KONSEP
MASLAHAH DALAM HUKUM ISLAM
A.
Pengertian Maslahah
Secara
leksikal maslahah berasal dari bahasa ‘arab yang
berarti manfa’at, fâidah, bagus,
guna atau kegunaan, kata maslahah diambil dari kata kerja shalaha-yasluhu
menjadi sulhan-mashlahatan. yang mengikuti wazan
(pola) fa’ala-yaf’ulu.
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah
artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan (kemaslahatan dan sebagainya),
faedah, guna. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat atau
kepentingan.
Bisa
juga dikatakan bahwa maslahah itu merupakan bentuk tunggal
(mufrod) dari kata al-masâlih. Pengarang lisân al-‘Arob menjelaskan dua arti, yaitu al-maslahah
yang berarti al-sholah dan al-maslahah yang berarti
bentuk tunggal dari al-masâlih. Semuanya mengandung arti adanya manfa’at baik
secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah,
ataupun pencegahan dan pencagaan, seperti menjauhi kemadharatan dan penyakit.
Semua itu bisa dikatan maslahah.
Pengertian
maslahah secara istilah dapat ditemukan pada kajian
ushuliyyin saat membicarakan munâsib, dan pada saat membicarakan maslahah
sebagai dalil hukum , ada beberapa rumusan definisi maslahah
menurut istilah, yakni sebagai berikut:
Dalam
pandangan al-Buthi, maslahah adalah manfaat yang
ditetapkan shâri’ untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama,
diri, akal, keturunan dan harta mereka sendiri sesuai dengan urutan tertentu.
Dari
definisi ini, tampak yang mejadi tolok ukur maslahah
adalah tujuan-tujuan shara’ atau
berdasarkan ketetapan shâri’. Meskipun kelihatan bertentangan dengan
tujuan manusia yang sering kali dilandaskan pada hawa nafsu semata.
Selanjutnya,
Imam al-Râzi mendefinisikan maslahah sebagai perbuatan
yang bermanfaat yang telah diperintahkan
oleh shâri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya,
akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Berikutnya,
al-Syaukâni menjelaskan maslahah lebih terperinci, karena
menurut dia makna yang digunakan untuk
mengistilahkan maslahah memiliki makna yang berbeda-beda, maslahah
adakalanya disebut al-munâsabah karena untuk mendapatkan kepastian hukum
dari permasalahan yang tidak ada dalilnya seseorang dapat melakukan munâsabah,
yaitu membandingkan dengan permasalahan nas al-Qur’an. Adakalanya maslahah
disebut dengan al-Halât, karena mungkin juga manusia menduga-duga adanya
kemanfaatan dibalik suatu hukum. Maslahah disebut dengan ri’âyah al-maqâsid, Karena dengan mewujudkan kemaslahatan berarti
mewujudkan dan menjaga tujuan shara’, yaitu kemaslahatan umum. Lebih
jelasnya ia berpendapat bahwa maslahah adalah sesuatu yang
perlu untuk dilestarikan dan sejalan dengan keinginan manusia untuk menarik
manfat dan menolak bahaya.
Kemudian Al-Syâtibi,
salah satu Ulama’ Madzhab Maliki mengatakan bahwa maslahah
adalah setiap prinsip shara’ yang
tidak disertai nas khusus, namun sesui
dengan tindakan shara’ serta maknanya diambil dari dalil-dali shara’.
Makna prinsip tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat dijadikan bahan
rujukan sepanjang ia telah menjadi prinsip dan digunakan oleh shara’
yang qat'î.
Dia mengklarifikasikan maslahah
menjadi dua bagian , maslahah dari keberaannya didunia dan
dari aspek hubungannya dengan statemen shâri’ah (khitâb shâri’ah).
Dalam
kaitanya keberadaanya didunia, maslahah berarti sesuatu
yang membicarakan penegakan kehidupan manusia dan pencapaian segala sesuatu
yang dianut oleh kualitaas intelektual dan emosinya. Oleh karena itu dalam
dataran praktis, maslahah berhubungan erat dengan sesuatu
yang lazim dimasyarakat yang disebut adat. Sedangkan dari aspek kedua, segala
sesuatunya kembali lagi keketentuan ketentuan shâri’ah. Dalam hal ini,
apabila shâri’ menuntut sesuatu itu
dikerjakan oleh manusia berarti maslahah
dan apabila dilarang berarti mafsadah.
Adapun menurut
al-Ghazâlî, dia menjelaskan bahwa secara harfiah maslahah
adalah menarik kemanfaatan dan menghindarkan kerugian. Namun yang dikehendaki
dalam kpembahasan maslahah ini bukanlah pengertian
tersebut, akan tetapi melestarikan tujuan-tujuan shâri’at. Seadangkan tujuan
shâri’at pada makhluk mencakup lima hal, memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta kekayaan. Karenanya setiap hal yang memiliki muatan
pelestarian terhadap lima prinsip dasar ini adalah maslahah.
Sendangkan hal-hal yang menghambat pencapaian prinsip-prinsip ini disebut
mafsadah, dan menolalak atas mafsadah adalah suatu maslahah.
Mustafa Syalbi, menyimpulkan maslahah
kedalam dua pengertian. Pertama, dengan pengertian majas, maslahah
adalah sesuatu yang menyampaikan pada kemanfaatan. Kedua, secara hakiki,
maslahah adalah akibat itu sendiri yang timbul dari sebuah
tindakan, yaitu berupa kebaikan atau kaemanfaatan.
Kemudian
pengertian maslahah menurut al-Tûfî, ia mendefinisikan maslahah
menurut ‘urf (pemahaman umum yang berlaku di masyarakat) adalah sebab
yang membawa pada kemaslahatan (manfaat). Dengan demikian al-Tûfî ingin menegaskan bahwa maslahah
yang ingin di kehendaki hukum islam tidak sama dengan apa yang dikehendaki
manusia.
Yang terahir pengertian maslahah
menurut Wahbah al-Zuhaili.dia menawarkan sebuah definisi yang dianggap akodatif
dan dapat menjelaskan hakikat maslahah, ia menuturkan
bahwa maslahah adalah karakter yang memiliki keselarasan
dengan perilakau penetapan shâri’ah dan tujuan-tujuannya, namun tidak ada dalil secara spesifik mengungkapkan atau
menolaknya, dengan proyeksi mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan mafsadah
(kerusakan).
Dari
uraian definisi dan sedikit penjelasan diatas, penulis lebih sepakat dengan
pengertian maslahah yang terahir yaitu menurut Wahbah
al-Zuhaili. Karena pengertian tersebut mampu mengakomodasi dan sekaligus
menjelaskan hakikat maslahah. Dengan bahasa yang
sederhana, maslahah adalah setiap hal yang mengandung
kemanfaatan namun tidak ada nas
tertentu yang menguatkanya akan tetapi masih sesui dengan prinsip shara’.
B.
Dasar Hukum Maslahah
Jumhur
ulama’ mengajukan pendapat bahwa maslahah
merupakan hujjah shâri’at yang bisa dijadikan metode pembentukan hukum
mengenai kejadian yang hukumnya tidak ada dalam nas , ijmâ’ , qiyâs, atau Istihsân. Dalil atau argument yang dipakai para ulama’
jumhur tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Survey
membuktikan bahwa dalam hukum-hukum shâri’at selalu terdapat unsur kemaslahatan bagi manusia.
Asumsi semacam ini akan menimbulkan dugaan yang kuat akan legalitas maslahah
sebagai salah satu variable penetap hokum islam. Sedangkan mengikuti dugaan
kuat (zann) adalah suatu keharusan. Pemikiran semacam ini didasarkan pada beberapa argumentasi nas ,
diantaranya:
Firman
Allah dalam Surat al-Ambiyâ’ ayat 107
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9
Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Al-Adlul
sbagaimana dikutib Wahbah al-Zuhaili, menguraikan sisi argumentative ayat
diatas. Menurutnya, dari ayat diatas yang secara zâhir
menunjukkan keumuman, diphami bahwa dalam penshâri’atan berbagai
hukum, Allah mengakomodasikan kemaslahatan bagi manusia. Sebab bila Allah mengutus Rasul-Nya untuk
memberlakukan shâri’ah-tanpa adanya kemaslahatan, maka sama halnya
dengan pengutusan tanpa rahmat, karena hal tersebut adalah taklif (pembebanan)
tanpa faidah. Dengan demikian, hal ini akan menyalahi keumuman ayat.
Selanjutnya
Adludl menggaris bawahi, bahwa ta’lîl (pengajuan ilat dari pembaharuan hukum) merupakan suatu
hal yang dominan dalam hukum-hukum shâri’ah. Hal ini karena rasionalitas
suatu sebab serta keyakinan tujuan akhir adanya kemaslahatan akan menimbulkan
kepatuhan daripada sekedar dogmatisme
suatu ajaran. Karenanya, ta’lîl berfungsi menyampaikan tujuan diberlakukannya suatu
hukum.
Argumentasi Lain, al-Qur’an Juga menjelaskan
bahwa Allah melakukan kemudahan dan keringanan. Firman Allah:
يُرِيدُ اللّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ…
Artinya:…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu…
فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Demikian pula Rasulullah, beliu menegaskan
bahwa ajaran Islam menegasikan segala macam bentuk destruktif, dan penegasian
ini suatu maslah, dari ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
لاضرر ولاضرار
(رواه مالك وإبن ماجه ودار قطنى)
Artinya: Tidak ada perbuatan destruktif
dalam agama, baik terhadab diri
sendiri maupun orang lain.
2.
Bahwa zaman berkembang kian pesat.
Seiring dengan itu, paradigma pemenuhan kebutuhan hidup mengalami pergeseran.
Berbagai metode pencapaian kesejahteraanpun beragam. Dalam kaitannya dengan
kehidupan keberagaman, berbagai masalah kontemporer yang timbul menyertainya
harus disikapi secara hokum. Disisi lain, secara tekstual nas-nas shâri’at tidak menyikapi semua
permasalahan yang timbul tersebut berikut detail-detailnya secara spesifik.
Bila maslahah tidak dipertimbangkan sebagai salah satu
metode ijtihâd, betapa banyak kemaslahatan manusia yang terabaikan,
penalaran hukum shara’ akan mengalami stagnasi, jumud, bahkan akan
memunculakn kesan bahwa shâri’at Islam tidak relevan lagi dengan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, perlu dirumuskan metode penalaran baru yang
mengakomodasi kemaslahatan manusia. karena Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Argumentasi ini bias diperkuat dengan kaidah:
الاصل فى الاشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Yakni, “Segala macam sesuatu pada dasarnya adalah
diperbolehkan, selama tidak ada dalil yang melarangnya”, sehingga posisi maslahah
sebagai metode ijtihâd sudah bisa menyelesaikan permasalahn-permasalahan yang
timbul pada argumentasi diatas.
3. Dengan menilik ijtihâd dari kalangan
sahabat dan generasi setelahnya, diketahui bahwa pada beberapa kasus, mereka
bertindak dan berfatwaberdasakan prinsip maslahah, tanpa
mengikatkan diri pada perangkat normative qiyâs, yakni tanpa didukung
oleh pengukuhan nas secara
eksplisit dan spesifik. Hal ini berjalan tanpa seorangpun yang mengingkarinya.
Ini menimbulkan asumsi terbentuknya ijmâ’
atas keabsahan metode
penggalian hukum itu berdasarkan al-munâsib (baca: maslahah
mursalah).
Fakta sejarah membuktikan bagaimana Abu Bakar ra. Merintis upaya
pengumpulan lembaran-lembaran al-Qur’an (tadwîn) atas saran Umar bin Khatab ra. Yang
kemudian diteruskan pada masa pemerintahan Ustman bin ‘Afan ra. Hingga tercetus
program standarisasi mushâf.
Begitu juga Umar bin Khatab ra. Ia menetapkan
talak tiga walau dengan sekali ucapan. Umar juga menghentikan pembagian zakat
kepada kaum mu’alaf, menetapkan pembayaran pajak. Mengadakan tertib
administrasi, pembangunan rumah-rumah tahanan dan penghapusan hukuman penggal
tangan bagi pencuri ketika musim paceklik.
Khalifah lain, Ustman bin ‘Afan, ia memperstukan umat Islam dengan satu mushaf dan
membakar seluruh mushâf lainnya, diamping menyebarkan mushâf yang satu itu keberbagai negara. Ustman juga menetapkan
penerimaan harta waris bagi istri yang ditalak lantaran maksud menghindari
jatuhnya harta waris kepadanya.
Bahkan khalifah Ali bin Abi Tholib pernah
membakar penghianat dari kaum syi’ah- rafîdhah. Ulama’ Shâfi'îyah menjatuhkan
hukuman qisâs bagi gerombolan yang membunuh manusia
(pembunuhan berkelompok).
Demikianlah argumen-argumen yang diajukan oleh para pengguna maslahah.
Meskipun argumen-argumen tersebut sudah disajikan secara faktual, namun oleh
parapenolak maslahah, paparan berbagai argumen ini
dianggap belum cukup untuk dijadikan sebagai argumen legalitas maslahah.
Para penolak legalitas dengan beberapa argumen, diantaranya adalah:
Penerapan maslahah berpotensi mengurangi sakralitas hukum-hukum shâri’at. Karena
pencetusan hukum berdasarka maslahah sarat dengan konflik kepentingan dari pribadi
pencetusnya. Sementara garis shâri’at hanya merekomendasikan segi kemaslahatan
secara global saja. Sehingga tidak mustahil dengan berkedok maslahah,
cetusan hukum yang dibuahkanakan terpengaruh oleh keinginan dan kepentingan
pribadi, dengan asumsi klise mereka bahwa segi kemaslahatan akan senantiasa
berubah selaras dengan perkembangan
zaman. Wal hâsil, penerapan maslahah
tidak jauh beda dengan istihsan, bahkan jauh lebih berbahaya. Sebabgaimana
ungkapan al-Ghazâlî, yang terinspirasi dari adagium Al-Syafi’i dalam menolak istihsân, yakni: man istahsana faqad syarro’a, barang
siapa menggunakan maslahah maka ia telah membuat shâri’ah
baru.
Sebagaimana yang diutaran oleh Wahbah, argumentasi
seperti ini tidak tepat, karena dalam penerapan maslahah
terdapat beberapa syarat yang salah satunya adalah adanya mula’amah (keselarasan) antara bentuk
kemaslahatan dengan tujuan-tujuan shâri’at, sehinga sangat kecil sekali
kemungkinan masuknya hawa nafsu untuk
ikut andil didalamnya (baca: pencetusan maslahah).
1.
Maslahah berada dalam posisi pertengahan antara penolakan shara’
pada sebagian maslahah dan pengukuhan pada bagian lainnya.
Seandainya maslahah adalah suatu keharusan, hanya karena
adaya titik kesamaan dengan mu’tabarah (kemaslahatan yang dikukuhkan
oleh shara’) dalam segi semata-mata ia adalah kemaslahtan,
seharusnya pula pengabaian terhadap Maslahahadalah juga suatu keharusan, karena
adanya kesamaan dengan kemaslahatan mulgha’ (kemaslahatan yang ditolak
oleh shara’) dalam segi tidak adanya pengukuhan shara’. Faktor
adanya kemungkinan adanya maslahah sebagai maslahah
mu’tabarah disatu sisi dan sebagai maslahah mulgho’
disisi yang lain inilah yang menyebabkan tidak diperbolehkannya mengadopsi maslahah.
Karena tidak ada prefensi (tarjîh) yang menjadikan lebih
condong pada salah satu sisinya. Karenanya pula, maslahah
tidak mempinyai legalitas argumentatif dalam ranah hukum shâri’at.
Argumentasi seperti inipun sebenarnya juga masih lemah,
karena maslahah yang tertolak oleh shara’ relatif lebih
sedikit daripada maslaha yang dikukuhkan (Maslahah mu’tabarah).
2.
Maslahah akan merusak unitas dan universalitan shâri’at Islam.
Hal ini karena hukum akan sering berubah seiring dengan perkembangan zaman,
kondisi dan pelakunya, sebab segi kemaslahtan akan senantiasa berubah dan
berkembang.
Argumentasi diatas justru memperkuat legalitas maslahah. karena pengingkaran maslahah akan
menutup pintu rahmah (belas kasih Tuhan)
terhadap maslahah makhlu-makhluk-Nya. Artinya, hukum Islam
tidak bisa berjalan sesuai dengan semangat fleksibelitas yang selama ini kita
pahami. Selain itu, maslahah hanya boleh diterapkan ketika tidak terdapat nas atau ijmâ’ yang menjelaskan status hukum suatu kasus aktual.
Karenanya penerapan maslahah tidak sampai menegasikan
prinsip unitas dan universalitas shâri’ah. Bahkan sebaliknya, dalam segala dimensi ruang dan
waktu, shâri’ah Islam akan menemukan
relevansinya dengan menampilkan solusi dari problematika umat.
C.
Stratifikasi Maslahah
Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas maslahah
bagi kehidupan manusia, ahli ushul fiqh membagi Maslahah menjadi tiga
tingkatan.
1.
Maslahah al- Darûriyah
Maslahah al-darûriyah adalah suatu kemaslahatan
yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia didunia dan di akhirat. Demikian
penting kemaslahatah ini, apabila luput dalam kehidupan manusia akan terjadi
kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan
ini meliputi pemeliharaan agama, diri, akal keturunan dan pemeliharaan terhadap
harta.
Pemeliharaan
kelima sendi diatas diurut berdasarkan sekala prioritas. Artinya, sendi yang berada di urutan pertama
(agama) lebih utama dari sendi kedua (jiwa). Dan sendi kedua lebih kuat
daripada sendi ketiga (akal), dan begitu seterusnya sampai sendi kelima.
Senada
dengan ta’rîf al-Ghazâlî, bahwa maslahah
darûriyah merupakan maslahah yang sangat
diperlukan manusia. Yang merupakan tingkatan paling tinggi. Sehingga maslahah
ini harus ada dalam menegakkan kemaslahatan agama dan dunia.
2.
Maslahah al- Hâjiyah
Maslahah al-Hajiyah adalah suatu kemaslahatan yang
dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan
menghilangakan kesulitan yang dihadapi. Termasuk Maslahah ini semua ketentuan
hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya.
Senada dengan ta’rîf diatas, al-Qardhawi mendefinisikan maslahah
al-Hajiyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup
manusia tidak pada tingkat darûriyah akan tetapi bentuk kemaslahatannya secara tidak langsung
bagi pemenuhan kebutuhan pokok (darûri).
Menurut al-Ghazâlî maslahah al-hajiyah adalah kemaslahatan hidup
manusia yang tidak pada tingkat pokok (darûri). Bentuk kemaslahatannya tidak langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima,
tetaoi secara tidak langsung menuju kearah yang sama seperti dalam memberi
kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia, apabila tidak dipenuhi maka
tidak sampai secara langsung
menyebabakan rusaknya lima unsur pokok itu.
al-Ghazâlî tidak mengkhususkan maslahah ini
dalam satu lingkup maslahah saja. Dengan demikian ada
kemungkinan maslahah
al-hâjiyah ini masuk dalam lingkup ibadah, mu'âmalah, adat maupun jinayah.
Dari pemaparan diatas
dapat disimpulkan bahwa prinsip utama dalam aspek hâjiyah ini adalah untuk menghilangkan kesulitan,
meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mukalaf (orang
yang dibebani hukum).
3.
Maslahah al-Tahsîniyah
Maslahah al-tahsîniyah adalah kemaslahatan yang bertujuan untuk
mengakomodasikan kebiasaan dan perilaku baik serta budi pekerti luhur. Maslahah
ini sering disebut maslahah takmîliyah, yaitu suatu kemaslahatan yang bersifat pelengkap dan
keluasan terhadap kemaslahtan darûriyah dan hâjiyah. Kemaslahatan dimasudkan untuk kebaikan dan kebagusan
budi pekerti. Sekiranya, kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalm
kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan keguncangan dan kerusakan terhadap
tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian, kemaslahtan ini tetap penting dan
dibutuhkan manusia.
Dilihat dari segi tingkat
kegunaan al-Ghazâlî membagi maslahah menjadi dua,
yaitu:
1.
Maslahah yang berhungan dengan kemaslahatan umum, kepentingan
semua makhluk, serta berhubungan dengan kemaslahatan mayoritas.
2.
Maslahah yang berhubungan dengan kemaslahatan perorangan atau
individu.
Kemudian ditinjau dari
segi eksistensi maslahah dan ada tidaknya dalil yang
langsung mengaturnya, maslahah dibagi menjadi tiga macam:
1.
Maslahah al-Mu'tabarah adalah suatu kemaslahtan yang dijelaskan dan diakui
keberadaannya secara langsung oleh nas . Untuk memelihara dan
mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, Islam menetapka hukum qisâs pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, seperti firman
Allah:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# (.....
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
Untuk memelihara dan
menjamin keamanan kepemilikan harta, Islam menetapkan hukuman potong tangan
bagi pelaku pencurian, sbagaimana terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 38:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$#
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Demikian pula untuk untuk
memelihara kehormatan manusia, islam melarang melakukan qazaf dan zina. Misalnya larangan zina ditemukan
dalam surat Al-Isra’ ayat 32:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.
2.
Maslahah
Al-Mulghâh
Maslahah al-mulghâh adalah suatu kemaslahatan
yang bertentangan dengan ketentuan dengan nas . Karenaya, segala
bentuk kemaslahatan seperti ini ditolak oleh shara’. Menurut Abdul Wahab Khâlaf, salah satu contoh
relevan dengn maslahah ini adalah fatwa seorang ulama’
madhhab Mâliki di Sepanyol yang bernama Laist Ibnu Sa’ad (94-75 H)
dalam menentukan kafarat orang yang melakukan hubungan suami-istri pada siang
bulan bulan ramadhan. Berdasarkan hadîth Nabi, orang yang melakukan demikian
adalah memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut atau memberi makan 60
orang fakir miskin. Kasus ini terjadi disepanyol dan orang yang melakukan
hubungan suami istri itu adalah seorang penguasa. Mengingat orang ini penguasa,
apabila kafaratnya memerdekakan budak tentu dengan mudah ia dapat membayar
dengan mudah dan dan kembali melakukan pelanggaran dengan mudah pula. Atas
dasar pertimbangan seperti itu Laist Ibnu Sa’ad menetapkan kafarat bagi
penguasa ini puasa berturut-turut.
Maslahah model seperti ini jelas menyalahi al-Hadîth diatas,
karena kaffarat itu dilaksanakan secara berurut. Apabila seseorang tidak
bisa memerdekakan budak , barulah ia bisa memilih alternatif kedua, yaitu puasa
dua bulan berturut-turut. Karenanya mendahulukan kaffarat puasa daripada
memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangn dengan dengan
kehendak shara’, shingga dipandang batal dan ditolak.
3.
Maslahah
Al-Mursalah
Ada beberapa definisi maslahah
al-mursalah yang dikemukakan oleh ulama’. Said Ramadhan mendefinisikan maslahah
adalah setiap maslahah yang termasuk dalam maqâsid al-sharî'ah baik ada nas yang mengakui atau menolaknya.
Abu Zahrah mendefinisikan maslahah al-mursalah merupakan kemaslahatan
yang sejalan dengan maksud shara’ tetapi tidak ada nas secara khusus yang memerintahnya atau
menolaknya.
Dari definisi ini tampak
bahwa maslahah al-mursalah merupakan kemaslahatan
yang sejalan dengan apa yang terdapat didalam nas, tetapi tidak
ada nas yang khusus yang
memerintah dan melarang untuk mewujudkannya. Dan hal ini dapat dibuktikan dari
sekumpulan nas dan makna yang dikandungnya. Dengan demikian maslahah
ini dapat dijadikan pijakan dalam mewujudkan kemaslahatan yang dibutuhkan
manusia dan menghindarkan kemadharatan.
D.
Kehujjahan Maslahah
Dalam kehujjahan maslahah, teradapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
ushul, diantaranya
1.
Maslahah tidak
dapat menjadi hujjah atau dalil menurut Ulama-Ulama Shâfi’iyah, Hanâfiyah, dan sebagian ulama Mâlikiyah, seperti Ibnu Hajib dan Ahli zâhir.
2.
Maslahah dapat
menjadi hujjah atau
dalil menurut sebagian ulama Mâlikiyah,
dan sebagian ulama syafi’iyah, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanâfiyah dan Shâfi’iyah mensyaratkan tentang maslahah ini, hendaknya dimasukkan di bawah qiyâs,
yaitu bila terdapat hukum asal yang dapat diqiyâskan kepadanya dan juga ‘illat
mudhabit (tepat) sehingga dalam hubungan hukum terdapat tempat untuk
merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada
kemaslahatan yang dibenarkan shara’, tetapi mereka lebih leluasa dalam
menganggap maslahah yang
dibenarkan shara’ ini, karena luasnya pengetahuan mereak dalam soal
pengakuan shâri’ (Allah) terhadap illat sebagai tergantungnya hukum, yang
merealisir kemaslahatan. Hal ini, karena hampir tidak ada maslahah yang tidak memiliki dalil yang mengakui
kebenarannya.
3. Imam
al-Qarafi, berpendapat tentang kehujjahan maslahah bahwa sesungguhnya berhujjah dengan maslahah dilakukan oleh semua mazhab, karenam mereka
melakukan qiyâs dan membedakan antara satu dengan yang lainnya, karena
adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
E.
Syarat-Syarat Penerapan Maslahah
Dalam menggunakan maslahah sebagai hujjah, ulama bersikap sangat
hati-hati sehingga tidak mengakibatkan pembentukan shâri’at berdasarkan
nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal itu, maka ulama menyusun
syarat-syarat maslahah yang
dipakai sebagai dasar pembentukan hukum.
1.
Bentuk maslahah tersebut haruslah selaras dengan tujuan-tujuan
shâri’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasarnya dan juga tidak menambrak garis ketentuan nas atau dalil-dalil lain yang qat'î. Dengan kata lain, bahwa kemasalahatan tersebut
sesuai dengan tujuan-tujuan shâri’at, merupakan bagian keumumannya,
bukan temasuk kemaslahatan yang ghârib. Kendati tidak ada dalil yang
mengukuhkannya.
2.
maslahah itu
harus hakikat, bukan dugaan. Ahlu al-hilli wa al-aqdi dan
mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu, memandang bahwa pembentukan hukum
tertentu harus didasarkan pada maslahah al-haqiqiyah, yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan
menolak bahaya pada diri meraka. Tegasnya maslahah tersebut adalah yang rasional, maksudnya
secara rasio terdapat peruntukan wujud kemaslahatan terhadap penetapan hukum.
Misalnya, pencatatan administrastif dalam berbagai transaksi akan meminimalisir
persengketaan atau persaksian palsu. Dalam kaitannya dengan konteks shâri’at,
hal semacam ini selayaknya diterima. Beda dengan pencabutan hak talak dari suami
dan menyerahkannya kepada qodhi. Keputusan kontrofersial semacam ini,
tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan garis-garis shâri’at.
3. Kemaslahatan
itu berlaku universal (berlaku umum), bukan kemaslahatan bagi individu tertentu
atau sejumlah individu. Ini mengingat bahwa shâri’at Islam itu berlaku
bagi semua manusia. Oleh sebab itu, penetapan hukum atas dasar maslahah, bagi kalangan tertentu, seperti penguasa,
pemimpin, dan keluarganya tidak sah karena bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam yang berlaku bagi semua manusia.
F.
Maslahah sebagai
Tujuan Hukum (Maqâsid
Al-Sharî'ah)
Secara bahasa maqâsid al-sharî'ah terdiri
dua kata, yakni maqosi dan syari’ah. Maqâsid al-sharî'ah adalah
bentuk jama’ dari maqsid yang berarti kesengjaan atau tujuan. Sedangkan shari’ah
adalah masdar dari shara’a yang secara etimologis (lughawi) berarti, al-mawâdhi’u tuhidu ilâ al-mâ’i (jalan menuju sumber air). Jalan menuju sumber air ini
dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber kehidupan.
Secara
terminologi (istilah) al-sharî'ah adalah seperangkat aturan atau hukum
yang diciptakan Allah untuk di pedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan
Tuhan, manusia baik sesama muslim maupun non muslim, alam dan seluruh
kehidupan. Demikian juga definisi yang diungkapkan oleh oleh Ali al-Sayis yang
di kutib oleh Abdul Manan bahwa al-sharî'ah adalah hukum-hukum yang
diberikan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya agar mereka percaya dan
mengamalkannya demi kepentingan mereka didunia dan akhirat. Dari kedua definisi
ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan kandungan ma’na antara al-sharî'ah
dan air dalam arti keterkaitan antara cara dan tujuan. Sesuatu yang hendak
dituju merupakan sesuatu yang amat penting. Sharî'ah adalah cara atau
jalan. Air adalah sesuatu yang hendak dituju. Pengaikat Sharî'ah dengan
air ini, dimaksudkan untuk memberikan penekanan pentingnya syariah dalam
memperoleh sesuatu yang penting yang
disimbolkan dengan air. Penyimpulan ini, cukup tepat. Karena air merupakan
unsur penting dalam keahidupan. Urgensi unsur air ini, ditegaskan oleh Allah,
dalm firman-Nya:
$oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr (
Artinya:”Dan kami jadikan segala sesuatu dari air”QS. 21:30.
Pengertian maqâsid al-sharî'ah secara
bahasa adalah maksud dan tujuan disyariatkan aturan atau hukum dalam Islam
berdasarka al-Qura’an dan Sunnah yang bertujuan untuk kebahagiaan umat manusia
di dunia dan ahirat. Begitu mudah dan sederhanaya pengertian maqâsid
al-sharî'ah secara istilah dikalangan ulama’ ushul al-fiqh yang
tegas dan rinci. Hanya saja disisni, setidaknya dapat di kemukakan ulamajk
ushul fikih tentang maqâsid al-sharî'ah tersebut.
Menurut Al-Shâtibî sebagaimana dikutib Asafri Jaya Bakti
bahwa: ”sesungguhnya syâri’ah itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan
manusia didunia dan di akhirat.” Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh
al-Syâtibi bahwa: ” hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahtan hamba.”
Dari pernyataan al-Shâtibî diatas dapat disimpukan bahwa
semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka merealisasikan
kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum
yang tidak mempunyai tujuan, sama dengan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.
Suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Tuhan.
Pandangan Al-Shâtibî diperkuat oleh Muhammad Abu Zahra
yang menyatakan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan manusia dan
tidak satupun hukum yang disyari’atkan baik dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
melainkan didalamnya terdapat kemaslahatan. Ilal Al-fasi sebagaimana yang
dikutib oleh Efi Candra juga mengemukakan bahwa maqasid al adalah tujuan-tujuan
umum dan sharî'ah serta rahasia-rahasia ditetapkan oleh sharî'
(Allah) pada setiap pensyari’atan hukum-Nya. Dengan kata lain maqâsid
al-sharî'ah juga dapat berarti makna-makna serta tujuan-tujuan yang hendak
dicapai oleh syarak pada seuruh hukum-hukumnya. Menurut banyak ayat al-Quran
mengandung dan mensyariatkan untuk memelihara tujuan-tujuan shara’ ini.
Seluruhnya menjelaskan dengan tegas, bahwa tujuan dari pengiriman Nabi dan
Rasul serta penurunan sharî'ah adalah untuk menunjuki hamba yang
menjadikan kebaikan bagi mereka dan untuk melaksanakan beban taklif yang diwajibkan bagi mereka.
Wahbah al-Zuhaili dengan redaksi lain mengungkapkan
bahwa, tujuan maqâsid al-sharî'ah adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia cepat atau lambat, dalam bentuk menimbulkan manfa’at
manusia atau menolak kemadharatan dan kerusakan bagi mereka sbagaimana dalam
rangka mengikuti tujuan hukum dan alasan penetapannya.
Perhatian dan pemahaman para ulama tentang maqâsid
al-sharî'ah lebih banyak tercurahkan kepada konteks manusia sebagai
individu, sedangkan konteks manusia sebagai kelompok tidak banyak mendapatkan
perhatian. Hal ini juga berarti bahwa persoalan sosial kemasyarakatan hanya
mendapatkan sedikit perhatian jika dibandingkan dengan perhatian ulama’ ushul
terdapat konteks manusia sebagai individu.
Persoalan ini sebenarnya berawal dari suatu kenyataan
bahwa masyarakat pada dasarnya tidak lebih dari sekedar individu-individu yang
berkelompok. Sebab individu adalah salah satu unsur masyarakat dan berkumpulnya
unsur-usur individu dalam suatu tempat berarti terbentuknya suatu masyarakat
yang bersosial. Sehingga persoalan yang dihadapi oleh indiviu-individu
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kajian Maqâsid al-sharî'ah
dalm konteks manusia sebagai individu pada hakikatnya juga dalam kontek manusia
sebagai suatu masyarakat yang berkelompok.
Maqâsid al-sharî'ah dalam al-sharî' mengandung empat aspek, yaitu pertama,
tujuan amal disyariatkan adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ini
berkaitan dengan muatan dan hakikat Maqâsid al-sharî'. Kedua,
sharî'ah adalah sesuatu yang harus
dipahami dan ini berkaitan dengan
dimensi bahasa agar sharî'ah bisa di pahami sehingga dapat dicapai
kemaslahtan yang dikandungnya. Ketiga, sharî'ah suatu hukum taklif
yang harus dilakukan. Keempat, tujuan sharî'ah adalah membawa
manusia ke bawah naungan hukum dri air berkaitan dengan berkaitan dengan
kepatuhan manusia sebagai mukallaf. Dalm istilah lain yang lebih tegas
lgi bahwa aspek tujua sharî'ah berupaya membebaskan manusia dari
kekangan hawa nafsu.
Selain keempat aspek diatas, seperti yang sering
disinggung pada keterangan sebelumnya, bahwa Maqâsid al-sharî'ah mencakup
lima prinsip yait: hifz al-din, hifz al-nafs, hifz al-‘aql, hifz al-nasl, hifz al-mâl.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang peningkat Maqâsid
al-sharî'ah ini, berikut akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan yakni
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta,
berdasarkan tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-masing, yaitu:
1)
Memlihara Agama
(Hifz al-Din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan
menjadi tingkatan:
a) Memeihara agama dalam tingkatan darûrî, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang
termasuk tingkatan primer, seperti melaksanakan sholat lima waktu. Jika
kewajiban sholat ini diabaikan maka eksistensi agama akan terancam.
b)
Memelihara
agama dalam tingkatan hâjiyyah,
melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindarkan kesulitan, seperti
penyariatan sholat jamak dan qasar bagi
orang yang sedang bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak
akan mengancam eksistensi agama, meainkan hanya akan mempersulit orang yang
akan melaksanakannya.
c)
Memelihara
agama dalam tingkatan tahsîniyah, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung
tinggi martabat manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan kewajiban Tuhan.
Misalnya, menutup aurat, membersihkan badan, pakaian dan tempat tinggal.
Pelaksanaan ketentuan ini erat kaitannya dengan akhlak mulia. Jika ia tidak
dilakukan, karena tidak memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi
agama dan tidak akan mempersulit orang yang melakukannya.
2)
Memelihara jiwa (Hifz al-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi
tingkatan:
a)
Memelihara jiwa
dalam tingkatan darûrî, seperti pensyariatan kewajiban
memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika
kebutuhan pokok itu diabaikan maka berakibat akan terancamnya eksistensi jiwa
manusia.
b)
Memelihara jiwa dalam tingkatan hâjiyyah, seperti diperbolehkan berburu dan meni’mati
makanan yang halal dan bergizi, jika ketentuan ini diabaikan maka tidak akan
mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
c)
Memelihara jiwa
dalam tingkatan tahsîniyah, seperti
disyariatkannya tatacara makan dan minum. Ketentuan ini hanya berhubungan
dengan etika atau kesopanan. Jika diabaikahn maka ia tidak akan mengancam
eksistensi kehidupan manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3)
Memelihara akal
(Hifz al-‘aql)
Memelihara akal, dilihat dari kepentingannya, dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan:
a)
Memelihara akal
dalam tingkatan darûrî, seperti dilarang mengkonsumsi
minuman yang memabukkan (minuman keras). Jika ketentuan ini tidak diindahkan
maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b)
Memelihara akal
dalam tingkatan hâjiyyah, seperti
anjuran menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya aktivitas ini tidak dilakukan maka
tidak akan merusak akal, namun akan mempersulit dri seseorang, terutama dalam
kaitannya pengembangan ilmu pengetahuan.
c)
Memelihara akal
dalam tingkatan tahsîniyah, seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna.
Hal in hanya berkaitan dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal
secara langsung.
4)
Memelihara keturunan
(Hifz al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari tingkat kebutuhannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a)
Memelihara
keturunan dalam tingkat darûrî, seperti
pensyari’atan hukum perkawinan dan larangan melakukan perzinahan. Apabila
ketentuan ini di abaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.
b)
Memelihara keturunan dalam tingkat hâjiyyah, seperti ditentukan meyebutkan bagi suami
saat akad nikah dan diberikan hak talak kepadanya. Jika mahar tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan
mengalami kesulitan, karena ia akan membayar mahar mithil. Sedangkan
dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan
hak talaknya, padahal situasi dan kondisi rumah tangga tidak harmonis lagi.
c)
Memelihara keturunan dalam tingkat tahsîniyah,
seperti disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Halo ini dilakukan
dalam menyempurnakan kegiatan perkawinan. Jika ia diabaikan tdak akan merusak
eksistensi keturunan, dan tidak akan mempersulit orang melakukan perkawinan, ia
hanya berkaitan dengan etika atau martabat seseorang.
5)
Memelihara
harta (Hifz al-mâl)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a)
Memelihara
harta dalam tingkatan darûrî, pensyari’atan
kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara illegal.
Apabila aturan itu dilanggar maka akan berakibat terancamya eksistensi harta.
b)
Memelihara
harta dalam tingkatan hâjiyyah,
seperti disyari’akannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini
tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan
mempersulit seseorang yang memerlukan modal.
c)
Memelihar harta
dalam tingkatan tahsîniyah, seperti
adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Karena hal itu
berkaitan dengan moral dan etika dalam muamalah atau etika bisnis. Hal ini juga
akan berpengaruh kepada keabsahan jual beli tersebut, sebab pada tingkatan
ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan pertama.
Daftar Pustaka:
Khairul Umam
dkk, Ushul Fiqh I. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Rachmad
Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Said, Ramdhan
al Buthi, Dhawabit al-Maslahah Fi al-Shâri’ah al-Islamiyah. Bairut:
Muassah al- Risalah, 1977.
Al-Syaukani, Irsyad
al- Fuhu. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Abu Ishaq bin
Musa bin Muhammad al- syatibi, al-Mustasfa. Bairut: Dar al-Tsaqofah, t.t.
Abu Hamid bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilmi Ushul, Juz II. Bairut:
Dar al-Fikr, t.t.
Musthafa zaid, al-Maslahah
Fi al-Tasyri’ al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr al-‘Arobi, 1974.
Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Bairut: Dar al Fikr, t.t.
Ridho Rokamah,al-Qowa’id
al-Fiqhiyah. Ponorogo: STAIN Press Ponorogo, 2007.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh,terj. Masdar
Helmi. Bandung: Gema Risalah Press, 1996
Firdaus, Ushul Fiqh-Metode Mengkaji dan Memahami Hukum
Islam Secara Komprehensif. Jakarta: zikrul Hakim, 2004.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Yusuf Qardhawi, Membumikan Shâri’at Islam, terj.
Ade nurdin dan riswa. Bandung: Mizan Pustaka, 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Al-Ghazali, Shifa Al-Ghalil. Bagdad: Matba’ah Al-Irsyad, 1971.
Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushu Al-Fiqh. Kuwait: Dar Al-Qalam, 1978.
Said Ramdhan Al-Buthi, Dhawabit Al-Maslahah Fi
Al-Shâri’ah Al-Islamiyah. Bairut: Muassah Al-Risalah, 1977.
Syffi’i Karim, Ushul
Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2006.
Asafri Jaya
Bakri, konsep maqosid sya memenurut al-Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo,
1996.
Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Muhammad Abu
Zahra, ushul al-fiqh. Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arâbi, 1957.
Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dâr al-fikr, 1996.
Hasbi Umar, Nalar
Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
0 comments:
Post a Comment