BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Al-Ghazali dan Lingkungan Keluarganya
Al-Ghazali
dikenal sebagai seorang teolog Muslim, ahli pendidikan, dan sufi abad
pertengahan. Lahir pada 1058 M/450 H di desa Ghazalah, di Thus (sekarang dekat Meshed ), sebuah kota di Persia . Sekarang daerah tersebut
termasuk dalam propinsi Khurasan ,
Iran . Ia
meninggal dunia di kampung halamannya, Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil
Akhir tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan dimakamkan di
Thaburan, wilayah Thus.)
Imam al-Ghazali ,) nama lengkapnya adalah
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih
dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja.
Al-Ghazali juga populer dengan
sebutan Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama), al-Faqih
asy-Syafi’i, dan Bahrun Mugriq. Ia juga dijuluki the Spinner
yang berarti pemintal atau penenun.
Al-Ghazali
hidup pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah II. Ia lahir di tengah-tengah
keluarga yang tinggi religiusitasnya. Ayahnya, Muhammad, adalah seorang penenun
dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di Thus, di luar
kesibukannya, ia senantiasa menghadiri majelis-majelis pengajian yang
diselenggarakan para ulama. Al-Ghazali
juga mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu al-Futuh Ahmad
bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-Ghazali yang dikenal dengan julukan Majduddin (w.
520). Kondisi keluarga yang religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama
besar. Hanya saja saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding
al-Ghazali yang menjadi penulis dan
pemikir. Ayah al-Ghazali
adalah seorang pencinta ilmu, bercita-cita tinggi, dan seorang muslim
yang saleh yang selalu taat menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak
memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya
tercapai. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali
dan saudaranya, Ahmad masih kecil. Margaret Smith mencatat
bahwa ibu al-Ghazali masih hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan saudaranya Ahmad sudah
menjadi terkenal.
Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya
menggemari pola hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera
tiba, dia sempat berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad
bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk
memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, Yaitu Muhammad dan Ahmad,
dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta
tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya tambahan. Maka
al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke
sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan.
Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya.
Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali adalah salah seorang pemikir besar Islam dan
filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah seorang pribadi yang memiliki
berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali adalah
pakar ilmu syari’ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai
ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf, Akhlak, dan
sebagainya. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali telah menulisnya secara mendalam, murni dan
bernilai tinggi.
Banyak tokoh yang mengungkapkan pujian dan
kekagumannya pada al-Ghazali. Imamal-Haramain (seorang mantan gurunya)
misalnya, ia berkata “Al-Ghazali adalah
lautan tanpa tepi”. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam Muhammad bin
Yahya berkata, “Imam Al-Ghazali adalah
asy-Syafi’i kedua”. Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama
sezamannya, yaitu Abu al-Hasan ‘Abdul Ghafir al-Farisiy, beliau mengatakan,
“Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum Muslimin, imam dari
para imam agama, pribadi yang tidak
pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya,
ucapannya, kecerdasan maupun tabiatnya.”
B. Pendidikan dan Karier Intelektual Imam
Al-Ghazali
Pendidikan al-Ghazali
di masa anak-anak berlangsung dikampung halamannya. Setelah ayahnya
meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani
at-Thusi, seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka.
Dan kepadanyalah kali pertama al-Ghazali
mempelajari Fiqh. Namun setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi
mengasuh mereka, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus.
Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung
halamannya, ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan
Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh dengan berguru kepada
seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma’il bin Mus’idah al-Isma’iliy atau
yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-Isma’iliy.
Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali yang telah berusia 20 tahun berangkat lagi ke
Nisabur pada tahun 470 H. untuk belajar kepada salah seorang ulama Asy’ariyyah,
yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dan mengikutinya sampai
gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478 H. Al-Juwaini lebih
dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali
belajar kepadanya dalam bidang Fiqh, ilmu debat, Mantiq, Filsafat, dan
ilmu kalam. Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali dengan bekal kecakapan dan kecerdasannya
menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin pada madrasah yang didirikan Imam
al-Haramain di Nisabur.
Disamping itu, al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi,
yaitu ImamYusuf al-Nasaj dan Imam Abu ‘Ali al-Fadl bin Muhammad bin ‘Ali
al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti
Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al-Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin ‘Ali
bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad al-Khuwariy,
Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i al-Zauzani, al-Hafiz Abu al-Fityan
‘Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi al-Dahistaniy, dan Nasr bin Ibrahim
al-Maqdisi.
Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi tempat kediaman seorang wazir
(menteri) pada masa pemerintah Sultan ‘Adud ad-Daulah Alp Arselan (455
H/1063M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465 H/1072 M-485 H/1092
M) dari Dinasti Salajiqah di al-‘Askar, sebuah kota di Persia . Wazir tersebut bernama
Nizam al-Mulk. Wazir kagum atas pandangan-pandangan al-Ghazali sehingga al-Ghazali diminta untuk mengajar Fiqh asy-Syafi’iyah
di perguruannya, Nizham al-Mulk, di Baghdad, yang lebih dikenal dengan perguruan
atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali
mengajar di Baghdad
pada tahun 484 H/1091 M. Pada saat inilah al-Ghazali yang pada waktu itu berusia 34 tahun
memperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai puncak kariernya yang
ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda.
Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar di Baghdad . Kemudian ia meninggalkan Baghdad menuju Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488 H. setelah ia
mewakilkan tugasnya kepada saudaranya, dan terus melanjutkan perjalanan ke
Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin,
meninggalkan kemewahan, dan menyucikan diri dari dosa selama kurang dari 2
tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun 490 H/1098 M. dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis,
Palestina, dan melanjutkan perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan
maksud untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun.
Namun sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali mendengar kabar kematian Amir tersebut. Lantas
ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur menuju tanah suci Mekkah dan
Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan diangkat oleh Fakhr al-Mulk
(putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari Gubernur Khurasan, Sanjar yang
merupakan salah seorang putra Malik Syah, sebagai Presiden dari perguruan di
Nisabur pada tahun 1105. Tidak lama di Nisabur, kemudian ia kembali
ke Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari teologi, tasawuf, serta madrasah
fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya setelah
mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah
memperoleh kebenaran yang sejati.
C. Latar
Belakang Sosial Politik
1.
Situasi
Politik
Islam dalam
perjalanan sejarahnya tidak lepas dari kehidupan politik yang tidak jarang
menumbuhkan benih-benih konflik baik internal maupun eksternal. Benih-benih
konflik yang terjadi di kalangan umat Islam telah muncul secara jelas sejak
masa Khalifah ‘Usman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang
berselisih dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan pada saat inilah maka umat
Islam berselisih dalam dua medan :
Imamah (politik) dan Ushul (teologi). Dalam medan politik
muncul partai dan aliran Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah serta lahir Daulat
Umawiyah yang berpusat di Damaskus (40-132 H) kemudian Daulat ‘Abbasiyah di
Baghdad (132-656 H), disamping sisa Daulat Umawiyah di Spanyol (138-403 H),
yang di masa Al-Ghazali sudah
terkeping-keping menjadi kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Tawa’if), dan Daulat Fathimiyyah/Isma’iliyyah di Mesir
(297-567 H) yang hal tersebut menandakan adanya pergeseran doktrin politik
Islam yang hakiki kepada monarkisme yang secara umum lebih mencerminkan
nepotisme dan ambisi duniawi dan diwarnai oleh konflik-konflik politik
berkepanjangan.
Tetapi umat Islam
sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” (‘Am
al-Jama’ah) yang dipelopori oleh al-Hasan bin ‘Ali, Ibn ‘Abbas, dan Ibn ‘Umar,
tidak terbawa hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari
pentas politik praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal
ini membawa ekses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu
“Ulama” dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh
kemurnian Islam dan obyektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu dan
dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang
kemudian disebut Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang salah satu tokohnya adalah
al-Ghazali.
Sepanjang
perjalanan Daulat ‘Abbasiyah kompetisi dan konflik berlangsung antara Bani
‘Abbas dan Syi’ah-Mu’tazilah yang lebih dominan disebabkan oleh perbedaan faham
dan ideologi. Bahkan, krisis politik Dinasti ‘Abbasiyah yang sangat kompleks
ini memaksa jatuhnya otoritas eksklusif Kekhalifahan ‘Abbasiyah ke tangan
sultan-sultan yang membagi wilayah ‘Abbasiyah menjadi beberapa daerah
kesultanan yang independen. Diantaranya adalah Dinasti Saljuk yang didirikan
oleh Togrel Bek (1037-1063 M) hingga akhirnya dapat menguasai kota Baghdad
pada tahun 1055 M., tiga tahun sebelum al-Ghazali lahir, sekaligus menandai berakhirnya
kekuasaan Bani Buwaihi yang sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055
M).
Maka sejak saat
itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang Sunni dengan corak
keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti Saljuk inilah terutama sejak
dipegang oleh Sultan Alp Arselan lalu Malik Syah dengan wazirnya yang masyhur,
Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya kembali. Namun pada masa
Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari adanya konflik-konflik yang
dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran keislaman.
Faktor eksternal
yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti ‘Abbasiyah adalah kondisi Dinasti Fathimiy
yang menganut Syi’ah Isma’iliyyah di Mesir yang sedang mengalami kemerosotan
menuju keruntuhannya baik karena krisis ekonomi, politik internal maupun karena
desakan negara-negara Murabithin yang Sunny-Maliky di Afrika Utara hingga
sebagian Sudan dan berafiliasi ke ‘Abbasiyah. Sedang ‘Abbasiyah pusat sendiri
terus menerus mendesak dari arah Timur dan Utara. Dengan sendirinya Isma’iliy
Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569 H) ikut menyusut.
Namun sepeninggal
Malik Syah dan Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah berubah drastis, yang akan diikuti
oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-Ghazali. Merosotnya otoritas
pemerintah disebabkan oleh adanya konflik/perang saudara yang berkepanjangan di
kalangan istana (internal). Keadaan ini diperparah lagi dengan bangkitnya kaum
Bathiniyyah/Isma’iliyyah/Ta’limiyyah di Timur yang melancarkan teror-teror
sehingga memakan korban, diantaranya adalah Wazir Nizham al-Mulk.
Dalam situasi
seperti ini dunia Kristen Eropa melancarkan Perang Salib di Timur, sehingga
mereka berhasil mengguncang Syria
dan mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia,
Tarabils, dan Ruha sejak tahun 490 H/1098 M.
Sementara itu
al-Ghazali masih berkhalwat mencari ’ilmu yaqini di Syam dan sekitarnya. Ia
sendiri menilai masa ini sebagai masa fathrah
(vacum dari pembimbing keagamaan), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga
perlu dilakukan pembaharuan (tajdid)
atau “menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (Ihya’ ‘Ulum ad-Din). Dapat disimpulkan, pada saat itu al-Ghazali hidup dalam suasana dan kondisi Islam yang
sudah menunjukkan kemerosotan dan kemunduran dalam beberapa aspeknya.
2.
Situasi
Ilmiah dan Sosial Keagamaan
Pada masa
al-Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi
di bidang politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial kegamaan. Umat Islam
ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh
ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme kepada umat. Dan terkadang,
hal itu juga dilakukan pula oleh pihak penguasa.
Fanatisme yang
berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik antar golongan mazhab dan
aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai wilayah penganutnya. Di Khurasan
mayoritas penduduk bermazhab Syafi’i, di Transoksiana didominasi oleh mazhab
Hanafi, di Isfahan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanbali, di Balkan
mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanafi. Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak,
mazhab Hanbali lebih dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab
yang satu mengkafirkan mazhab yang lain, seperti antara mazhab Syafi’i dengan
mazhab Hanbali. Konflik terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy’arisme dengan
Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu’tazilah, antara Hanabilah dengan Syi’ah
dan antara aliran-aliran yang lain.
Pada tahun 469 H.
terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”, yaitu konflik fisik
antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah, karena pihak pertama menuduh pihak
kedua berpaham “tajsim”; dan konflik
ini meminta korban seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula
konflik antara golongan Hanabilah dengan Syi’ah; dan dua tahun kemudian terjadi
pula konflik antara Hanabilah dan Asy’arisme.
Penanaman
fanatisme mazhab dan aliran dalam masyarakat tersebut juga banyak melibatkan
para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama yang menempati strata
tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, di bawah status para penguasa.
Hal ini karena adanya interdependensi
antara penguasa dan ulama. Dengan peran ulama, para penguasa bisa memperoleh
semacam legitimasi terhadap kekuasaannya di mata umat; sebaliknya dengan peran
penguasa, para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan
hidup. Karena itu para ulama
berlomba-lomba mendekati para penguasa, dan begitu pula sebaliknya. Di samping
itu ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di Khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas.
Di Damaskus pada masa itu, golongan sufi yang hidup di khankah-khankah dianggap kelompok istimewa. Mereka dianggap sebagai
orang-orang yang tidak menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda,
dan mampu mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah bisa
terkabul. Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Status ini,
oleh sebagian sufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan dan kemuliaan hidup
dengan saran kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.
Konflik sosial
yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Ghazali yang bersumber dari
perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya
pelbagai pengaruh kultural non-Islami terhadap Islam yang sudah ada sejak
beberapa abad sebelumnya, yang pada gilirannya mengkristal dalam bentuk
pelbagai aliran dan paham keagamaan, yang dalam
aspek-aspek tertentu saling
bertentangan.
Interdependensi antara penguasa dan para ulama pada masa itu juga
membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para
ulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif
untuk pengembangan ilmu, tetapi juga untuk mendapat simpati dari penguasa yang
selalu memantau kemajuan mereka guna
direkrut untuk jabatan-jabatan intelektual yang menggiurkan. Tetapi usaha
pengembangan ilmu ini diarahkan oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama
yaitu mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Mu’tazilah. Memang, filsafat waktu itu tidak hanya menjadi
konsumsi kalangan elit intelektual, tetapi sudah menjadi konsumsi umum. Bahkan
ada sebagian orang yang sudah menerima kebenaran pemikiran filsafat secara
mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama dan pengamalannya. Adapun
Mu’tazilah, selain banyak juga menyerap filsafat Yunani, juga merupakan aliran
yang secara historis banyak menyengsarakan golongan Ahlussunnah, baik pada masa
Dinasti Buwaihi maupun pada masa al-Kunduri (wazir Sulthan Togrel Bek). Karena
itu menurut penilaian pihak penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl
as-Sunnah, filsafat dan Mu’tazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi
bersama. Dalam situasi dan masa seperti inilah al-Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir
yang terkemuka dalam sejarah.
D.
Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali
Kehidupan
pemikiran periode al-Ghazali dipenuhi
dengan munculnya berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran, disamping
munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali . Di antaranya Abu
‘Abdillah al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415
H.) tokoh Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn
al-Haitam (w. 430 H.) ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh
salafisme di Spanyol, al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya
tokoh Asy’arisme, dan Hasan as-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah.
Al-Ghazali menggolongkan berbagai pemikiran pada
masanya menjadi empat aliran populer,
yaitu Mutakallimun, para filosof, al-Ta’lim dan para sufi. Dua aliran yang
pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun terdapat perbedaan
yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya. Golongan yang ketiga
menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan al-dzauq (intuisi).
Dengan latar
belakang tersebut al-Ghazali yang semula
memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi – Bisa dilihat dari
karya-karyanya sebelum penyerangannya terhadap Filsafat – mengalami keraguan
(syak). Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal
dalam pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi
idealnya, kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab menurut Hadits nabi “ Setiap anak
dilahirkan atas dasar fithrahnya, yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani,
atau Majusi adalah kedua orangtuanya. Oleh karenanya ia mencari hakekat al- Fithrah al- Ashliyat yang
menyebabkan keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari
sinilah al-Ghazali menyimpulkan bahwa ia
harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakini kebenarannya.
Bertolak dari
pengetahuan yang selama ini ia kuasai, al-Ghazali menduga bahwa kebenaran hakikat diperoleh
dari yang tergolong al-hisriyat (inderawi) dan al-dharuriyat
(yang bersifat apriori dan aksiomatis). Sebab kedua pengetahuan ini bukan
berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya. Ketika ia mengujinya
kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan
bersalah. Kepercayaan al-Ghazali
terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa yang menjadi dasar
kepercayaan pada akal. Seperti
pengetahuan aksiomatis yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus
membuktikan sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat
menggunakan kesimpulan hipotesis (Fardhi) saja, dan tidak sanggup membuktikan
pengetahuan secara faktual.
Al-Ghazali kemudian menduga adanya pengetahuan supra
rasional. Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi,
bahwa pada situasi-situasi tertentu (akhwal ) mereka melihat hal-hal yang tidak
sesuai dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar
(intabahu) dari tidurnya sesudah mati. Al-Ghazali menyimpulkan ada situasi normal dimana
kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan intelektual
al-Ghazali berakhir pada wilayah tasawuf
dimana ia meyakini al- dzauq (intuisi)
lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap pengetahuan yang
betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh melalui nur yang
dilimpahkan Tuhan kedalam hati manusia.
Namun demikian
pandangan al-Ghazali yang bernuansa
moral juga tidak terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat
kaitannya dengan pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat,
al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya, terutama Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu
Maskawaih. Definisi jiwa (al-nafs) yang
ditulisnya dalam kitab Maarijal Quds
dan pembagiannya dalam jiwa vegetatif,
jiwa sensitif, dan jiwa manusia hampir tidak berbeda dengan yang ditulis Ibnu
Sina dalam bukunya Al Najal. Kesimpulan ini didukung oleh pernyataannya
sendiri dalam kitab Tahafut al- Falasifat bahwa
yang dipercaya dalam menukil dan mentashkik filsafat Yunani adalah al-Farabi
dan Ibnu Sina.
Pandangan
al-Ghazali yang lain yang berkaitan
dengan filsafat Yunani melalui filosof muslim adalah tentang pokok-pokok
keutamaan. Menurut al-Ghazali inti
keutamaan adalah keseimbangan (al-adl)
antara daya yang dimiliki manusia . Inti kebahagiaan menurut al-Ghazali juga sampainya seseorang pada tingkat
kesempurnaan tertinggi yaitu mengetahui hakekat segala sesuatu. Pendapat yang
serupa telah dijumpai pada filosof muslim pendahulunya yaitu Ibnu Sina, Ibnu
Maskawaih dan al-Farabi.
Sedangkan metode
untuk memperbaiki moral antara lain mempunyai konsep muhasabat al nafs
menjelang tidur pada setiap hari, dan dalam beberapa hal ia menganjurkan
taubikh al nafs (mencerca diri). konsep
koreksi diri ternyata dijumpai dalam Pythgorisme, dan konsep mencerca
diri ternyata ditemukan dalam Hermetisme. Sumber lain yang turut memberikan
sumbangan pemikiran adalah para sufi. Diantaranya adalah Abu Thalib al-Makki,
al Junaid al-Baghdadi, Al Sybli Abu Yazid al- Busthomi dan al Muhasibi.
Pandangan tasawuf
yang didasarkan dari mereka adalah penempatan al-dzauq diatas akal. Ini diikuti dalam sikapnya membentuk
kesempurnaan diri dengan menggunakan al-faqir
(kemiskinan), al-ju’(lapar), al-khumil (lemah), al-tawakul (berserah diri) sebagai keutamaan dan tingkat ini harus
dilalui untuk mencapai kesempurnaan tertinggi manusia. Dari berbagai hal diatas
inilah pandangan dan konstruk pemikiran al-Ghazali terbentuk.
E.
Karya-Karya Ilmiah
Imam
al-Ghazali adalah seorang penulis yang
produktif, ia meninggalkan kita warisan keilmuan yang tiada tara
harganya. Disebutkan, ia menyusun kurang lebih 228 karya. Karya-karyanya
tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu terutama dalam bidang agama,
filsafat, tasawuf, dan sejarah.
Adapun karya-karya
Imam Al-Ghazali yang telah ditulisnya dalam berbagai disiplin ilmu antara lain:
Ø Bidang Akhlak dan Tasawuf
a) Ihya’
‘Ulum al-Din (Menghidupkan
Ilmu-ilmu Agama)
b) Minhaj
al-‘Abidin (Jalan Orang-orang
Yang Beribadah)
c) Kimiya
al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)
d) Al-Munqiz
min al-Dhalal (Penyelamat dari
Kesesatan)
e) Akhlaq
al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak Orang-orang yang Baik dan Keselamatan dari Kejahatan)
f) Misykah
al-Anwar (Sumber Cahaya)
g) Asrar
‘Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama)
h) Al-Durar
al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang Megah dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat)
i)
Al-Qurbah ila Allah ‘Azza wa Jalla (Mendekatkan Diri kepada Allah Yang Maha Mulia
dan Maha Agung)
j)
Adab al-Sufiyah.
k) Ayyuha
al-Walad (Wahai Anakku)
l)
Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaan)
m) Al-Risalah
al-Laduniyah (Risalah tentang
Soal-soal Batin)
Ø Bidang Fiqh
a) Al-Basit (Yang Sederhana)
b) Al-Wasit (Yang Pertengahan)
c) Al-Wajiz (Yang Ringkas)
d) Al-Zari’ah
ila Makarim al-Syari’ah (Jalan
Menuju Syari’at yang Mulia)
e) Al-Tibr
al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk
(Batang Logam Mulia: Uraian tentang Nasihat kepada Para Raja)
Ø Bidang Ushul Fiqh
a) Al-Mankhul
min Ta’liqat al-Ushul (Pilihan
yang Tersaring dari Noda-noda Ushul Fiqh)
b) Syifa
al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil (Obat Orang yang Dengki: Penjelasan tentang
Hal-hal yang Samar serta Cara-cara
Pengilhatan)
c) Tahzib
al-Ushul (Elaborasi terhadap
Ilmu Ushul Fiqh)
d) Al-Mustashfa
min ‘Ilm al-Ushul (Pilihan dari
Ilmu Usul Fiqh)
e) Al-Wajiz
fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i.
f) Kitab
Asas al-Qiyas.
Ø Bidang Filsafat dan Logika
a) Maqasid
al-Falasifah (Tujuan Para
Filsuf)
b) Tahafut
al-Falasifah (Kekacauan Para
Filsuf)
c) Mizan
al-‘Amal (Timbangan Amal)
d) Mi’yar
al-‘Ilm fi al-Mantiq.
Ø Bidang Teologi dan Ilmu Kalam
a) Al-Iqtisad
fi al-I’tiqad (Kesederhanaan
dalam Beritikad)
b) Fais}al
at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara Islam dan Kezindikan)
c) Al-Qisthas
al-Mustaqim (Timbangan yang
Lurus)
d) Iljam
al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.
Ø Bidang Ilmu al-Qur’an
a) Jawahir
al-Qur’an (Mutiara-Mutiara
al-Qur’an)
b) Yaqut
at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil
(Permata Takwil dalam Menafsirkan al-Qur’an).
Ø Bidang Politik
a) Al-Mustazhiri, nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan
Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan Pemerintah Mustazhir yang Legal)
b) Fatihat
al-‘Ulum (Pembuka Pengetahuan)
c) Suluk
as-Sulthaniyah (Cara Menjalankan
Pemerintahan).
0 comments:
Post a Comment