Wednesday, June 6, 2012

KONSEP MASLAHAH DALAM HUKUM ISLAM


KONSEP MASLAHAH DALAM HUKUM ISLAM

A.    Pengertian Maslahah

Secara leksikal maslahah berasal dari bahasa ‘arab yang berarti manfa’at, fâidah, bagus, guna atau kegunaan, kata maslahah diambil dari kata kerja shalaha-yasluhu menjadi sulhan-mashlahatan. yang mengikuti wazan (pola) fa’ala-yaf’ulu.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan (kemaslahatan dan sebagainya), faedah, guna. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat atau kepentingan.
Bisa juga dikatakan bahwa maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrod) dari kata al-masâlih. Pengarang lisân al-‘Arob menjelaskan dua arti, yaitu al-maslahah yang berarti al-sholah dan al-maslahah yang berarti bentuk tunggal dari al-masâlih. Semuanya mengandung arti adanya manfa’at baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan pencagaan, seperti menjauhi kemadharatan dan penyakit. Semua itu bisa dikatan maslahah.
Pengertian maslahah secara istilah dapat ditemukan pada kajian ushuliyyin saat membicarakan munâsib, dan pada saat membicarakan maslahah sebagai dalil hukum , ada beberapa rumusan definisi maslahah menurut istilah, yakni sebagai berikut:
Dalam pandangan al-Buthi, maslahah adalah manfaat yang ditetapkan shâri’ untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sendiri sesuai dengan urutan tertentu.
Dari definisi ini, tampak yang mejadi tolok ukur maslahah adalah  tujuan-tujuan shara’ atau berdasarkan ketetapan shâri’. Meskipun kelihatan bertentangan dengan tujuan manusia yang sering kali dilandaskan pada hawa nafsu semata.
Selanjutnya, Imam al-Râzi mendefinisikan maslahah sebagai perbuatan yang bermanfaat yang  telah diperintahkan oleh shâri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Berikutnya, al-Syaukâni menjelaskan maslahah lebih terperinci, karena menurut dia makna yang digunakan  untuk mengistilahkan maslahah memiliki makna yang berbeda-beda, maslahah adakalanya disebut al-munâsabah karena untuk mendapatkan kepastian hukum dari permasalahan yang tidak ada dalilnya seseorang dapat melakukan munâsabah, yaitu membandingkan dengan permasalahan nas  al-Qur’an. Adakalanya maslahah disebut dengan al-Halât, karena mungkin juga manusia menduga-duga adanya kemanfaatan dibalik suatu hukum. Maslahah disebut dengan ri’âyah al-maqâsid, Karena dengan mewujudkan kemaslahatan berarti mewujudkan dan menjaga tujuan shara’, yaitu kemaslahatan umum. Lebih jelasnya ia berpendapat bahwa maslahah adalah sesuatu yang perlu untuk dilestarikan dan sejalan dengan keinginan manusia untuk menarik manfat dan menolak bahaya.
Kemudian  Al-Syâtibi, salah satu Ulama’ Madzhab Maliki mengatakan bahwa maslahah adalah setiap prinsip shara’  yang tidak disertai nas  khusus, namun sesui dengan tindakan shara’ serta maknanya diambil dari dalil-dali shara’. Makna prinsip tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat dijadikan bahan rujukan sepanjang ia telah menjadi prinsip dan digunakan oleh shara’ yang  qat'î.
Dia mengklarifikasikan maslahah menjadi dua bagian , maslahah dari keberaannya didunia dan dari aspek hubungannya dengan statemen shâri’ah (khitâb shâri’ah). Dalam kaitanya keberadaanya didunia, maslahah berarti sesuatu yang membicarakan penegakan kehidupan manusia dan pencapaian segala sesuatu yang dianut oleh kualitaas intelektual dan emosinya. Oleh karena itu dalam dataran praktis, maslahah berhubungan erat dengan sesuatu yang lazim dimasyarakat yang disebut adat. Sedangkan dari aspek kedua, segala sesuatunya kembali lagi keketentuan ketentuan shâri’ah. Dalam hal ini, apabila  shâri’ menuntut sesuatu itu dikerjakan  oleh manusia berarti maslahah dan apabila dilarang berarti mafsadah.
Adapun menurut al-Ghazâlî, dia menjelaskan bahwa secara harfiah maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menghindarkan kerugian. Namun yang dikehendaki dalam kpembahasan maslahah ini bukanlah pengertian tersebut, akan tetapi melestarikan tujuan-tujuan shâri’at. Seadangkan tujuan shâri’at pada makhluk mencakup lima hal, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan. Karenanya setiap hal yang memiliki muatan pelestarian terhadap lima prinsip dasar ini adalah maslahah. Sendangkan hal-hal yang menghambat pencapaian prinsip-prinsip ini disebut mafsadah, dan menolalak atas mafsadah adalah suatu maslahah.
Mustafa Syalbi, menyimpulkan maslahah kedalam dua pengertian. Pertama, dengan pengertian majas, maslahah adalah sesuatu yang menyampaikan pada kemanfaatan. Kedua, secara hakiki, maslahah adalah akibat itu sendiri yang timbul dari sebuah tindakan, yaitu berupa kebaikan atau kaemanfaatan.
Kemudian pengertian maslahah menurut al-Tûfî, ia mendefinisikan maslahah menurut ‘urf (pemahaman umum yang berlaku di masyarakat) adalah sebab yang membawa pada kemaslahatan (manfaat). Dengan demikian al-Tûfî ingin menegaskan bahwa maslahah yang ingin di kehendaki hukum islam tidak sama dengan apa yang dikehendaki manusia.
Yang terahir pengertian maslahah menurut Wahbah al-Zuhaili.dia menawarkan sebuah definisi yang dianggap akodatif dan dapat menjelaskan hakikat maslahah, ia menuturkan bahwa maslahah adalah karakter yang memiliki keselarasan dengan perilakau penetapan shâri’ah dan tujuan-tujuannya, namun tidak ada dalil secara spesifik mengungkapkan atau menolaknya, dengan proyeksi mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan mafsadah (kerusakan).
Dari uraian definisi dan sedikit penjelasan diatas, penulis lebih sepakat dengan pengertian maslahah yang terahir yaitu menurut Wahbah al-Zuhaili. Karena pengertian tersebut mampu mengakomodasi dan sekaligus menjelaskan hakikat maslahah. Dengan bahasa yang sederhana, maslahah adalah setiap hal yang mengandung kemanfaatan namun tidak ada nas  tertentu yang menguatkanya akan tetapi masih sesui dengan prinsip shara’.

B.     Dasar Hukum Maslahah

Jumhur ulama’ mengajukan pendapat  bahwa maslahah merupakan hujjah shâri’at yang bisa dijadikan metode pembentukan hukum mengenai kejadian yang hukumnya tidak ada dalam nas  , ijmâ’ , qiyâs, atau Istihsân. Dalil atau argument yang dipakai para ulama’ jumhur tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Survey membuktikan bahwa dalam hukum-hukum shâri’at selalu  terdapat unsur kemaslahatan bagi manusia. Asumsi semacam ini akan menimbulkan dugaan yang kuat akan legalitas maslahah sebagai salah satu variable penetap hokum islam. Sedangkan mengikuti dugaan kuat (zann) adalah suatu keharusan. Pemikiran semacam ini didasarkan  pada beberapa argumentasi nas , diantaranya:
Firman Allah dalam Surat al-Ambiyâ’ ayat 107
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 
Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
            Al-Adlul sbagaimana dikutib Wahbah al-Zuhaili, menguraikan sisi argumentative ayat diatas. Menurutnya, dari ayat diatas yang secara zâhir menunjukkan keumuman, diphami bahwa dalam penshâri’atan berbagai hukum, Allah mengakomodasikan kemaslahatan bagi manusia. Sebab bila Allah mengutus Rasul-Nya untuk memberlakukan shâri’ah-tanpa adanya kemaslahatan, maka sama halnya dengan pengutusan tanpa rahmat, karena hal tersebut adalah taklif (pembebanan) tanpa faidah. Dengan demikian, hal ini akan menyalahi keumuman ayat.
            Selanjutnya Adludl menggaris bawahi, bahwa ta’lîl (pengajuan ilat dari pembaharuan hukum) merupakan suatu hal yang dominan dalam hukum-hukum shâri’ah. Hal ini karena rasionalitas suatu sebab serta keyakinan tujuan akhir adanya kemaslahatan akan menimbulkan kepatuhan  daripada sekedar dogmatisme suatu ajaran. Karenanya, ta’lîl berfungsi menyampaikan tujuan diberlakukannya suatu hukum.
Argumentasi Lain, al-Qur’an Juga menjelaskan bahwa Allah melakukan kemudahan dan keringanan. Firman Allah:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
            Demikian pula Rasulullah, beliu menegaskan bahwa ajaran Islam menegasikan segala macam bentuk destruktif, dan penegasian ini suatu maslah, dari ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
لاضرر ولاضرار (رواه مالك وإبن ماجه ودار قطنى)
Artinya: Tidak ada perbuatan destruktif dalam agama, baik terhadab diri          sendiri maupun orang lain.
2.      Bahwa zaman berkembang kian pesat. Seiring dengan itu, paradigma pemenuhan kebutuhan hidup mengalami pergeseran. Berbagai metode pencapaian kesejahteraanpun beragam. Dalam kaitannya dengan kehidupan keberagaman, berbagai masalah kontemporer yang timbul menyertainya harus disikapi secara hokum. Disisi lain, secara tekstual nas-nas  shâri’at tidak menyikapi semua permasalahan yang timbul tersebut berikut detail-detailnya secara spesifik. Bila maslahah tidak dipertimbangkan sebagai salah satu metode ijtihâd, betapa banyak kemaslahatan manusia yang terabaikan, penalaran hukum shara’ akan mengalami stagnasi, jumud, bahkan akan memunculakn kesan bahwa shâri’at Islam tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, perlu dirumuskan metode penalaran baru yang mengakomodasi kemaslahatan manusia. karena Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Argumentasi ini bias diperkuat dengan kaidah:
الاصل فى الاشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم      
Yakni, “Segala macam sesuatu pada dasarnya adalah diperbolehkan, selama tidak ada dalil yang melarangnya”, sehingga posisi maslahah sebagai metode ijtihâd sudah bisa menyelesaikan permasalahn-permasalahan yang timbul pada argumentasi diatas.
3.      Dengan menilik ijtihâd dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, diketahui bahwa pada beberapa kasus, mereka bertindak dan berfatwaberdasakan prinsip maslahah, tanpa mengikatkan diri pada perangkat normative qiyâs, yakni tanpa didukung oleh pengukuhan nas  secara eksplisit dan spesifik. Hal ini berjalan tanpa seorangpun yang mengingkarinya. Ini menimbulkan asumsi terbentuknya ijmâ’  atas keabsahan  metode penggalian hukum itu berdasarkan al-munâsib (baca: maslahah mursalah).
Fakta sejarah membuktikan bagaimana Abu Bakar ra. Merintis upaya pengumpulan lembaran-lembaran al-Qur’an (tadwîn) atas saran Umar bin Khatab ra. Yang kemudian diteruskan pada masa pemerintahan Ustman bin ‘Afan ra. Hingga tercetus program standarisasi mushâf.
Begitu juga Umar bin Khatab ra. Ia menetapkan talak tiga walau dengan sekali ucapan. Umar juga menghentikan pembagian zakat kepada kaum mu’alaf, menetapkan pembayaran pajak. Mengadakan tertib administrasi, pembangunan rumah-rumah tahanan dan penghapusan hukuman penggal tangan bagi pencuri ketika musim paceklik.
Khalifah lain, Ustman bin Afan, ia memperstukan umat Islam dengan satu mushaf dan membakar seluruh mushâf lainnya, diamping menyebarkan mushâf yang satu itu keberbagai negara. Ustman juga menetapkan penerimaan harta waris bagi istri yang ditalak lantaran maksud menghindari jatuhnya harta waris kepadanya.
Bahkan khalifah Ali bin Abi Tholib pernah membakar penghianat dari kaum syi’ah- rafîdhah. Ulama’ Shâfi'îyah  menjatuhkan hukuman qisâs bagi gerombolan yang membunuh manusia (pembunuhan berkelompok).
Demikianlah argumen-argumen yang diajukan oleh para pengguna maslahah. Meskipun argumen-argumen tersebut sudah disajikan secara faktual, namun oleh parapenolak maslahah, paparan berbagai argumen ini dianggap belum cukup untuk dijadikan sebagai argumen legalitas maslahah. Para penolak legalitas dengan beberapa argumen, diantaranya adalah:
Penerapan maslahah berpotensi mengurangi sakralitas hukum-hukum shâri’at. Karena pencetusan hukum berdasarka maslahah  sarat dengan konflik kepentingan dari pribadi pencetusnya. Sementara garis shâri’at hanya merekomendasikan segi kemaslahatan secara global saja. Sehingga tidak mustahil dengan berkedok maslahah, cetusan hukum yang dibuahkanakan terpengaruh oleh keinginan dan kepentingan pribadi, dengan asumsi klise mereka bahwa segi kemaslahatan akan senantiasa berubah  selaras dengan perkembangan zaman. Wal hâsil, penerapan maslahah tidak jauh beda dengan istihsan, bahkan jauh lebih berbahaya. Sebabgaimana ungkapan al-Ghazâlî, yang terinspirasi dari adagium Al-Syafi’i dalam menolak istihsân, yakni: man istahsana faqad syarro’a, barang siapa menggunakan maslahah maka ia telah membuat shâri’ah  baru.
Sebagaimana yang diutaran oleh Wahbah, argumentasi seperti ini tidak tepat, karena dalam penerapan maslahah terdapat beberapa syarat yang salah satunya adalah adanya  mula’amah (keselarasan) antara bentuk kemaslahatan dengan tujuan-tujuan shâri’at, sehinga sangat kecil sekali kemungkinan  masuknya hawa nafsu untuk ikut andil didalamnya (baca: pencetusan maslahah).
1.    Maslahah berada dalam posisi pertengahan antara penolakan shara’ pada sebagian maslahah dan pengukuhan pada bagian lainnya. Seandainya maslahah adalah suatu keharusan, hanya karena adaya titik kesamaan dengan mu’tabarah (kemaslahatan yang dikukuhkan oleh shara’) dalam segi semata-mata ia adalah kemaslahtan, seharusnya pula pengabaian terhadap Maslahahadalah juga suatu keharusan, karena adanya kesamaan dengan kemaslahatan mulgha’ (kemaslahatan yang ditolak oleh shara’) dalam segi tidak adanya pengukuhan shara’. Faktor adanya kemungkinan adanya maslahah sebagai maslahah mu’tabarah disatu sisi dan sebagai maslahah mulgho’ disisi yang lain inilah yang menyebabkan tidak diperbolehkannya mengadopsi maslahah. Karena tidak ada prefensi (tarjîh) yang menjadikan lebih condong pada salah satu sisinya. Karenanya pula, maslahah tidak mempinyai legalitas argumentatif dalam ranah hukum shâri’at.
Argumentasi seperti inipun sebenarnya juga masih lemah, karena maslahah yang tertolak oleh shara’ relatif lebih sedikit daripada maslaha yang dikukuhkan (Maslahah mu’tabarah).
2.    Maslahah akan merusak unitas dan universalitan shâri’at Islam. Hal ini karena hukum akan sering berubah seiring dengan perkembangan zaman, kondisi dan pelakunya, sebab segi kemaslahtan akan senantiasa berubah dan berkembang.
Argumentasi diatas justru memperkuat legalitas maslahah. karena pengingkaran maslahah akan menutup pintu rahmah (belas kasih Tuhan) terhadap maslahah makhlu-makhluk-Nya. Artinya, hukum Islam tidak bisa berjalan sesuai dengan semangat fleksibelitas yang selama ini kita pahami. Selain itu, maslahah hanya boleh diterapkan ketika tidak terdapat nas  atau ijmâ’  yang menjelaskan status hukum suatu kasus aktual. Karenanya penerapan maslahah tidak sampai menegasikan prinsip unitas dan universalitas shâri’ah. Bahkan sebaliknya, dalam segala dimensi ruang dan waktu, shâri’ah Islam akan menemukan relevansinya dengan menampilkan solusi dari problematika umat.

C.    Stratifikasi Maslahah

Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas maslahah bagi kehidupan manusia, ahli ushul fiqh membagi Maslahah menjadi tiga tingkatan.
1.      Maslahah al- Darûriyah
Maslahah al-darûriyah adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia didunia dan di akhirat. Demikian penting kemaslahatah ini, apabila luput dalam kehidupan manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan ini meliputi pemeliharaan agama, diri, akal keturunan dan pemeliharaan terhadap harta.
            Pemeliharaan kelima sendi diatas diurut berdasarkan sekala prioritas.  Artinya, sendi yang berada di urutan pertama (agama) lebih utama dari sendi kedua (jiwa). Dan sendi kedua lebih kuat daripada sendi ketiga (akal), dan begitu seterusnya sampai sendi kelima.
            Senada dengan ta’rîf al-Ghazâlî, bahwa maslahah darûriyah merupakan maslahah yang sangat diperlukan manusia. Yang merupakan tingkatan paling tinggi. Sehingga maslahah ini harus ada dalam menegakkan kemaslahatan agama dan dunia.
2.      Maslahah al- Hâjiyah
Maslahah al-Hajiyah adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangakan kesulitan yang dihadapi. Termasuk Maslahah ini semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya.
Senada dengan ta’rîf diatas, al-Qardhawi mendefinisikan maslahah al-Hajiyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia tidak pada tingkat darûriyah akan tetapi bentuk kemaslahatannya secara tidak langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok (darûri).
            Menurut al-Ghazâlî maslahah al-hajiyah adalah kemaslahatan hidup manusia yang tidak pada tingkat pokok (darûri). Bentuk kemaslahatannya tidak langsung  bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima, tetaoi secara tidak langsung menuju kearah yang sama seperti dalam memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia, apabila tidak dipenuhi maka tidak sampai secara langsung  menyebabakan rusaknya lima unsur pokok itu.
            al-Ghazâlî tidak mengkhususkan maslahah ini dalam satu lingkup maslahah saja. Dengan demikian ada kemungkinan  maslahah al-hâjiyah ini masuk dalam lingkup ibadah, mu'âmalah, adat maupun jinayah.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip utama dalam aspek hâjiyah  ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mukalaf (orang yang dibebani hukum).
3.      Maslahah  al-Tahsîniyah
Maslahah al-tahsîniyah adalah kemaslahatan yang bertujuan untuk mengakomodasikan kebiasaan dan perilaku baik serta budi pekerti luhur. Maslahah ini sering disebut maslahah takmîliyah, yaitu suatu kemaslahatan yang bersifat pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahtan darûriyah dan hâjiyah. Kemaslahatan dimasudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti. Sekiranya, kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalm kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan keguncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian, kemaslahtan ini tetap penting dan dibutuhkan manusia.
Dilihat dari segi tingkat kegunaan al-Ghazâlî membagi maslahah menjadi dua, yaitu:
1.      Maslahah yang berhungan dengan kemaslahatan umum, kepentingan semua makhluk, serta berhubungan dengan kemaslahatan mayoritas.
2.      Maslahah yang berhubungan dengan kemaslahatan perorangan atau individu.
Kemudian ditinjau dari segi eksistensi maslahah dan ada tidaknya dalil yang langsung mengaturnya, maslahah dibagi menjadi tiga macam:
1.      Maslahah al-Mu'tabarah adalah suatu kemaslahtan yang dijelaskan dan diakui keberadaannya secara langsung oleh nas . Untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, Islam menetapka hukum qisâs pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, seperti firman Allah:
 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# (.....   
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
Untuk memelihara dan menjamin keamanan kepemilikan harta, Islam menetapkan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian, sbagaimana terdapat dalam surat Al-Maidah ayat  38:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$#  
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Demikian pula untuk untuk memelihara kehormatan manusia, islam melarang melakukan qazaf  dan zina. Misalnya larangan zina ditemukan dalam surat Al-Isra’ ayat 32:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y 
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
2.      Maslahah Al-Mulghâh
Maslahah al-mulghâh adalah suatu kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan dengan nas . Karenaya, segala bentuk kemaslahatan seperti ini ditolak oleh shara’. Menurut Abdul Wahab Khâlaf, salah satu contoh relevan dengn maslahah ini adalah fatwa seorang ulama’ madhhab Mâliki di Sepanyol yang bernama Laist Ibnu Sa’ad (94-75 H) dalam menentukan kafarat orang yang melakukan hubungan suami-istri pada siang bulan bulan ramadhan. Berdasarkan hadîth Nabi, orang yang melakukan demikian adalah memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Kasus ini terjadi disepanyol dan orang yang melakukan hubungan suami istri itu adalah seorang penguasa. Mengingat orang ini penguasa, apabila kafaratnya memerdekakan budak tentu dengan mudah ia dapat membayar dengan mudah dan dan kembali melakukan pelanggaran dengan mudah pula. Atas dasar pertimbangan seperti itu Laist Ibnu Sa’ad menetapkan kafarat bagi penguasa ini puasa berturut-turut.
Maslahah model seperti ini jelas menyalahi al-Hadîth diatas, karena kaffarat itu dilaksanakan secara berurut. Apabila seseorang tidak bisa memerdekakan budak , barulah ia bisa memilih alternatif kedua, yaitu puasa dua bulan berturut-turut. Karenanya mendahulukan kaffarat puasa daripada memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangn dengan dengan kehendak shara’, shingga dipandang batal dan ditolak.
3.      Maslahah Al-Mursalah
Ada beberapa definisi maslahah al-mursalah yang dikemukakan oleh ulama’. Said Ramadhan mendefinisikan maslahah adalah setiap maslahah yang termasuk dalam maqâsid al-sharî'ah baik ada nas  yang mengakui atau menolaknya.
Abu Zahrah mendefinisikan maslahah al-mursalah merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan maksud shara’ tetapi tidak ada nas  secara khusus yang memerintahnya atau menolaknya.
Dari definisi ini tampak bahwa maslahah al-mursalah merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan apa yang terdapat didalam nas, tetapi tidak ada nas  yang khusus yang memerintah dan melarang untuk mewujudkannya. Dan hal ini dapat dibuktikan dari sekumpulan nas  dan makna yang dikandungnya. Dengan demikian maslahah ini dapat dijadikan pijakan dalam mewujudkan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia dan menghindarkan kemadharatan.

D.    Kehujjahan Maslahah

Dalam kehujjahan maslahah, teradapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul, diantaranya
1.      Maslahah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut Ulama-Ulama Shâfi’iyah, Hanâfiyah, dan sebagian ulama Mâlikiyah, seperti Ibnu Hajib dan Ahli zâhir.
2.      Maslahah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama Mâlikiyah, dan sebagian ulama syafi’iyah, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanâfiyah dan Shâfi’iyah mensyaratkan tentang maslahah ini, hendaknya dimasukkan di bawah qiyâs, yaitu bila terdapat hukum asal yang dapat diqiyâskan kepadanya dan juga ‘illat mudhabit (tepat) sehingga dalam hubungan hukum terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan shara’, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan shara’ ini, karena luasnya pengetahuan mereak dalam soal pengakuan shâri’ (Allah) terhadap illat sebagai tergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini, karena hampir tidak ada maslahah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
3.      Imam al-Qarafi, berpendapat tentang kehujjahan maslahah bahwa sesungguhnya berhujjah dengan maslahah dilakukan oleh semua mazhab, karenam mereka melakukan qiyâs dan membedakan antara satu dengan yang lainnya, karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.

E.     Syarat-Syarat Penerapan Maslahah

Dalam menggunakan maslahah sebagai hujjah, ulama bersikap sangat hati-hati sehingga tidak mengakibatkan pembentukan shâri’at berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal itu, maka ulama menyusun syarat-syarat maslahah yang dipakai sebagai dasar pembentukan hukum.
1.      Bentuk maslahah tersebut haruslah selaras dengan tujuan-tujuan shâri’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya dan juga tidak menambrak garis ketentuan nas atau dalil-dalil lain yang qat. Dengan kata lain, bahwa kemasalahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan shâri’at, merupakan bagian keumumannya, bukan temasuk kemaslahatan yang ghârib. Kendati tidak ada dalil yang mengukuhkannya.
2.      maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Ahlu al-hilli wa al-aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu, memandang bahwa pembentukan hukum tertentu harus didasarkan pada maslahah al-haqiqiyah, yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan menolak bahaya pada diri meraka. Tegasnya maslahah tersebut adalah yang rasional, maksudnya secara rasio terdapat peruntukan wujud kemaslahatan terhadap penetapan hukum. Misalnya, pencatatan administrastif dalam berbagai transaksi akan meminimalisir persengketaan atau persaksian palsu. Dalam kaitannya dengan konteks shâri’at, hal semacam ini selayaknya diterima. Beda dengan pencabutan hak talak dari suami dan menyerahkannya kepada qodhi. Keputusan kontrofersial semacam ini, tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan garis-garis shâri’at.
3.      Kemaslahatan itu berlaku universal (berlaku umum), bukan kemaslahatan bagi individu tertentu atau sejumlah individu. Ini mengingat bahwa shâri’at Islam itu berlaku bagi semua manusia. Oleh sebab itu, penetapan hukum atas dasar maslahah, bagi kalangan tertentu, seperti penguasa, pemimpin, dan keluarganya tidak sah karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang berlaku bagi semua manusia.

F.     Maslahah sebagai Tujuan Hukum (Maqâsid Al-Sharî'ah)

Secara bahasa maqâsid al-sharî'ah terdiri dua kata, yakni maqosi dan syari’ah. Maqâsid al-sharî'ah adalah bentuk jama’ dari maqsid yang berarti kesengjaan atau tujuan. Sedangkan shari’ah adalah masdar dari shara’a yang secara etimologis (lughawi) berarti, al-mawâdhi’u tuhidu ilâ al-mâ’i (jalan menuju sumber air). Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber kehidupan.
      Secara terminologi (istilah) al-sharî'ah adalah seperangkat aturan atau hukum yang diciptakan Allah untuk di pedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, manusia baik sesama muslim maupun non muslim, alam dan seluruh kehidupan. Demikian juga definisi yang diungkapkan oleh oleh Ali al-Sayis yang di kutib oleh Abdul Manan bahwa al-sharî'ah adalah hukum-hukum yang diberikan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya agar mereka percaya dan mengamalkannya demi kepentingan mereka didunia dan akhirat. Dari kedua definisi ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan kandungan ma’na antara al-sharî'ah dan air dalam arti keterkaitan antara cara dan tujuan. Sesuatu yang hendak dituju merupakan sesuatu yang amat penting. Sharî'ah adalah cara atau jalan. Air adalah sesuatu yang hendak dituju. Pengaikat Sharî'ah dengan air ini, dimaksudkan untuk memberikan penekanan pentingnya syariah dalam memperoleh sesuatu yang penting  yang disimbolkan dengan air. Penyimpulan ini, cukup tepat. Karena air merupakan unsur penting dalam keahidupan. Urgensi unsur air ini, ditegaskan oleh Allah, dalm firman-Nya:
$oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( 
Artinya:”Dan kami jadikan segala sesuatu dari air”QS. 21:30.
Pengertian maqâsid al-sharî'ah secara bahasa adalah maksud dan tujuan disyariatkan aturan atau hukum dalam Islam berdasarka al-Qura’an dan Sunnah yang bertujuan untuk kebahagiaan umat manusia di dunia dan ahirat. Begitu mudah dan sederhanaya pengertian maqâsid al-sharî'ah secara istilah dikalangan ulama’ ushul al-fiqh yang tegas dan rinci. Hanya saja disisni, setidaknya dapat di kemukakan ulamajk ushul fikih tentang maqâsid al-sharî'ah tersebut.
Menurut Al-Shâtibî sebagaimana dikutib Asafri Jaya Bakti bahwa: ”sesungguhnya syâri’ah itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia didunia dan di akhirat.” Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syâtibi bahwa: ” hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahtan hamba.”
Dari pernyataan al-Shâtibî diatas dapat disimpukan bahwa semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan, sama dengan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Tuhan.
Pandangan Al-Shâtibî diperkuat oleh Muhammad Abu Zahra yang menyatakan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan manusia dan tidak satupun hukum yang disyari’atkan baik dalam al-Qur’an dan al-Sunnah melainkan didalamnya terdapat kemaslahatan. Ilal Al-fasi sebagaimana yang dikutib oleh Efi Candra juga mengemukakan bahwa maqasid al adalah tujuan-tujuan umum dan sharî'ah serta rahasia-rahasia ditetapkan oleh sharî' (Allah) pada setiap pensyari’atan hukum-Nya. Dengan kata lain maqâsid al-sharî'ah juga dapat berarti makna-makna serta tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh syarak pada seuruh hukum-hukumnya. Menurut banyak ayat al-Quran mengandung dan mensyariatkan untuk memelihara tujuan-tujuan shara’ ini. Seluruhnya menjelaskan dengan tegas, bahwa tujuan dari pengiriman Nabi dan Rasul serta penurunan sharî'ah adalah untuk menunjuki hamba yang menjadikan kebaikan bagi mereka dan untuk melaksanakan beban taklif  yang diwajibkan bagi mereka.
Wahbah al-Zuhaili dengan redaksi lain mengungkapkan bahwa, tujuan maqâsid al-sharî'ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia cepat atau lambat, dalam bentuk menimbulkan manfa’at manusia atau menolak kemadharatan dan kerusakan bagi mereka sbagaimana dalam rangka mengikuti tujuan hukum dan alasan penetapannya.
Perhatian dan pemahaman para ulama tentang maqâsid al-sharî'ah lebih banyak tercurahkan kepada konteks manusia sebagai individu, sedangkan konteks manusia sebagai kelompok tidak banyak mendapatkan perhatian. Hal ini juga berarti bahwa persoalan sosial kemasyarakatan hanya mendapatkan sedikit perhatian jika dibandingkan dengan perhatian ulama’ ushul terdapat konteks manusia sebagai individu.
Persoalan ini sebenarnya berawal dari suatu kenyataan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak lebih dari sekedar individu-individu yang berkelompok. Sebab individu adalah salah satu unsur masyarakat dan berkumpulnya unsur-usur individu dalam suatu tempat berarti terbentuknya suatu masyarakat yang bersosial. Sehingga persoalan yang dihadapi oleh indiviu-individu masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kajian Maqâsid al-sharî'ah dalm konteks manusia sebagai individu pada hakikatnya juga dalam kontek manusia sebagai suatu masyarakat yang berkelompok.
Maqâsid al-sharî'ah dalam al-sharî' mengandung empat aspek, yaitu pertama, tujuan amal disyariatkan adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ini berkaitan dengan muatan dan hakikat Maqâsid al-sharî'. Kedua, sharî'ah adalah sesuatu yang harus  dipahami  dan ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar sharî'ah bisa di pahami sehingga dapat dicapai kemaslahtan yang dikandungnya. Ketiga, sharî'ah suatu hukum taklif yang harus dilakukan. Keempat, tujuan sharî'ah adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum dri air berkaitan dengan berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf. Dalm istilah lain yang lebih tegas lgi bahwa aspek tujua sharî'ah berupaya membebaskan manusia dari kekangan hawa nafsu.
Selain keempat aspek diatas, seperti yang sering disinggung pada keterangan sebelumnya, bahwa Maqâsid al-sharî'ah mencakup lima prinsip yait: hifz al-din, hifz al-nafs, hifz al-‘aql, hifz al-nasl, hifz al-mâl.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang peningkat Maqâsid al-sharî'ah ini, berikut akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta,  berdasarkan tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-masing, yaitu:
1)   Memlihara Agama (Hifz al-Din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tingkatan:
a)    Memeihara agama dalam tingkatan darûrî, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk tingkatan primer, seperti melaksanakan sholat lima waktu. Jika kewajiban sholat ini diabaikan maka eksistensi agama akan terancam.
b)   Memelihara agama dalam tingkatan hâjiyyah, melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindarkan kesulitan, seperti penyariatan sholat jamak  dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, meainkan hanya akan mempersulit orang yang akan melaksanakannya.
c)    Memelihara agama dalam tingkatan tahsîniyah, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan kewajiban Tuhan. Misalnya, menutup aurat, membersihkan badan, pakaian dan tempat tinggal. Pelaksanaan ketentuan ini erat kaitannya dengan akhlak mulia. Jika ia tidak dilakukan, karena tidak memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak akan mempersulit orang yang melakukannya.
2)   Memelihara jiwa (Hifz al-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tingkatan:
a)         Memelihara jiwa dalam tingkatan darûrî, seperti pensyariatan kewajiban memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika kebutuhan pokok itu diabaikan maka berakibat akan terancamnya eksistensi jiwa manusia.
b)        Memelihara jiwa dalam tingkatan hâjiyyah, seperti diperbolehkan berburu dan meni’mati makanan yang halal dan bergizi, jika ketentuan ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
c)         Memelihara jiwa dalam tingkatan tahsîniyah, seperti disyariatkannya tatacara makan dan minum. Ketentuan ini hanya berhubungan dengan etika atau kesopanan. Jika diabaikahn maka ia tidak akan mengancam eksistensi kehidupan manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3)   Memelihara akal (Hifz al-‘aql)
Memelihara akal, dilihat dari kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a)         Memelihara akal dalam tingkatan darûrî, seperti dilarang mengkonsumsi minuman yang memabukkan (minuman keras). Jika ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b)        Memelihara akal dalam tingkatan hâjiyyah, seperti anjuran menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya aktivitas ini tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal, namun akan mempersulit dri seseorang, terutama dalam kaitannya pengembangan ilmu pengetahuan.
c)         Memelihara akal dalam tingkatan tahsîniyah, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna. Hal in hanya berkaitan dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
4)   Memelihara keturunan (Hifz al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a)         Memelihara keturunan dalam tingkat darûrî, seperti pensyari’atan hukum perkawinan dan larangan melakukan perzinahan. Apabila ketentuan ini di abaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.
b)        Memelihara keturunan dalam tingkat hâjiyyah, seperti ditentukan meyebutkan bagi suami saat akad nikah dan diberikan hak talak kepadanya. Jika mahar tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia akan membayar mahar mithil. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan kondisi rumah tangga tidak harmonis lagi.
c)         Memelihara keturunan dalam tingkat tahsîniyah, seperti disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Halo ini dilakukan dalam menyempurnakan kegiatan perkawinan. Jika ia diabaikan tdak akan merusak eksistensi keturunan, dan tidak akan mempersulit orang melakukan perkawinan, ia hanya berkaitan dengan etika atau martabat seseorang.
5)   Memelihara harta (Hifz al-mâl)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a)         Memelihara harta dalam tingkatan darûrî, pensyari’atan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara illegal. Apabila aturan itu dilanggar maka akan berakibat terancamya eksistensi harta.
b)        Memelihara harta dalam tingkatan hâjiyyah, seperti disyari’akannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit seseorang yang memerlukan modal.
c)         Memelihar harta dalam tingkatan tahsîniyah, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Karena hal itu berkaitan dengan moral dan etika dalam muamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jual beli tersebut, sebab pada tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan pertama.

Daftar Pustaka:

Khairul Umam dkk, Ushul Fiqh I. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh.  Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Said, Ramdhan al Buthi, Dhawabit al-Maslahah Fi al-Shâri’ah al-Islamiyah. Bairut: Muassah al- Risalah, 1977.
Al-Syaukani, Irsyad al- Fuhu. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al- syatibi, al-Mustasfa. Bairut: Dar al-Tsaqofah, t.t.
Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilmi Ushul, Juz II. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Musthafa zaid, al-Maslahah Fi al-Tasyri’ al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr al-‘Arobi, 1974.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Bairut: Dar al Fikr, t.t.
Ridho Rokamah,al-Qowa’id al-Fiqhiyah. Ponorogo: STAIN Press Ponorogo, 2007.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh,terj. Masdar Helmi. Bandung: Gema Risalah Press, 1996
Firdaus, Ushul Fiqh-Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta: zikrul Hakim, 2004.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Yusuf Qardhawi, Membumikan Shâri’at Islam, terj. Ade nurdin dan riswa. Bandung: Mizan Pustaka, 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Al-Ghazali, Shifa Al-Ghalil. Bagdad: Matba’ah Al-Irsyad, 1971.
Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushu Al-Fiqh. Kuwait: Dar Al-Qalam, 1978.
Said Ramdhan Al-Buthi, Dhawabit Al-Maslahah Fi Al-Shâri’ah Al-Islamiyah. Bairut: Muassah Al-Risalah, 1977.
Syffi’i Karim, Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2006.
Asafri Jaya Bakri, konsep maqosid sya memenurut al-Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Muhammad Abu Zahra, ushul al-fiqh. Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arâbi, 1957.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dâr al-fikr, 1996.
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com