Wednesday, June 6, 2012

PANDANGAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN MORAL


PANDANGAN AL-GHAZALI
TENTANG PENDIDIKAN MORAL
A.  Pengertian Dan Hakikat Pendidikan Moral
Untuk memahami pandangan al-Ghazali tentang moral dapat dilacak dari konsepnya tentang khulq. Al-Ghazali mendefisinikan kata khulq (moral) sebagai suatu keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan –perbuatan yang mudah tanpa melalui pemikiran dan usaha.
Adapun untuk menjelaskan pengertian jiwa, Al-Ghazali menggunakan empat istilah, yaitu al-qalb, al-nafs, al-ruh dan al-aql. Keempat isilah itu menurut al-Ghazali memiliki persamaan dan perbedaan arti. Perbedaannya terutama bila ditinjau dari segi fisik dimana al-qalb berarti kalbu jasmani, al-ruh berarti roh jasmani dan latif, al-nafs berarti hawa nafsu dan al-aql yang mempunyai arti ilmu. Sedang persamaannya adalah bila ditinjau dari segi ruhaniah keempat hal berarti jiwa manusia yang bersifat latif rabbani yang merupakan hakikat, diri dan zat manusia. Oleh karena itu manusia dalam pengertian pertama(fisik) tidak kembali kepada Allah, namun dalam pengertian kedua (ruhaniah) kembali kepada-Nya.
Dengan demikian pengertian jiwa menurut Al-Ghazali mencakup pengertian jiwa dalam arti yang fisik yang berhubungan dengan daya hidup fisik dan jiwa yang berhubungan dengan hakekat, diri dan zat manusia yang bersifat rabbani.
Di dalam “Maarif al-Quds”, al-Ghazali menyatakan manusia terdiri atas substansi yang berdimensi (materi) dan substansi yang tidak berdimensi (immateri) yang mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Al-Ghazali membagi fungsi jiwa manusia dalam tiga tingkatan, al-nafs al-insaniyyat (jiwa manusia), al-nafs al-nabatiyah (jiwa vegetatif) dan al nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif). Al-nafs al nabatiyah (jiwa vegetatif) memiliki daya makan tumbuh dan berkembang. Al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif) memiliki daya bergerak, daya tangkap dan daya khayal. Al-nafs al-insaniyyat (jiwa manusia) memiliki daya akal praktis (al-‘amilat) dan daya akal teoritis (al-‘alimat). Daya yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teoritis.Yang dimaksud dengan akal teoritis adalah akal yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan yang abstrak dan universal.
Berdasarkan analisis terhadap hakekat jiwa, potensi dan fungsinya,  al-Ghazali berpendapat bahwa moral dan sifat seseorang bergantung kepada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Kalau jiwa yang berkuasa nabbati dan hewani maka moral dan sifat orang tersebut menyerupai nabbati dan hewani. Akan tetapi apabila yang berkuasa jiwa insaniyyah maka orang tersebut bermoral seperti insan kamil.
Namun demikian, ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi al-Ghazali mengenai moral sama sekali tidaklah berarti ia mengabaikan unsur jasmani manusia. Ia juga menganggap penting unsur ini karena ruhani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya sebagai khalifah. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan ruhani yang baik. Dengan menghubungkan kehidupan jasmani dengan dunia ia menyatakan bahwa dunia itu merupakan ladang bagi kehidupan akhirat, maka memelihara, membina mempersiapkan dan  memenuhi kebutuhan jasmani agar tidak binasa adalah wajib.
Jadi menurut al-Ghazali moral bukanlah perbuatan lahir yang tampak melainkan suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan secara wajar mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran
Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu perbuatan moral tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja, namun juga harus dilihat dari unsur kejiwaannya. Oleh karena itu perbuatan lahir harus dilihat dari motiv dan tujuan melakukannya
Mengenai pengertian pendidikan menurut al-Ghazali memiliki pengertian yang sangat luas, tidak hanya menyangkut pendidikan dari segi individu, namun juga  masyarakat dan kejiwaan. Dari segi individu pendidikan baginya berarti pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sesuai tuntutan fithrahnya kepada ilmu dan agama. Manusia selalu ingin mengenal zat yang absolut dan  perjuangan terpenting dalam hidupnya adalah pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya
Pengertian pendidikan dari segi masyarakat menurut al-Ghazali pada umumnya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ahli pendidikan modern yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat terhadap setiap individu didalamnya agar kehidupan budaya berkesinambungan. Perbedaannya mungkin terletak pada nilai-nilai yang diwariskan dalam pendidikan tersebut. Bagi al-Ghazali nilai-nilai yang diwariskan adalah nilai-nilai keislaman yang didasarkan pada al-Qur’an, hadits, atsar dan kehidupan orang-orang salaf.
Adapun pengertian pendidikan dari segi jiwa menurut al- Ghazali adalah upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.
Jika istilah moral oleh al-Ghazali diartikan sebagai kondisi atau keadaan jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan tanpa fikir dan usaha, sementara pendidikan jiwa diartikan sebagai usaha penyucian jiwa maka pendidikan moral menurut al-Ghazali berarti upaya membentuk manusia yang memiliki jiwa yang suci, kepribadian yang luhur  melalui proses takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.   
B.   Tujuan Pendidikan Moral
Untuk dapat melihat tujuan dan orientasi pendidikan moral al-Ghazali, perlu kiranya menjadikan peta wacana pendidikan moral yang berkembang sebagai parameter. Bila dianalisis, wacana pendidikan moral yang berkembang setidaknya dapat dipetakan menjadi lima jenis orientasi atau kecenderungan
Pertama, pendidikan moral yang berorientasi pada pembiasaan diri dengan prinsip-prinsip moral beberapa lama sampai mentradisi. Kedua pendidikan moral yang berorientasi pada pembentukan kesadaran dan kepekaan moral (Basirah akhlaqiyah) seseorang sehingga ia mampu membedakan antara perilaku baik dan perilaku buruk. Ketiga, pendidikan moral yang berorientasi pada pengajaran prinsip-prinsip moral dengan cara indoktrinasi-imperatif. Keempat orientasi spiritual-sufistik yang memandang pendidikan moral tidak sekedar dengan tiga orientasi diatas melainkan lebih dari itu, penyucian diri dari segala kehinaan dan dorongan –dorongan jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir batin (tahalli). Kelima pendidikan moral yang berorientasi pada pembentukan kesiapan moral, sehingga transfer abilitas pada ragam perilaku moral dapat terjadi dengan mudah atas kemauan diri sendiri.
Kelima jenis orientasi pendidikan moral diatas dalam praktiknya tidaklah distingtif-eklusif, melainkan masing-masing mengandung unsur yang tumpang tindih, hanya saja kadar aksentuasinya yang berbeda sejalan dengan orientasi yang dianut. Demikian halnya dengan al-Ghazali walaupun pendidikan moralnya bertujuan untuk penyucian diri dari segala kehinaan dan dorongan –dorongan jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir batin (tahalli), namun tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang lain.
Menurutnya moral yang baik yaitu hendaklah seseorang itu bersedia menghilangkan seluruh kebiasaan- kebiasaan buruk yang telah dijelaskan perinciannya dengan agama dan dijadikannya sekiranya seseorang itu membencinya kemudian menjauhinya seperti menjauhi benda-benda yang menjijikkan. dan hendaklah membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menyukainya sehingga memberi kesan dan ia pun merasa nikmat dengannya. Hal diatas menggambarkan bahwa untuk menumbuhkan moral yang baik seseorang harus berlandaskan agama.
Menurut al-Ghazali tujuan dari perbuatan moral adalah kebahagiaan yang identik dengan kebaikan utama dan kesempurnaan diri.  Kebahagiaaan menurut Al-Ghazali terbagi menjadi dua macam : kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan duniawi. Menurutnya kebahagiaan ukhrawi adalah kebahagiaan yang utama sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah metamorfosis. Namun demikian apapun yang kondusif bagi kebahagiaan/ kebaikan utama maka itu merupakan kebaikan juga. Bahkan ia menegaskan bahwa kebahagiaan ukhrawi tidak dapat diperoleh tanpa kebaikan-kebaikan lain yang merupakan sarana untuk meraih tujuan kebaikan ukhrawi. Kebaikan –kebaikan itu dalam pandangan al-Ghazali terangkum menjadi empat hal. Yang pertama yaitu empat kebaikan utama: Hikmah, Syaja’ah, Iffah, dan ‘Aadalah.
Pengertian hikmah (kebijaksanaan ) yaitu keutamaaan kekuatan akal. Hikmah disini meliputi pengaturan yang baik, kebaikan hati, kebersihan pemikiran dan kebenaran perkiraan. Yang dimaksud dengan pengaturan yang baik adalah kebaikan fikiran dalam mengambil sesuatu yang lebih maslahat dan lebih utama dalam mencapai kebaikan yang agung dan tujuan-tujuan yang mulia dari hal-hal yang berhubungan dengan diri sendiri. Adapun kebaikan hati adalah kemampuan membenarkan hukum di kala terjadi kekaburan pendapat dan berkobarnya perselisihan dalam pendapat. Kemudian yang dinamakan kebersihan pemikiran adalah kecepatan mengerti tentang sarana –sarana yang menyampaikan akibat-akibat terpuji. Sedang kebenaran perkiraan adalah sesuainya kebenaran pada hal-hal yang nyata tanpa bantuan angan-angan.
Sedangkan syaja’ah (keberanian) maksudnya adalah adanya kekuatan nafsu marah. Sifat-sifat yang termasuk dalam keutamaan keberanian adalah :murah hati, besar hati, berani menanggung derita, tidak lekas marah, teguh hati merasa senang hati terhadap perbuatan-perbuatan yang mulia, bijaksan dan sopan. Kebalikan dari sifat-sifat yang termasuk keberanian adalah: pemborosan, menghambur-hamburkan, penakut, bermegah-megahan, menghinakan diri, lekas marah, sombong, berbuat keji, ujub dan menjadi hina
Adapun iffah (pemeliharaan diri) maksudnya adalah keutamaan syahwat. Sifat-sifat yang termasuk dalam iffah yaitu: adanya perassaan malu ( pertengahan antara tidak berperassaaan malu dengan kelemahan), terlalu malu ( kesedihan dan kelemahan nafsu akibat sangat malu), toleransi, sabar, murah hati, memiliki perhitungan, memiliki kesukaan hati, teratur, menjauhi dosa, ramah-tamah menolong dan lain-lain. Sedangkan ‘aadalah ialah suatu kondisi bagi terjadinya tiga kekuatan diatas secara teratur dan sesuai ketertiban yang semestinya
 Yang kedua kebaikan-kebaikan jasmani seperti kesehatan, kekuatan, hidup teratur dan panjang umur. Yang ketiga kebaikan-kebaikan eksternal seperti kekayaan, keluarga, kedudukan sosial, dan kehormatan. Yang keempat kebaikan-kebaikan Tuhan seperti petunjuk (hidayah), Bimbingan yang lurus (rusyd), pengarahan (tasdid) dan pertolongan (ta’yid). Sebagian kebaikan ini seperti halnya kebaikan jiwa sangat esensial bagi kebaikan-kebaikan diatas dalam berbagai tingkatan.
Dengan demikian konsep al-Ghazali tentang tujuan moral tidaklah membedakan antara konsep kebahagiaan (happines) dan kebaikan (virtue), karena suatu tindakan moral mempunyai tujuan lain diluar kebaikan itu sendiri, maka konsep al-Ghazali ini dapat dikatakan bersifat teleologis.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan moral menurut al-Ghazali adalah terbentuknya moral yang baik pada anak didik sesuai landasan agama. Moral yang baik terstruktur dari hikmah, syaja’ah, iffah dan ‘aadalah. Adapun tujuan akhir dari  moral adalah mencapai kebahagiaan utama yaitu makrifatullah.    
C.  Sumber Pendidikan Moral
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan hakiki moral adalah kebahagiaan ukhrowi. Hal ini  mengandung arti adanya keterikatan antara perbuatan moral dengan eksistensi Tuhan. Al-Ghazali sejak awal telah menempatkan eksistensi Tuhan sebagai tujuan primernya, sehingga dalam membangun filasafat moralnya mengacu kepada cinta kepada Allah, makrifatullah dan menjadikan Tuhan sebagai sumber utama dari nilai-nilai moralnya.
Bagi al-Ghazali kekuasaan Tuhan dan otoritas-Nya lebih absolut daripada gagasan tentang kemungkinan manusia memahami karya Tuhan melalui inisiatif manusia dalam meraih keutamaan-keutamaan puncak. Al-Ghazali menolak peranan rasio bebas dalam memberikan landasan bagi tindakan moral. Penolakan tersebut adalah dengan mengontraskan antara rasio dengan wahyu baik dalam bentuk-bentuk langsung maupun turunannya, juga dengan syara’, teks-teks kitab suci dan tradisi-tradisi yang dipandang sebagai sumber ahkam.
Penolakan Al-Ghazali yang demikian tampaknya didasarkan pada kekhawatirannya yang berlebihan tentang konsekuensi penerimaan hukum-hukum kausalitas dalam alam dan moralitas yang akan membawa penolakan terhadap kemahakuasaan Tuhan.
Tindakan al-Ghazali menyerang dan menolak fungsi rasio dalam memilih perbuatan etis yang layak tidak berarti bahwa al-Ghazali meninggalkan persoalan moral tanpa solusi alternatif apapun. Dia bersandar pada wahyu, tetapi masih membutuhkan perantara dalam menyampaikan ajaran wahyu. Dengan semangat ingin tahu yang tinggi, al-Ghazali menggantikan fungsi aktif dan kritis rasio manusia menjadi fungsi yang tidak aktif dan tidak kritis dengan mengajukan suatu metode baru dalam menanamkan perbuatan etis manusia melalui bimbingan ketat dari syaikh atau pembimbing moral.
Peran syaikh dalam pandangan al-Ghazali menjadi sangat menonjol karena rasio manusia tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya sebagai pembimbing dalam memilih jenis pilihan moral. Terdapat sisi yang jelas dalam sistem pemikiran al-Ghazali bahwa aql akan tersesat jika tidak dibimbing secara  terus menerus oleh syaikh. Oleh karena itu para murid harus mempercayakan kepada syaikh mengenai urusan-urusannya ibarat pasien dungu yang harus tunduk kepada dokter yang pandai. Al-Ghazali mengatakan:
Apapun yang disarankan oleh sang guru kepada murid, yang belakangan harus tunduk dengan mengesampingkan pendapat pribadinya, karena kesalahan gurunya (syaikh) adalah lebih bermanfaat baginya daripada putusannya sendiri. Meskipun benar karena pengalaman akan menampakkan detail-detail yang barangkali asing, sekalipun begitu akan sangat berguna. 
Dengan demikian sumber pendidikan moral menurut al-Ghazali adalah wahyu dengan perantara bimbingan yang ketat dari syaikh. Al-Ghazali dengan demikian meminggirkan rasio atau paling tidak meminimalisir fungsi rasio yang semestinya dalam landasan etis kehidupan manusia.
D.  Materi Pendidikan Moral
Pandangan al-Ghazali tentang materi pendidikan moral dapat dilacak dari pendapatnya mengenai jalan untuk mencapai kebaikan sejati. Menurutnya untuk dapat bermoral baik dan mencapai tujuan moral tidak ada jalan lain kecuali dengan ilmu dan amal. Adapun ilmu dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin”, al-Ghazali menyebutkan ilmu untuk mencapai kebahagiaan sejati terbagi menjadi dua:
1.          Ilmu Mukasyafah
Yaitu ilmu yang sesuatu daripadanya dituntut menyingkap sesuatu yang diketahui. Ilmu mukasyafah ini menyangkut masalah-masalah metafisik yang membicarakannya hanya dengan rumuz dan isyarat atas jalan perumpamaan dan global.  Ilmu mukasyafah individu dapat juga dikatakan sebagai sain esoteris mengenai rahasia-rahasia transenden yang disebutkan dalam al-Qur’an yang tidak dapat dicapai oleh masyarakat awam. Oleh karena itu manusia harus dicegah untuk menekuni rahasia-rahasia ini dan sebagai gantinya mereka didorong untuk mencari subyek-subyek yang dibolehkan hukum Islam.
2.          Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah ilmu yang daripadanya dituntut mengetahui serta mengamalkannya. Ilmu Muamalah terbagi kepada ilmu lahir yakni ilmu mengenai amalan anggota badan dan ilmu batin yakni ilmu mengenai amalan-amalan hati. Ilmu yang berjalan atas anggota- anggota badan menjadi adat dan ibadat. Sedangkan bagian batin yang berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi menjadi tercela dan terpuji. Dengan kata lain ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah.
Sedangkan dalam kitab “Mizan al-Amal”, al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu yang dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan sejati dibedakan menjadi dua macam  yaitu: ilmu Nazhari dan ilmu Amali. Ilmu Nazhari terbagi menjadi bermacam-macam dan berbeda-beda sesuai  dengan perbedaan adat, negara dan bangsa. Namun menurut al-Ghazali yang terpenting dalam kaitannya dengan pembinaan moral adalah ilmu yang dapat menyampaikan kesempurnan jiwa, sehingga dengan kesempurnaan itu manusia dapat mencapai kebahagiaan.
Tentang ilmu Amali al-Ghazali membagi menjadi tiga macam yaitu:
a.      Ilmu Jiwa dengan sifat-sifat dan akhlak, yaitu melatih jiwa dan memerangi hawa nafsu.
b.      Ilmu Jiwa tentang cara mengatur ekonomi , kelurga, anak,  pelayan dan para hamba.
c.      Ilmu Tata Negara ( siasat mengatur penduduk negeri). Diantara ketiga ilmu tersebut kaitannya dengan pendidikan moral, menurut al-Ghazali yang paling penting adalah ilmu mensucikan jiwa, ilmu mengatur badan dan memelihara keadilan sesuai dengan sifat-sifat yang ditentukan.
Sedangkan menurut sumbernya, al-Ghazali membagi ilmu yang ada  menjadi ilmu Syar’iyyah dan ilmu non Syar’iyyah. Ilmu-ilmu Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan syari’at. Ilmu ini terbagi menjadi empat macam: al-ushul ( pokok), al-furu’ ( cabang), al-muqaddimah (pengantar) dan al-mutammimat ( pelengkap).
Sedangkan ilmu non Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang bersumber pada akal, eksperimen, akulturasi. Termasuk dalam ilmu ini adalah semua ilmu rasional dan filosofis. Ilmu-ilmu ini apabila tidak dilarang dengan tegas oleh syar’i maka hukumnya adalah mubah.
Fathiyah Hasan Sulaiman menyimpulkan gradasi materi pendidikan akhlak dari karya-karya Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1.       Urutan pertama: al-Qur’an al-karim dan ilmu-ilmu agama seperti              Fiqh, Sunnah dan Tafsir.
2.       Urutan kedua  ilmu-ilmu bahasa, seperti ilmu Nahwu, serta artikulasi huruf dan lafal karena ilmu tersebut melayani agama.
3.       Urutan ketiga ilmu yang termasuk kategori ilmu wajib kifayah.
4.       Urutan keempat Ilmu yang berkaitan dengan budaya, sejarah serta sebagian cabang filsafat, seperti matematika, logika dan lain sebagainya.
Disamping ilmu sarana kedua mencapai kebaikan moral dan tujuan moral adalah amal. Menurut al-Ghazali amal adalah penyempurna ilmu untuk mencapai tujuan yang semestinya. Amal dalam konteks ini adalah mengekang nafsu jiwa mengontrol amarah dan menekankan pertimbanagan sehingga benar-benar tunduk terhadap akal.
E.   Metode Pendidikan Moral
Al-Ghazali tidak membahas secara tersendiri tentang metode pendidikan dalam karya-karya secara mendalam sebagaimana ia membahas tentang pendidik dan anak didik dan berbagai kewajiban yang melingkupinya. Namun demikian bukan berarti ia tidak membahasnya dalam pendidikannya. Analisis cermat terhadap pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral akan karya-karyanya terutama “Ihya’” akan ditemukan beberapa metode pendidikan moral. Dalam karya monumentalnya ”Ihya’ Ulumuddin”  tentang pendidikan moral (al-thuruq ila tahzib al akhlak), al-Ghazali menggunakan beberapa metode yang dapat ditempuh dalam pembentukan moral yang baik:
1.      Metode pembiasaan. Yakni metode dengan melatih anak didik untuk membiasakan dirinya pada budi pekerti dan meninggalkan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan dan latihan. Tentang metode ini al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika keagamaan tidak mungkin akan meresap dalam jiwa sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan baik dan dijauhkan dari kebiasaan yang buruk, atau rajin bertingkah laku terpuji dan takut bertingkah laku tercela. Al-Ghazali sangat menekankan langkah pembiasaan kepada anak-anak untuk berbuat sesuai dengan nilai-nilai  moral yang baik. Hal ini seperti apa yang dikemukakan :“apabila anak itu dibisakan untukmengamalkan apa-apa yang baik, diberi pendidikan kearah itu pastilah ia akan tumbuh ditas kebikan tadi aibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika ana itu sejak kecil dibiasakan  dan dibiarkan mengerjakan keburukan, begitu saja tanpa diberikan pendidikandn pengajaran, yakni sebagaiman halnya sesesorang memelihara binatang, mak akibatnya anaki tu akan selalu berakhlak buruk, dan dosanya dibebankan kepada orang yang bertanggung jawab (orang tua dan guru) memelihara dan mengasuhnya.
Untuk menopang proses pembentukan kebiasaan bagi anak-anak al-Ghazali mengemukakan beberapa prinsip yang perlu dilakukan oleh pendidik yaitu :
a.         Penggunaan dorongan atau pujian.
b.        Pemberian celaan secara bijaksana.
c.         Melarang anak untuk berbuat buruk secara sembunyi-sembunyi.
d.        Melarang anak untuk membanggakan apa yang dimilikinya.
e.         Mengajari anak untuk bersikap suka memberi dan tidak suka meminta.
2.      Metode keteladanan.
Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi, Rasulullah dijadikan Allah dalam pribadinya teladan yang baik. Demikian halnya dengan guru. Dalam pandangan Al-Ghazali guru adalah pewaris nabi dan subyek pendidikan, maka haruslah menjadi teladan bagi anak didiknya.
Berkaitan dengan hal tersebut Al-Ghazali memberikan penjelasan seperti apa yang dikemukakannya: “Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatanya. Perumpamaan guru yang membimbing murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok.”
Hal diatas menegaskan betapa al-Ghazali sangat menekankan keteladanan dalam pendidikan moral.
3.      Metode yang ketiga adalah tazkiyah nafs ( metode penyucian diri)
Metode ini merupakan metode yang dikenal dengan metode sufistik. Dalam kaitannya dengan pembinaan moral, al-Ghazali menganalogikan metode ini dengan metode pembinaan badan. Untuk menghindarkan badan dari rasa sakit yaitu dengan menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit badan, demikian pula denagn jiwa. Untuk menghaindarkan jiwa dari penyakit maka haruslah menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit jiwa. Adapun jiwa yang sakit harus disucikan sebagaimana pengobatan bagi badan yang sakit. 
Metode ini terdiri dari dua langkah yaitu takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.
Al-Ghazali dalam proses penyucian jiwa menekankan pentingnya seorang pembimbing moral sebagai panutan penyucian diri, pencerahan, pembersihan jiwa. Dalam proses tersebut menurutnya seorang sufi harus memahami tingkat-tingkat atau kondidsi penyakit jiwa yang dialami oleh murid. Karena itu bagi seorang guru harus benar-benar mengetahui kondisi jiwanya.
Mengenai cara pengosongan sifat-sifat tercela dalam rangka penyucian jiwa, al-Ghazali mengemukakan empat cara:
1.            Menghadap kepada syaikh pembimbing moral yang mampu melihat aib diri atau penyakit jiwa kemudian mengikuti petunjuknya dalam bermujahadah.
2.            Mencari teman yang jujur agar memperhatikan keadaan-keadan dan perbuatan diri agar memberitahu mana moral dan perbuatan tercela yang tidak disenanginya baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
3.            Mencari tahu aib diri melalui ucapan-ucapan musuh sebab musuh selalu mencari aib lawan.
4.            Bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat luas sehingga mampu melihat mana yang baik dan mana perbutan dan moral yang buruk, kemudian menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai atau tercela yang dilakukan orang lain. Dari keempat cara penyucian diri, cara pertama merupakan cara yang dianggap sangat penting bahkan dianggap suatu keharusan oleh al-Ghazali
F.   Peran dan syarat pendidik moral
Pendidik menurut al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat mulia dan peran yang sentral dalam membentuk manusia yang bermoral. Sehubungan dengan hal tersebut al-Ghazali berkata: “Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat kepada Allah.
Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa bahwa profesi guru adalah profesi yang sangat mulia dan tugas utama pengajar adalah berusaha membimbing, meningkatkan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliknya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk mulia. Kesempurnaan manusia itu terletak pada kesucian hatinya, untuk itu pendidik dalam perspektif al-Ghazali harus memiliki kesucian jiwa dan kebersihan hati.
Disamping itu seseorang pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadianya. Diantara sifat-sifat tersebut adalah:
1.      Sabar dalam menghadapi berbagai pertanyaan dari murid
2.      Senantiasa mengembangkan kasih sayang.
3.      Duduk dengan sopan, tidak riya’ dan tidak pamer.
4.      Tidak takabur kecuali terhadap orang yang dzalim  dengan maksud mencegah tindakannya.
5.      Bersikap tawadlu’  dalam pertemuan ilmiah
6.      Sikap dan perbuatannya hendaknya tertuju pada topik persoalan
7.      Memiliki sikap bersahabat dengan murid-muridnya.
8.      Menyantuni dan tidak membentak-bentak orang bodoh.
9.      Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang tidak dikuasainya.
10.  Menampilkan hujjah yng benar.
Mohammad Athiyah al-Abrasyi menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki seorang guru dalam mengemban tugasnya sebagai berikut: zuhud, tidak mengutamakan materi, bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari riya’, dengki, permusuhan dan sifat tercela yang lain, ikhlas dalam beramal dan bekerja, mencintai murid , memikirkan murid seperti anaknya sendiri, mengetahui tabiat murid dan menguasai materi pelajaran.
Dari  uraian diatas tampak betapa berat tugas dan tanggung jawab seorang guru. Berkaitan dengan berat tugas dan tanggung jawab seorang guru, al-Ghazali lebih lanjut menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
a.       Guru ialah orang tua kedua di depan murid
b.      Guru sebagai pewaris ilmu nabi
c.       Guru sebagi penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
d.      Guru sebagai sentral figur bagi murid
e.       Guru sebagai motivator bagi murid
f.       Guru sebagi orang yan memahami tingkat perkembangn intelektual murid
g.      Guru sebagai teladan bagi murid. 

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com