PANDANGAN
AL-GHAZALI
TENTANG
PENDIDIKAN MORAL
A.
Pengertian
Dan Hakikat Pendidikan Moral
Untuk memahami
pandangan al-Ghazali tentang moral dapat dilacak dari konsepnya tentang khulq.
Al-Ghazali mendefisinikan kata khulq (moral) sebagai suatu keadaan atau bentuk
jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan –perbuatan yang mudah tanpa
melalui pemikiran dan usaha.
Adapun untuk
menjelaskan pengertian jiwa, Al-Ghazali menggunakan empat istilah, yaitu al-qalb,
al-nafs, al-ruh dan al-aql. Keempat isilah itu menurut al-Ghazali
memiliki persamaan dan perbedaan arti. Perbedaannya terutama bila ditinjau dari
segi fisik dimana al-qalb berarti kalbu jasmani, al-ruh berarti
roh jasmani dan latif, al-nafs berarti hawa nafsu dan al-aql yang
mempunyai arti ilmu. Sedang persamaannya adalah bila ditinjau dari segi
ruhaniah keempat hal berarti jiwa manusia yang bersifat latif rabbani yang
merupakan hakikat, diri dan zat manusia. Oleh karena itu manusia dalam
pengertian pertama(fisik) tidak kembali kepada Allah, namun dalam pengertian
kedua (ruhaniah) kembali kepada-Nya.
Dengan demikian
pengertian jiwa menurut Al-Ghazali mencakup pengertian jiwa dalam arti yang
fisik yang berhubungan dengan daya hidup fisik dan jiwa yang berhubungan dengan
hakekat, diri dan zat manusia yang bersifat rabbani.
Di dalam “Maarif
al-Quds”, al-Ghazali menyatakan manusia terdiri atas substansi yang
berdimensi (materi) dan substansi yang tidak berdimensi (immateri) yang
mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Al-Ghazali membagi
fungsi jiwa manusia dalam tiga tingkatan, al-nafs al-insaniyyat (jiwa
manusia), al-nafs al-nabatiyah (jiwa vegetatif) dan al nafs
al-hayawaniyyat (jiwa sensitif). Al-nafs al nabatiyah (jiwa
vegetatif) memiliki daya makan tumbuh dan berkembang. Al-nafs
al-hayawaniyyat (jiwa sensitif) memiliki daya bergerak, daya tangkap dan
daya khayal. Al-nafs al-insaniyyat (jiwa manusia) memiliki daya akal
praktis (al-‘amilat) dan daya akal teoritis (al-‘alimat). Daya
yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif
sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teoritis.Yang
dimaksud dengan akal teoritis adalah akal yang berhubungan dengan
pengetahuan-pengetahuan yang abstrak dan universal.
Berdasarkan
analisis terhadap hakekat jiwa, potensi dan fungsinya, al-Ghazali berpendapat bahwa moral dan sifat
seseorang bergantung kepada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Kalau jiwa
yang berkuasa nabbati dan hewani maka moral dan sifat orang tersebut menyerupai
nabbati dan hewani. Akan tetapi apabila yang berkuasa jiwa insaniyyah maka
orang tersebut bermoral seperti insan kamil.
Namun demikian,
ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi al-Ghazali mengenai moral sama sekali
tidaklah berarti ia mengabaikan unsur jasmani manusia. Ia juga menganggap
penting unsur ini karena ruhani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan
kewajibannya sebagai khalifah. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan
kepada kehidupan ruhani yang baik. Dengan menghubungkan kehidupan jasmani
dengan dunia ia menyatakan bahwa dunia itu merupakan ladang bagi kehidupan
akhirat, maka memelihara, membina mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan jasmani agar tidak binasa
adalah wajib.
Jadi menurut
al-Ghazali moral bukanlah perbuatan lahir yang tampak melainkan suatu kondisi
jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan secara wajar mudah tanpa
memerlukan pertimbangan dan pikiran
Dari konsep dasar
ini maka untuk menilai baik buruk suatu perbuatan moral tidak bisa dilihat dari
aspek lahiriahnya saja, namun juga harus dilihat dari unsur kejiwaannya. Oleh karena itu perbuatan lahir harus dilihat dari motiv dan tujuan melakukannya
Mengenai pengertian pendidikan menurut al-Ghazali
memiliki pengertian yang sangat luas, tidak hanya menyangkut pendidikan dari segi
individu, namun juga masyarakat dan
kejiwaan. Dari segi individu pendidikan baginya berarti pengembangan
sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sesuai tuntutan
fithrahnya kepada ilmu dan agama. Manusia selalu ingin mengenal zat yang
absolut dan perjuangan terpenting dalam
hidupnya adalah pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya
Pengertian pendidikan dari segi masyarakat menurut
al-Ghazali pada umumnya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ahli
pendidikan modern yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu
masyarakat terhadap setiap individu didalamnya agar kehidupan budaya
berkesinambungan. Perbedaannya mungkin terletak pada nilai-nilai yang
diwariskan dalam pendidikan tersebut. Bagi al-Ghazali nilai-nilai yang
diwariskan adalah nilai-nilai keislaman yang didasarkan pada al-Qur’an, hadits,
atsar dan kehidupan orang-orang salaf.
Adapun pengertian pendidikan dari
segi jiwa menurut al- Ghazali adalah upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah
al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha
penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah
al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.
Jika istilah moral oleh al-Ghazali diartikan sebagai
kondisi atau keadaan jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan tanpa fikir dan usaha, sementara
pendidikan jiwa diartikan sebagai usaha penyucian jiwa maka pendidikan moral
menurut al-Ghazali berarti upaya membentuk manusia yang memiliki jiwa yang
suci, kepribadian yang luhur melalui proses
takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan.
B. Tujuan Pendidikan Moral
Untuk dapat melihat tujuan dan orientasi pendidikan
moral al-Ghazali, perlu kiranya menjadikan peta wacana pendidikan moral yang
berkembang sebagai parameter. Bila dianalisis, wacana pendidikan moral yang
berkembang setidaknya dapat dipetakan menjadi lima jenis orientasi atau
kecenderungan
Pertama, pendidikan moral yang berorientasi pada pembiasaan diri dengan
prinsip-prinsip moral beberapa lama sampai mentradisi. Kedua pendidikan
moral yang berorientasi pada pembentukan kesadaran dan kepekaan moral (Basirah
akhlaqiyah) seseorang sehingga ia mampu membedakan antara perilaku baik dan
perilaku buruk. Ketiga, pendidikan moral yang berorientasi pada pengajaran
prinsip-prinsip moral dengan cara indoktrinasi-imperatif. Keempat
orientasi spiritual-sufistik yang memandang pendidikan moral tidak
sekedar dengan tiga orientasi diatas melainkan lebih dari itu, penyucian diri
dari segala kehinaan dan dorongan –dorongan jahat (takhalli) serta
penghiasan diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir batin (tahalli).
Kelima pendidikan moral yang berorientasi pada pembentukan kesiapan moral,
sehingga transfer abilitas pada ragam perilaku moral dapat terjadi
dengan mudah atas kemauan diri sendiri.
Kelima jenis orientasi pendidikan moral diatas dalam
praktiknya tidaklah distingtif-eklusif, melainkan masing-masing
mengandung unsur yang tumpang tindih, hanya saja kadar aksentuasinya yang
berbeda sejalan dengan orientasi yang dianut. Demikian halnya dengan
al-Ghazali walaupun pendidikan moralnya bertujuan untuk penyucian diri dari
segala kehinaan dan dorongan –dorongan jahat (takhalli) serta penghiasan
diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir batin (tahalli), namun tidak
terlepas dari tujuan-tujuan yang lain.
Menurutnya moral yang baik yaitu hendaklah seseorang
itu bersedia menghilangkan seluruh kebiasaan- kebiasaan buruk yang telah
dijelaskan perinciannya dengan agama dan dijadikannya sekiranya seseorang itu
membencinya kemudian menjauhinya seperti menjauhi benda-benda yang menjijikkan.
dan hendaklah membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menyukainya
sehingga memberi kesan dan ia pun merasa nikmat dengannya. Hal diatas menggambarkan bahwa untuk menumbuhkan
moral yang baik seseorang harus berlandaskan agama.
Menurut al-Ghazali tujuan dari perbuatan moral adalah
kebahagiaan yang identik dengan kebaikan utama dan kesempurnaan diri. Kebahagiaaan menurut Al-Ghazali terbagi
menjadi dua macam : kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan duniawi. Menurutnya
kebahagiaan ukhrawi adalah kebahagiaan yang utama sedangkan kebahagiaan duniawi
hanyalah metamorfosis. Namun demikian apapun yang kondusif bagi kebahagiaan/
kebaikan utama maka itu merupakan kebaikan juga. Bahkan ia menegaskan bahwa
kebahagiaan ukhrawi tidak dapat diperoleh tanpa kebaikan-kebaikan lain yang
merupakan sarana untuk meraih tujuan kebaikan ukhrawi. Kebaikan –kebaikan itu
dalam pandangan al-Ghazali terangkum menjadi empat hal. Yang pertama yaitu
empat kebaikan utama: Hikmah, Syaja’ah, Iffah, dan ‘Aadalah.
Pengertian hikmah
(kebijaksanaan ) yaitu keutamaaan kekuatan akal. Hikmah disini meliputi
pengaturan yang baik, kebaikan hati, kebersihan pemikiran dan kebenaran
perkiraan. Yang dimaksud dengan pengaturan yang baik adalah kebaikan fikiran
dalam mengambil sesuatu yang lebih maslahat dan lebih utama dalam mencapai
kebaikan yang agung dan tujuan-tujuan yang mulia dari hal-hal yang berhubungan
dengan diri sendiri. Adapun kebaikan hati adalah kemampuan membenarkan hukum di
kala terjadi kekaburan pendapat dan berkobarnya perselisihan dalam pendapat.
Kemudian yang dinamakan kebersihan pemikiran adalah kecepatan mengerti tentang
sarana –sarana yang menyampaikan akibat-akibat terpuji. Sedang kebenaran
perkiraan adalah sesuainya kebenaran pada hal-hal yang nyata tanpa bantuan
angan-angan.
Sedangkan syaja’ah
(keberanian) maksudnya adalah adanya kekuatan nafsu marah. Sifat-sifat yang
termasuk dalam keutamaan keberanian adalah :murah hati, besar hati, berani
menanggung derita, tidak lekas marah, teguh hati merasa senang hati terhadap
perbuatan-perbuatan yang mulia, bijaksan dan sopan. Kebalikan dari sifat-sifat
yang termasuk keberanian adalah: pemborosan, menghambur-hamburkan, penakut,
bermegah-megahan, menghinakan diri, lekas marah, sombong, berbuat keji, ujub
dan menjadi hina
Adapun iffah (pemeliharaan
diri) maksudnya adalah keutamaan syahwat. Sifat-sifat yang termasuk dalam iffah
yaitu: adanya perassaan malu ( pertengahan antara tidak berperassaaan malu
dengan kelemahan), terlalu malu ( kesedihan dan kelemahan nafsu akibat sangat
malu), toleransi, sabar, murah hati, memiliki perhitungan, memiliki kesukaan
hati, teratur, menjauhi dosa, ramah-tamah menolong dan lain-lain. Sedangkan ‘aadalah
ialah suatu kondisi bagi terjadinya tiga kekuatan diatas secara teratur dan
sesuai ketertiban yang semestinya
Yang kedua kebaikan-kebaikan jasmani seperti kesehatan, kekuatan, hidup teratur dan
panjang umur. Yang ketiga kebaikan-kebaikan eksternal seperti kekayaan,
keluarga, kedudukan sosial, dan kehormatan. Yang keempat kebaikan-kebaikan
Tuhan seperti petunjuk (hidayah), Bimbingan yang lurus (rusyd), pengarahan
(tasdid) dan pertolongan (ta’yid). Sebagian kebaikan ini seperti
halnya kebaikan jiwa sangat esensial bagi kebaikan-kebaikan diatas dalam
berbagai tingkatan.
Dengan demikian
konsep al-Ghazali tentang tujuan moral tidaklah membedakan antara konsep
kebahagiaan (happines) dan kebaikan (virtue), karena suatu
tindakan moral mempunyai tujuan lain diluar kebaikan itu sendiri, maka konsep
al-Ghazali ini dapat dikatakan bersifat teleologis.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan moral menurut al-Ghazali adalah
terbentuknya moral yang baik pada anak didik sesuai landasan agama. Moral yang
baik terstruktur dari hikmah, syaja’ah, iffah dan ‘aadalah.
Adapun tujuan akhir dari moral adalah
mencapai kebahagiaan utama yaitu makrifatullah.
C.
Sumber Pendidikan Moral
Al-Ghazali
menegaskan bahwa tujuan hakiki moral adalah kebahagiaan ukhrowi. Hal ini mengandung arti adanya keterikatan antara
perbuatan moral dengan eksistensi Tuhan. Al-Ghazali sejak awal telah
menempatkan eksistensi Tuhan sebagai tujuan primernya, sehingga dalam membangun
filasafat moralnya mengacu kepada cinta kepada Allah, makrifatullah dan
menjadikan Tuhan sebagai sumber utama dari nilai-nilai moralnya.
Bagi al-Ghazali
kekuasaan Tuhan dan otoritas-Nya lebih absolut daripada gagasan tentang
kemungkinan manusia memahami karya Tuhan melalui inisiatif manusia dalam meraih
keutamaan-keutamaan puncak. Al-Ghazali menolak peranan rasio bebas dalam
memberikan landasan bagi tindakan moral. Penolakan tersebut adalah dengan
mengontraskan antara rasio dengan wahyu baik dalam bentuk-bentuk langsung
maupun turunannya, juga dengan syara’, teks-teks kitab suci dan tradisi-tradisi
yang dipandang sebagai sumber ahkam.
Penolakan
Al-Ghazali yang demikian tampaknya didasarkan pada kekhawatirannya yang
berlebihan tentang konsekuensi penerimaan hukum-hukum kausalitas dalam alam dan
moralitas yang akan membawa penolakan terhadap kemahakuasaan Tuhan.
Tindakan
al-Ghazali menyerang dan menolak fungsi rasio dalam memilih perbuatan etis yang
layak tidak berarti bahwa al-Ghazali meninggalkan persoalan moral tanpa solusi
alternatif apapun. Dia bersandar pada wahyu, tetapi masih membutuhkan perantara
dalam menyampaikan ajaran wahyu. Dengan semangat ingin tahu yang tinggi,
al-Ghazali menggantikan fungsi aktif dan kritis rasio manusia menjadi fungsi
yang tidak aktif dan tidak kritis dengan mengajukan suatu metode baru dalam
menanamkan perbuatan etis manusia melalui bimbingan ketat dari syaikh atau
pembimbing moral.
Peran syaikh dalam
pandangan al-Ghazali menjadi sangat menonjol karena rasio manusia tidak dapat
berfungsi sebagai mana mestinya sebagai pembimbing dalam memilih jenis pilihan
moral. Terdapat sisi yang jelas dalam sistem pemikiran al-Ghazali bahwa aql akan
tersesat jika tidak dibimbing secara
terus menerus oleh syaikh. Oleh karena itu para murid harus
mempercayakan kepada syaikh mengenai urusan-urusannya ibarat pasien dungu yang
harus tunduk kepada dokter yang pandai. Al-Ghazali mengatakan:
Apapun yang
disarankan oleh sang guru kepada murid, yang belakangan harus tunduk dengan
mengesampingkan pendapat pribadinya, karena kesalahan gurunya (syaikh) adalah
lebih bermanfaat baginya daripada putusannya sendiri. Meskipun benar karena pengalaman
akan menampakkan detail-detail yang barangkali asing, sekalipun begitu akan
sangat berguna.
Dengan demikian
sumber pendidikan moral menurut al-Ghazali adalah wahyu dengan perantara
bimbingan yang ketat dari syaikh. Al-Ghazali dengan demikian meminggirkan rasio
atau paling tidak meminimalisir fungsi rasio yang semestinya dalam landasan
etis kehidupan manusia.
D.
Materi
Pendidikan Moral
Pandangan
al-Ghazali tentang materi pendidikan moral dapat dilacak dari pendapatnya
mengenai jalan untuk mencapai kebaikan sejati. Menurutnya untuk dapat bermoral
baik dan mencapai tujuan moral tidak ada jalan lain kecuali dengan ilmu dan
amal. Adapun ilmu dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin”, al-Ghazali menyebutkan ilmu
untuk mencapai kebahagiaan sejati terbagi menjadi dua:
1.
Ilmu
Mukasyafah
Yaitu ilmu yang
sesuatu daripadanya dituntut menyingkap sesuatu yang diketahui. Ilmu mukasyafah
ini menyangkut masalah-masalah metafisik yang membicarakannya hanya dengan
rumuz dan isyarat atas jalan perumpamaan dan global. Ilmu mukasyafah individu dapat juga dikatakan
sebagai sain esoteris mengenai rahasia-rahasia transenden yang disebutkan dalam
al-Qur’an yang tidak dapat dicapai oleh masyarakat awam. Oleh karena itu
manusia harus dicegah untuk menekuni rahasia-rahasia ini dan sebagai gantinya
mereka didorong untuk mencari subyek-subyek yang dibolehkan hukum Islam.
2.
Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah
ilmu yang daripadanya dituntut mengetahui serta mengamalkannya. Ilmu Muamalah
terbagi kepada ilmu lahir yakni ilmu mengenai amalan anggota badan dan ilmu
batin yakni ilmu mengenai amalan-amalan hati. Ilmu yang berjalan atas anggota-
anggota badan menjadi adat dan ibadat. Sedangkan bagian batin yang berhubungan
dengan keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi menjadi tercela dan terpuji. Dengan
kata lain ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan
nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan
etika sosial syari’ah.
Sedangkan dalam kitab “Mizan al-Amal”, al-Ghazali
menjelaskan bahwa ilmu yang dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan
sejati dibedakan menjadi dua macam
yaitu: ilmu Nazhari dan ilmu Amali. Ilmu Nazhari terbagi menjadi
bermacam-macam dan berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan adat, negara dan bangsa. Namun menurut al-Ghazali yang
terpenting dalam kaitannya dengan pembinaan moral adalah ilmu yang dapat
menyampaikan kesempurnan jiwa, sehingga dengan kesempurnaan itu manusia dapat
mencapai kebahagiaan.
Tentang ilmu Amali al-Ghazali membagi menjadi tiga
macam yaitu:
a. Ilmu Jiwa
dengan sifat-sifat dan akhlak, yaitu melatih jiwa dan memerangi hawa nafsu.
b. Ilmu Jiwa
tentang cara mengatur ekonomi , kelurga, anak,
pelayan dan para hamba.
c. Ilmu Tata
Negara ( siasat mengatur penduduk negeri). Diantara ketiga ilmu tersebut
kaitannya dengan pendidikan moral, menurut al-Ghazali yang paling penting
adalah ilmu mensucikan jiwa, ilmu mengatur badan dan memelihara keadilan sesuai
dengan sifat-sifat yang ditentukan.
Sedangkan menurut sumbernya, al-Ghazali membagi ilmu yang ada menjadi ilmu Syar’iyyah dan ilmu non
Syar’iyyah. Ilmu-ilmu Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan
syari’at. Ilmu ini terbagi menjadi empat macam: al-ushul ( pokok), al-furu’
( cabang), al-muqaddimah (pengantar) dan al-mutammimat (
pelengkap).
Sedangkan ilmu non Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang bersumber
pada akal, eksperimen, akulturasi. Termasuk dalam ilmu ini adalah semua ilmu
rasional dan filosofis. Ilmu-ilmu ini apabila tidak dilarang dengan tegas oleh
syar’i maka hukumnya adalah mubah.
Fathiyah Hasan
Sulaiman menyimpulkan gradasi materi pendidikan akhlak dari karya-karya
Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1. Urutan pertama: al-Qur’an al-karim dan ilmu-ilmu
agama seperti Fiqh, Sunnah
dan Tafsir.
2. Urutan kedua
ilmu-ilmu bahasa, seperti ilmu Nahwu, serta artikulasi huruf dan lafal
karena ilmu tersebut melayani agama.
3. Urutan ketiga ilmu yang termasuk kategori ilmu
wajib kifayah.
4. Urutan keempat Ilmu yang berkaitan dengan budaya,
sejarah serta sebagian cabang filsafat, seperti matematika, logika dan lain
sebagainya.
Disamping ilmu
sarana kedua mencapai kebaikan moral dan tujuan moral adalah amal. Menurut
al-Ghazali amal adalah penyempurna ilmu untuk mencapai tujuan yang semestinya.
Amal dalam konteks ini adalah mengekang nafsu jiwa mengontrol amarah dan
menekankan pertimbanagan sehingga benar-benar tunduk terhadap akal.
E. Metode Pendidikan Moral
Al-Ghazali tidak
membahas secara tersendiri tentang metode pendidikan dalam karya-karya secara
mendalam sebagaimana ia membahas tentang pendidik dan anak didik dan berbagai
kewajiban yang melingkupinya. Namun demikian bukan berarti ia tidak membahasnya
dalam pendidikannya. Analisis cermat terhadap pemikiran al-Ghazali tentang
pendidikan moral akan karya-karyanya terutama “Ihya’” akan ditemukan beberapa
metode pendidikan moral. Dalam karya monumentalnya ”Ihya’ Ulumuddin” tentang pendidikan moral (al-thuruq ila
tahzib al akhlak), al-Ghazali menggunakan beberapa metode yang dapat
ditempuh dalam pembentukan moral yang baik:
1. Metode pembiasaan. Yakni metode dengan melatih anak didik untuk
membiasakan dirinya pada budi pekerti dan meninggalkan kebiasaan yang buruk
melalui bimbingan dan latihan. Tentang metode ini al-Ghazali mengatakan bahwa
semua etika keagamaan tidak mungkin akan meresap dalam jiwa sebelum jiwa itu
sendiri dibiasakan dengan kebiasaan baik dan dijauhkan dari kebiasaan yang
buruk, atau rajin bertingkah laku terpuji dan takut bertingkah laku tercela.
Al-Ghazali sangat menekankan langkah pembiasaan kepada anak-anak untuk berbuat
sesuai dengan nilai-nilai moral yang baik.
Hal ini seperti apa yang dikemukakan :“apabila anak itu dibisakan untukmengamalkan apa-apa yang baik,
diberi pendidikan kearah itu pastilah ia akan tumbuh ditas kebikan tadi aibat
positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika ana
itu sejak kecil dibiasakan dan dibiarkan
mengerjakan keburukan, begitu saja tanpa diberikan pendidikandn pengajaran,
yakni sebagaiman halnya sesesorang memelihara binatang, mak akibatnya anaki tu
akan selalu berakhlak buruk, dan dosanya dibebankan kepada orang yang
bertanggung jawab (orang tua dan guru) memelihara dan mengasuhnya.
Untuk menopang
proses pembentukan kebiasaan bagi anak-anak al-Ghazali mengemukakan beberapa
prinsip yang perlu dilakukan oleh pendidik yaitu :
a.
Penggunaan
dorongan atau pujian.
b.
Pemberian
celaan secara bijaksana.
c.
Melarang
anak untuk berbuat buruk secara sembunyi-sembunyi.
d.
Melarang
anak untuk membanggakan apa yang dimilikinya.
e.
Mengajari
anak untuk bersikap suka memberi dan tidak suka meminta.
2. Metode keteladanan.
Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi,
Rasulullah dijadikan Allah dalam pribadinya teladan yang baik. Demikian halnya
dengan guru. Dalam pandangan Al-Ghazali guru adalah pewaris nabi dan subyek
pendidikan, maka haruslah menjadi teladan bagi anak didiknya.
Berkaitan dengan hal tersebut Al-Ghazali memberikan
penjelasan seperti apa yang dikemukakannya: “Hendaklah guru mengamalkan ilmunya,
jangan perkataannya membohongi perbuatanya. Perumpamaan guru yang membimbing
murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat.
Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk
mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok.”
Hal diatas menegaskan betapa al-Ghazali sangat
menekankan keteladanan dalam pendidikan moral.
3. Metode yang ketiga adalah tazkiyah nafs ( metode
penyucian diri)
Metode ini merupakan metode yang dikenal dengan
metode sufistik. Dalam kaitannya dengan pembinaan moral, al-Ghazali
menganalogikan metode ini dengan metode pembinaan badan. Untuk menghindarkan
badan dari rasa sakit yaitu dengan menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit
badan, demikian pula denagn jiwa. Untuk menghaindarkan jiwa dari penyakit maka
haruslah menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit jiwa. Adapun jiwa yang
sakit harus disucikan sebagaimana pengobatan bagi badan yang sakit.
Metode ini terdiri dari dua langkah yaitu takhliyah
al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri
melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs
merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.
Al-Ghazali dalam proses penyucian jiwa menekankan
pentingnya seorang pembimbing moral sebagai panutan penyucian diri, pencerahan,
pembersihan jiwa. Dalam proses tersebut menurutnya seorang sufi harus memahami
tingkat-tingkat atau kondidsi penyakit jiwa yang dialami oleh murid. Karena itu
bagi seorang guru harus benar-benar mengetahui kondisi jiwanya.
Mengenai cara
pengosongan sifat-sifat tercela dalam rangka penyucian jiwa, al-Ghazali
mengemukakan empat cara:
1.
Menghadap
kepada syaikh pembimbing moral yang mampu melihat aib diri atau penyakit jiwa
kemudian mengikuti petunjuknya dalam bermujahadah.
2.
Mencari
teman yang jujur agar memperhatikan keadaan-keadan dan perbuatan diri agar
memberitahu mana moral dan perbuatan tercela yang tidak disenanginya baik yang
tampak maupun yang tersembunyi.
3.
Mencari tahu
aib diri melalui ucapan-ucapan musuh sebab musuh selalu mencari aib lawan.
4.
Bergaul dan
berinteraksi dengan masyarakat luas sehingga mampu melihat mana yang baik dan
mana perbutan dan moral yang buruk, kemudian menghindari perbuatan-perbuatan
yang tidak disukai atau tercela yang dilakukan orang lain. Dari keempat cara
penyucian diri, cara pertama merupakan cara yang dianggap sangat penting bahkan
dianggap suatu keharusan oleh al-Ghazali
F. Peran dan syarat pendidik moral
Pendidik menurut
al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat mulia dan peran yang sentral dalam
membentuk manusia yang bermoral. Sehubungan dengan hal tersebut al-Ghazali
berkata: “Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang
paling mulia penampilannya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu
menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk
dekat kepada Allah.
Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa bahwa
profesi guru adalah profesi yang sangat mulia dan tugas utama pengajar adalah
berusaha membimbing, meningkatkan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat
dengan Khaliknya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan
makhluk mulia. Kesempurnaan manusia itu terletak pada kesucian hatinya, untuk
itu pendidik dalam perspektif al-Ghazali harus memiliki kesucian jiwa dan
kebersihan hati.
Disamping itu seseorang pendidik dituntut memiliki
beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadianya. Diantara sifat-sifat
tersebut adalah:
1. Sabar dalam menghadapi berbagai pertanyaan dari
murid
2. Senantiasa mengembangkan kasih sayang.
3. Duduk dengan sopan, tidak riya’ dan tidak
pamer.
4. Tidak takabur kecuali terhadap orang yang
dzalim dengan maksud mencegah
tindakannya.
5. Bersikap tawadlu’ dalam pertemuan ilmiah
6. Sikap dan perbuatannya hendaknya tertuju pada
topik persoalan
7. Memiliki sikap bersahabat dengan murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak membentak-bentak orang
bodoh.
9. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang
tidak dikuasainya.
10. Menampilkan hujjah yng benar.
Mohammad Athiyah
al-Abrasyi menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki seorang guru dalam
mengemban tugasnya sebagai berikut: zuhud, tidak mengutamakan materi, bersih
tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari riya’,
dengki, permusuhan dan sifat tercela yang lain, ikhlas dalam beramal dan
bekerja, mencintai murid , memikirkan murid seperti anaknya sendiri, mengetahui
tabiat murid dan menguasai materi pelajaran.
Dari uraian
diatas tampak betapa berat tugas dan tanggung jawab seorang guru. Berkaitan
dengan berat tugas dan tanggung jawab seorang guru, al-Ghazali lebih lanjut
menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Guru ialah orang tua kedua di depan murid
b. Guru sebagai pewaris ilmu nabi
c. Guru sebagi penunjuk jalan dan pembimbing
keagamaan murid
d. Guru sebagai sentral figur bagi murid
e. Guru sebagai motivator bagi murid
f. Guru sebagi orang yan memahami tingkat
perkembangn intelektual murid
g. Guru sebagai teladan bagi murid.
0 comments:
Post a Comment