorientasi
pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol
tujuan yang tegas. Dalam metode ini santri bebas mengikuti pelajaran karena
tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri-santri yang tidak
mengikuti pelajaran terutama jika jumlah mereka puluhan atau ratusan orang.
Metodologi pengajaran yang dikenal dengan nama sorogan, wetonan, dan khataman
semuanya menampilkan liberalisasi proses pembelajaran. Santri bebas untuk
mengikuti pengajian atau tidak, dimana pelajaran tidak diatur dalam silabus
yang terprogram, melainkan berpegang pada bab-bab yang tercantum didalam kitab.
2.
Penerapan Metode Bandongan
Kitab-kitab Islam klasik
yang lebih popular dengan sebutan kitab kuning. Kitab-kitab ini ditulis oleh
ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang
santri diukur dari kemampuannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi
kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang
santri dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu, syaraf,
balaghah, ma’ani, bayan, dan lain sebagainya.
Ada beberapa hal yang
penting diperhatikan dalam mengikuti proses pembelajaran kitab di pesantren,
yang menyangkut interaksi guru-murid dan sumber belajar, antara lain sebagai
berikut:
a. Kyai sebagai guru dipatuhi secara mutlak, dihormati
termasuk anggota keluarganya, dan kadang dianggap memiliki kekuatan gaib yang
dapat memberi berkah.
b. Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan semata-mata karena
ketajaman akal, ketetapan metode mencarinya, dan kesungguhan berusaha,
melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu, dan berkah kyai serta
upaya ritual keagamaan seperti puasa, doa, dan riadhah.
c. Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah
marah. Karena itu, ia harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah
banyak mengajar santri.
d. Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun
santri mampu menelaah kitab sendiri, yang demikian ini belum disebut ngaji.
Untuk melaksanakan kegiatan
pembalajaran dengan menggunakan metode bandongan biasanya dilakukan
langkah-langkah berikut ini:
a. Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan
para santri.
b. Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para
santri apakah sudah siap untuk belajar atau belum.
c. Seorang kyai atau ustadz dapat memulai kegiatan
pembelajaran dengan membaca teks Arab gundul
kata demi kata disertai dengan terjemahannya dan pembacaan tanda-tanda khusus
(seperti “utawi”, “iku”, “sopo”, dan
sebagainya) pada topik atau pasal tertentu disertai pula dengan penjelasan dan
keterangan-keterangan.
d. Pada pembelajaran tingkat tinggi, seorang kyai atau
ustadz terkadang tidak langsung membaca dan menterjemahkan. Ia terkadang
menunjuk secara bergiliran kepada para santrinya untuk membaca dan menterjemahkan
sekaligus menerangkan suatu teks tertentu. Disini kyai atau ustadz berperan
sebagai pembimbing yang membetulkan apabila terdapat kesalahan dan menjelaskan
bila ada hal-hal yang dipandang oleh para santri sebagai sesuatu yang asing
atau rumit.
e. Setelah menyelesaikan pembacaan pada batasan tertentu,
seorang kyai atau ustadz memberi kesempatan kepada para santri untuk menanyakan
hal-hal yang belum jelas. Jawaban dilakukan langsung oleh kyai atau ustadz atau
memberi kesempatan terlebih dahulu kepada para santri yang lain.
f. Sebagai penutup terkadang seorang kyai atau ustadz
menyebutkan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran
yang telah berlangsung.
Bentuk lingkaran kegiatan
pengajian para santri dengan menggunakan metode bandongan pada prakteknya dilakukan bermacam-macam, ada yang
menggunakan bentuk lingkaran penuh seperti huruf O atau berbentuk setengah lingkaran seperti huruf U atau berbentuk berjejer lurus dan
berbanjar kebelakang menghadap berlawanan arah dengan kyai. Dari berbagai macam
bentuk ini yang jelas para santri dalam pengajiannya mengelilingi secara berkerumun dengan duduk
bersila menghadap kyai.
Pembelajaran terhadap
kitab-kitab klasik dipandang penting karena dapat menjadikan santri menguasai
dua materi sekaligus. Pertama, bahasa Arab yang merupakan bahasa kitab itu
sendiri. Kedua, pemahaman atau penguasaan muatan dari kitab tersebut. Dengan
demikian, seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren
diharapkan mampu memahami isi kitab secara baik, sekaligus dapat menerapkan
bahasa kitab tersebut menjadi bahasa kesehariannya.
3.
Sistem Evaluasi Metode Bandongan
Seorang ustadz atau kyai
menilai terhadap berbagai aspek yang ada pada santri, baik aspek pengetahuan
terhadap pengasaan materi kitab itu atau perilaku yang mesti ditunjukkan dari
pengkajian materi kitab, ataupun ketrampilan tertentu yang diajarkan dalam
kitab tersebut.
a. Aspek pengetahuan (kognitif)
dilakukan dengan menilai kemampuan santri dalam membaca, menterjemahkan dan
menjelaskan.
b. Aspek sikap (afektif)
dapat dinilai dari sikap dan kepribadian santri dalam kehidupan keseharian.
c. Aspek keterampilan (skill)
yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui praktek kehidupan
sehari-hari ataupun dalam bidang fiqh, misalnya dapat dilakukan dengan praktek
atau demonstrasi yang dilakukan oleh para santri pada halaqah tersebut.
Dalam sumber yang lain
dijelaskan pada umumnya pesantren yang belum mencangkok sistem
pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat
cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri yang
mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk
mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga
memberikan kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa
puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat, dan kalau santri belum puas, tidak salah baginya
untuk pindah pesantren lain dalam rangka mendalami ilmunya.
4.
Kekurangan dan
Kelebihan Metode Bandongan
a.
Kekurangan.
1). Metode ini
dianggap lamban dan tradisional, karena dalam menyampaikan materi sering
diulang-ulang.
2). Guru lebih
kreatif dari pada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur (monolog).
3). Dialog antara
guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.
4). Metode
bandongan ini kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang
disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.
b. Kelebihan.
1). Lebih cepat dan
praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya banyak.
2). Lebih efektif
bagi murid yang telah mengikuti system sorogan secara intensif.
3). Materi yang
diajarkan sering diulang-ulang sehinnga memudahkan anak untuk memahaminya.
4). Sangat efisien
dalam mengajarkan ketelitian memahami kalimat yang sulit dipelajari
Daftar Pustaka:
Ø Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ES, 1994.
Ø Armai Arief, Pengantar
Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Ø Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi
Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Ø Mujamil Qomar, Pesantren
Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Surabaya:
Erlangga, 2008.
Ø Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Ø Haidar Putra Dauly, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2009.
Ø Abuddin Nata, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT Grasindo, 2001.
Ø Faiqoh, Pola
Pembalajaran di Pesantren. Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama
Islam, 2003.
Ø Amiruddin Nahrawi, Pembaharuan
Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: Gama Media, 2008.
0 comments:
Post a Comment