Wednesday, June 6, 2012

BIOGRAFI AL-GHAZALI


BIOGRAFI AL-GHAZALI

A.   Al-Ghazali  dan Lingkungan Keluarganya
Al-Ghazali  dikenal sebagai seorang teolog Muslim, ahli pendidikan, dan sufi abad pertengahan. Lahir pada 1058 M/450 H di desa Ghazalah, di Thus (sekarang dekat Meshed), sebuah kota di Persia. Sekarang daerah tersebut termasuk dalam propinsi Khurasan, Iran. Ia meninggal dunia di kampung halamannya, Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Thaburan, wilayah Thus.)
Imam al-Ghazali ,) nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali  at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali  saja. Al-Ghazali  juga populer dengan sebutan Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama), al-Faqih asy-Syafi’i, dan Bahrun Mugriq. Ia juga dijuluki the Spinner yang berarti pemintal atau penenun.
Al-Ghazali  hidup pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah II. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang tinggi religiusitasnya. Ayahnya, Muhammad, adalah seorang penenun dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di Thus, di luar kesibukannya, ia senantiasa menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan para ulama. Al-Ghazali  juga mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-Ghazali  yang dikenal dengan julukan Majduddin (w. 520). Kondisi keluarga yang religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama besar. Hanya saja saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding al-Ghazali  yang menjadi penulis dan pemikir. Ayah al-Ghazali  adalah seorang pencinta ilmu, bercita-cita tinggi, dan seorang muslim yang saleh yang selalu taat menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya tercapai. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali  dan saudaranya, Ahmad masih kecil. Margaret Smith mencatat bahwa ibu al-Ghazali masih hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan saudaranya Ahmad sudah menjadi terkenal.
Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari pola hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia sempat berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, Yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya tambahan. Maka al-Ghazali  dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan. Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali  yang penuh arti sampai akhir hayatnya.
Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali  adalah salah seorang pemikir besar Islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah seorang pribadi yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali  adalah  pakar ilmu syari’ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf, Akhlak, dan sebagainya. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali  telah menulisnya secara mendalam, murni dan bernilai tinggi.
Banyak tokoh yang mengungkapkan pujian dan kekagumannya pada al-Ghazali. Imamal-Haramain (seorang mantan gurunya) misalnya, ia berkata “Al-Ghazali  adalah lautan tanpa tepi”. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam Muhammad bin Yahya berkata, “Imam Al-Ghazali  adalah asy-Syafi’i kedua”. Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama sezamannya, yaitu Abu al-Hasan ‘Abdul Ghafir al-Farisiy, beliau mengatakan, “Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum Muslimin, imam dari para imam agama, pribadi yang  tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya, ucapannya, kecerdasan maupun tabiatnya.”
B.    Pendidikan dan Karier Intelektual Imam Al-Ghazali
Pendidikan al-Ghazali  di masa anak-anak berlangsung dikampung halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka. Dan kepadanyalah kali pertama al-Ghazali  mempelajari Fiqh. Namun setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh mereka, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus.
Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma’il bin Mus’idah al-Isma’iliy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-Isma’iliy.
Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali  yang telah berusia 20 tahun berangkat lagi ke Nisabur pada tahun 470 H. untuk belajar kepada salah seorang ulama Asy’ariyyah, yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dan mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478 H. Al-Juwaini lebih dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali  belajar kepadanya dalam bidang Fiqh, ilmu debat, Mantiq, Filsafat, dan ilmu kalam. Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali  dengan bekal kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin pada madrasah yang didirikan Imam al-Haramain di Nisabur.
Disamping itu, al-Ghazali  juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu ImamYusuf al-Nasaj dan Imam Abu ‘Ali al-Fadl bin Muhammad bin ‘Ali al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al-Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin ‘Ali bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad al-Khuwariy, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i al-Zauzani, al-Hafiz Abu al-Fityan ‘Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi al-Dahistaniy, dan Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi.
Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali  mengunjungi tempat kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintah Sultan ‘Adud ad-Daulah Alp Arselan (455 H/1063M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465 H/1072 M-485 H/1092 M) dari Dinasti Salajiqah di al-‘Askar, sebuah kota di Persia. Wazir tersebut bernama Nizam al-Mulk. Wazir kagum atas pandangan-pandangan al-Ghazali  sehingga al-Ghazali  diminta untuk mengajar Fiqh asy-Syafi’iyah di perguruannya, Nizham al-Mulk, di Baghdad, yang lebih dikenal dengan perguruan atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali  mengajar di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M. Pada saat inilah al-Ghazali  yang pada waktu itu berusia 34 tahun memperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai puncak kariernya yang ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda.
Empat tahun lamanya al-Ghazali  mengajar di Baghdad. Kemudian ia meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488 H. setelah ia mewakilkan tugasnya kepada saudaranya, dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan, dan menyucikan diri dari dosa selama kurang dari 2 tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun 490 H/1098 M. dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis, Palestina, dan melanjutkan perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun. Namun sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali  mendengar kabar kematian Amir tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan diangkat oleh Fakhr al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari Gubernur Khurasan, Sanjar yang merupakan salah seorang putra Malik Syah, sebagai Presiden dari perguruan di Nisabur pada tahun 1105. Tidak lama di Nisabur, kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari teologi, tasawuf, serta madrasah fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali  menghabiskan sisa hidupnya setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah memperoleh kebenaran yang sejati.
C.   Latar Belakang Sosial Politik  
1.      Situasi Politik
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari kehidupan politik yang tidak jarang menumbuhkan benih-benih konflik baik internal maupun eksternal. Benih-benih konflik yang terjadi di kalangan umat Islam telah muncul secara jelas sejak masa Khalifah ‘Usman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang berselisih dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan pada saat inilah maka umat Islam berselisih dalam dua medan: Imamah (politik) dan Ushul (teologi). Dalam medan politik muncul partai dan aliran Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah serta lahir Daulat Umawiyah yang berpusat di Damaskus (40-132 H) kemudian Daulat ‘Abbasiyah di Baghdad (132-656 H), disamping sisa Daulat Umawiyah di Spanyol (138-403 H), yang di masa Al-Ghazali  sudah terkeping-keping menjadi kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Tawa’if), dan Daulat Fathimiyyah/Isma’iliyyah di Mesir (297-567 H) yang hal tersebut menandakan adanya pergeseran doktrin politik Islam yang hakiki kepada monarkisme yang secara umum lebih mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi dan diwarnai oleh konflik-konflik politik berkepanjangan.
Tetapi umat Islam sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” (‘Am al-Jama’ah) yang dipelopori oleh al-Hasan bin ‘Ali, Ibn ‘Abbas, dan Ibn ‘Umar, tidak terbawa hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari pentas politik praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal ini membawa ekses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu “Ulama” dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh kemurnian Islam dan obyektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu dan dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang kemudian disebut Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang salah satu tokohnya adalah al-Ghazali.
Sepanjang perjalanan Daulat ‘Abbasiyah kompetisi dan konflik berlangsung antara Bani ‘Abbas dan Syi’ah-Mu’tazilah yang lebih dominan disebabkan oleh perbedaan faham dan ideologi. Bahkan, krisis politik Dinasti ‘Abbasiyah yang sangat kompleks ini memaksa jatuhnya otoritas eksklusif Kekhalifahan ‘Abbasiyah ke tangan sultan-sultan yang membagi wilayah ‘Abbasiyah menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. Diantaranya adalah Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063 M) hingga akhirnya dapat menguasai kota Baghdad pada tahun 1055 M., tiga tahun sebelum al-Ghazali  lahir, sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Bani Buwaihi yang sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055 M).    
Maka sejak saat itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang Sunni dengan corak keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti Saljuk inilah terutama sejak dipegang oleh Sultan Alp Arselan lalu Malik Syah dengan wazirnya yang masyhur, Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya kembali. Namun pada masa Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari adanya konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran keislaman.
Faktor eksternal yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti ‘Abbasiyah adalah kondisi Dinasti Fathimiy yang menganut Syi’ah Isma’iliyyah di Mesir yang sedang mengalami kemerosotan menuju keruntuhannya baik karena krisis ekonomi, politik internal maupun karena desakan negara-negara Murabithin yang Sunny-Maliky di Afrika Utara hingga sebagian Sudan dan berafiliasi ke ‘Abbasiyah. Sedang ‘Abbasiyah pusat sendiri terus menerus mendesak dari arah Timur dan Utara. Dengan sendirinya Isma’iliy Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569 H) ikut menyusut.
Namun sepeninggal Malik Syah dan Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah berubah drastis, yang akan diikuti oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-Ghazali. Merosotnya otoritas pemerintah disebabkan oleh adanya konflik/perang saudara yang berkepanjangan di kalangan istana (internal). Keadaan ini diperparah lagi dengan bangkitnya kaum Bathiniyyah/Isma’iliyyah/Ta’limiyyah di Timur yang melancarkan teror-teror sehingga memakan korban, diantaranya adalah Wazir Nizham al-Mulk.
Dalam situasi seperti ini dunia Kristen Eropa melancarkan Perang Salib di Timur, sehingga mereka berhasil mengguncang Syria dan mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils, dan Ruha sejak tahun 490 H/1098 M.
Sementara itu al-Ghazali  masih berkhalwat mencari ’ilmu yaqini di Syam dan sekitarnya. Ia sendiri menilai masa ini sebagai masa fathrah (vacum dari pembimbing keagamaan), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dilakukan pembaharuan (tajdid) atau “menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (Ihya’ ‘Ulum ad-Din). Dapat disimpulkan, pada saat itu al-Ghazali  hidup dalam suasana dan kondisi Islam yang sudah menunjukkan kemerosotan dan kemunduran dalam beberapa aspeknya.
2.      Situasi Ilmiah dan Sosial Keagamaan
Pada masa al-Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi di bidang politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial kegamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme kepada umat. Dan terkadang, hal itu juga dilakukan pula oleh pihak penguasa.
Fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik antar golongan mazhab dan aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai wilayah penganutnya. Di Khurasan mayoritas penduduk bermazhab Syafi’i, di Transoksiana didominasi oleh mazhab Hanafi, di Isfahan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanbali, di Balkan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanafi. Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak, mazhab Hanbali lebih dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab yang satu mengkafirkan mazhab yang lain, seperti antara mazhab Syafi’i dengan mazhab Hanbali. Konflik terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy’arisme dengan Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu’tazilah, antara Hanabilah dengan Syi’ah dan antara aliran-aliran yang lain.
Pada tahun 469 H. terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”, yaitu konflik fisik antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah, karena pihak pertama menuduh pihak kedua berpaham “tajsim”; dan konflik ini meminta korban seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan Hanabilah dengan Syi’ah; dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara Hanabilah dan Asy’arisme.       
Penanaman fanatisme mazhab dan aliran dalam masyarakat tersebut juga banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama yang menempati strata tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, di bawah status para penguasa. Hal ini karena adanya interdependensi antara penguasa dan ulama. Dengan peran ulama, para penguasa bisa memperoleh semacam legitimasi terhadap kekuasaannya di mata umat; sebaliknya dengan peran penguasa, para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan hidup. Karena  itu para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa, dan begitu pula sebaliknya. Di samping itu ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di Khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas. Di Damaskus pada masa itu, golongan sufi yang hidup di khankah-khankah dianggap kelompok istimewa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda, dan mampu mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah bisa terkabul. Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Status ini, oleh sebagian sufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan dan kemuliaan hidup dengan saran kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.
Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural non-Islami terhadap Islam yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya, yang pada gilirannya mengkristal dalam bentuk pelbagai aliran dan paham keagamaan, yang dalam  aspek-aspek  tertentu saling bertentangan.
Interdependensi antara penguasa dan para ulama pada masa itu juga membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif untuk pengembangan ilmu, tetapi juga untuk mendapat simpati dari penguasa yang selalu  memantau kemajuan mereka guna direkrut untuk jabatan-jabatan intelektual yang menggiurkan. Tetapi usaha pengembangan ilmu ini diarahkan oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama yaitu mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Mu’tazilah. Memang, filsafat waktu itu tidak hanya menjadi konsumsi kalangan elit intelektual, tetapi sudah menjadi konsumsi umum. Bahkan ada sebagian orang yang sudah menerima kebenaran pemikiran filsafat secara mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama dan pengamalannya. Adapun Mu’tazilah, selain banyak juga menyerap filsafat Yunani, juga merupakan aliran yang secara historis banyak menyengsarakan golongan Ahlussunnah, baik pada masa Dinasti Buwaihi maupun pada masa al-Kunduri (wazir Sulthan Togrel Bek). Karena itu menurut penilaian pihak penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl as-Sunnah, filsafat dan Mu’tazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi dan masa seperti inilah al-Ghazali  lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah.  
D.   Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali
Kehidupan pemikiran periode al-Ghazali  dipenuhi dengan munculnya berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran, disamping munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali . Di antaranya Abu ‘Abdillah al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430 H.) ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di Spanyol, al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh Asy’arisme, dan Hasan as-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah.
Al-Ghazali  menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya  menjadi empat aliran populer, yaitu Mutakallimun, para filosof, al-Ta’lim dan para sufi. Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan al-dzauq (intuisi).
Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali  yang semula memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi – Bisa dilihat dari karya-karyanya sebelum penyerangannya terhadap Filsafat – mengalami keraguan (syak). Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi idealnya, kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab menurut Hadits nabi “ Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya, yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orangtuanya.  Oleh karenanya ia mencari hakekat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali  menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakini kebenarannya.
Bertolak dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, al-Ghazali  menduga bahwa kebenaran hakikat diperoleh dari yang  tergolong al-hisriyat (inderawi) dan al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan aksiomatis). Sebab kedua pengetahuan ini bukan berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya. Ketika ia mengujinya kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan bersalah. Kepercayaan al-Ghazali  terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal.  Seperti pengetahuan aksiomatis yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (Fardhi)  saja, dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual.
Al-Ghazali  kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional. Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi, bahwa pada situasi-situasi tertentu (akhwal ) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mati. Al-Ghazali  menyimpulkan ada situasi normal dimana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan intelektual al-Ghazali  berakhir pada wilayah tasawuf dimana ia meyakini al- dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh melalui nur yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati manusia.
Namun demikian pandangan al-Ghazali  yang bernuansa moral juga tidak terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat kaitannya dengan pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat, al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya,  terutama Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Maskawaih. Definisi jiwa (al-nafs) yang ditulisnya dalam kitab Maarijal Quds dan pembagiannya dalam  jiwa vegetatif, jiwa sensitif, dan jiwa manusia hampir tidak berbeda dengan yang ditulis Ibnu Sina dalam bukunya Al Najal. Kesimpulan ini didukung oleh pernyataannya sendiri  dalam kitab Tahafut al-  Falasifat bahwa yang dipercaya dalam menukil dan mentashkik filsafat Yunani adalah al-Farabi dan Ibnu Sina.
Pandangan al-Ghazali  yang lain yang berkaitan dengan filsafat Yunani melalui filosof muslim adalah tentang pokok-pokok keutamaan. Menurut al-Ghazali  inti keutamaan adalah keseimbangan (al-adl) antara daya yang dimiliki manusia . Inti kebahagiaan menurut al-Ghazali  juga sampainya seseorang pada tingkat kesempurnaan tertinggi yaitu mengetahui hakekat segala sesuatu. Pendapat yang serupa telah dijumpai pada filosof muslim pendahulunya yaitu Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih dan al-Farabi.
Sedangkan metode untuk memperbaiki moral antara lain mempunyai konsep muhasabat al nafs menjelang tidur pada setiap hari, dan dalam beberapa hal ia menganjurkan taubikh al nafs (mencerca diri). konsep  koreksi diri ternyata dijumpai dalam Pythgorisme, dan konsep mencerca diri ternyata ditemukan dalam Hermetisme. Sumber lain yang turut memberikan sumbangan pemikiran adalah para sufi. Diantaranya adalah Abu Thalib al-Makki, al Junaid al-Baghdadi, Al Sybli Abu Yazid al- Busthomi dan al Muhasibi.
Pandangan tasawuf yang didasarkan dari mereka adalah penempatan al-dzauq diatas akal. Ini diikuti dalam sikapnya membentuk kesempurnaan diri dengan menggunakan al-faqir (kemiskinan), al-ju’(lapar), al-khumil (lemah), al-tawakul (berserah diri) sebagai keutamaan dan tingkat ini harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan tertinggi manusia. Dari berbagai hal diatas inilah pandangan dan konstruk pemikiran al-Ghazali  terbentuk.
E.    Karya-Karya Ilmiah
Imam al-Ghazali  adalah seorang penulis yang produktif, ia meninggalkan kita warisan keilmuan yang tiada tara harganya. Disebutkan, ia menyusun kurang lebih 228 karya. Karya-karyanya tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu terutama dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan sejarah.
Adapun karya-karya Imam Al-Ghazali yang telah ditulisnya dalam berbagai disiplin ilmu antara lain:
Ø  Bidang Akhlak dan Tasawuf
a)      Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama)
b)      Minhaj al-‘Abidin (Jalan Orang-orang Yang Beribadah)
c)      Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)
d)     Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan)
e)      Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak Orang-orang yang Baik dan Keselamatan dari Kejahatan)
f)       Misykah al-Anwar (Sumber Cahaya)
g)      Asrar ‘Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama)
h)      Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang Megah dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat)
i)        Al-Qurbah ila Allah ‘Azza wa Jalla (Mendekatkan Diri kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung)
j)        Adab al-Sufiyah.
k)      Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku)
l)        Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaan)
m)    Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang Soal-soal Batin)
Ø  Bidang Fiqh
a)      Al-Basit (Yang Sederhana)
b)      Al-Wasit (Yang Pertengahan)
c)      Al-Wajiz (Yang Ringkas)
d)     Al-Zari’ah ila Makarim al-Syari’ah (Jalan Menuju Syari’at yang Mulia)
e)      Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (Batang Logam Mulia: Uraian tentang Nasihat kepada Para Raja)
Ø  Bidang Ushul Fiqh
a)    Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (Pilihan yang Tersaring dari Noda-noda Ushul Fiqh)
b)   Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil (Obat Orang yang Dengki: Penjelasan tentang Hal-hal yang Samar serta Cara-cara Pengilhatan)
c)    Tahzib al-Ushul (Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh)
d)   Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh)
e)    Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i.
f)    Kitab Asas al-Qiyas.
Ø  Bidang Filsafat dan Logika
a)    Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf)
b)   Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf)
c)    Mizan al-‘Amal (Timbangan Amal)
d)   Mi’yar al-‘Ilm fi al-Mantiq.
Ø  Bidang Teologi dan Ilmu Kalam
a)    Al-Iqtisad fi al-I’tiqad (Kesederhanaan dalam Beritikad)
b)   Fais}al at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara Islam dan Kezindikan)
c)    Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang Lurus)
d)   Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.
Ø  Bidang Ilmu al-Qur’an
a)    Jawahir al-Qur’an (Mutiara-Mutiara al-Qur’an)
b)   Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata Takwil dalam Menafsirkan al-Qur’an). 
  Ø  Bidang Politik
a)    Al-Mustazhiri, nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan Pemerintah Mustazhir yang Legal)
b)   Fatihat al-‘Ulum (Pembuka Pengetahuan)
c)    Suluk as-Sulthaniyah (Cara Menjalankan Pemerintahan).

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com