PEMIKIRAN TASAWUF
A.
Realitas Kausalitas
Tuhan dan dunia tidak merupakan dua hakekat yang
sesungguhnya terpisah dan yang ada diluar yang lain, melainkan bahwa Tuhan
sendiri merupakan segala-galanya, sedangkan segalanya itu modus, partisipasi
dalam ketuhanan. Ia
tinggal dalam segalanya, segalanya itu bukan Tuhan, melainkan bersifat Ilahi.
Dunia terlebur dalam Tuhan, dunia merupakan bagian dari hakekat-Nya.
Adanya
dunia ini mustahil tanpa adanya penggerak pertama, sebab musabab pertama yang
mutlak ada, pengatur tertinggi yang kita namakan Tuhan.
Tuhan
dalam mengatur memiliki dua macam sifat pengaturan yaitu yang bersifat
spiritual (rohaniah) dan material. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam
surat Al-A’raf ayat 54 :
ااِنَّ
رَبَّكُمُ الله ُ الّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَتِ وَاْلاَرْضَ فِي سِتَةِ اَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى اْلعَرْشِ
Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu dia bersemayam di atas ‘arsy ……
Menciptakan
dalam ayat di atas menunjuk pada
penciptaan alam fisikal, sedangkan potongan kelanjutan ayatnya yaitu :
اَلاَلَهُ اْلخَلْقُ وَاْلاَمْرُ تَبَرَكَ الله ُ رَبُّ
اْلعَلَمِيْنَ
Ingatlah menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah Maha Suci.
Allah Tuhan semesta alam ……
Memerintahkan dalam potongan ayat ini menunjuk pada dunia spiritual.
Aspek
pengaturan yang berlaku dalam setiap bagian alam maujud (benda, materi)
tidak meragukan bahwa Tuhan alam maujud telah membatasi ilmu-Nya sebelum
alam maujud diciptakan secara menyeluruh dan secara terinci. Alam maujud
(dunia) berjalan dalam dalam tata aturan dengan tidak tetinggal (terlepas) dan
tidak keluar darinya.
Dunia
terus menerus bergantung pada Tuhan yang tidak berdiri di luar alam
ciptaan-Nya, melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya
pemeliharaan-Nya, sehingga Tuhan dan materi abadi bersama, hanya saja Tuhan
bersifat tidak berubah, sedangkan materi dapat berubah. Ada dua esensi yang telah ada sejak
permulaan, yaitu bahwa pelaku tidak melahirkan materi tetapi hanya
menganugerahkan eksistensinya kepada mereka. Oleh sebab itu menurut Ibnu
‘Arabi, bahwa sesungguhnya hanya ada satu zat yang mewujud dalam dirinya
sendiri. Tiada yang benar-benar ada kecuali Tuhan. Segala yang selain-Nya
adalah noneksisten, baik ia berada di dalam atau di luar diri kita dan segala
yang ada di dalam maupun di luar dunia ini. Segala yang disebut realitas tiada
lain adalah realitas dan tidak mungkin ada dua realitas yang dapat sepenuhnya
independen, sebab hal itu akan berarti bahwa ada dua Tuhan.
Abul
Hasan Asy’ari berpendapat bahwa eksistensi Tuhan adalah diri (‘ain) dari
sebuah kesatuan dan bukan sebagai tambahan dari luar dan eksistensi dari
makhluq adalah diri dari esensi itu sendiri.
Teori
emanasi (madzhab syuhudiyyah) menyatakan bahwa Tuhan hadir dimana-mana.
Pengamat memang satu, namun cermin yang memantulkannya amat banyak. Banyaknya
pantulan yang dihasilkan tidak mempengaruhi ke-Esa-an dari (sumber cahaya) yang
dipantulkan oleh banyak cermin. Ia hadir di dalam pantulan yang ada di setiap
cermin.
Penciptaan
baik dunia maupun maupun bentuk-bentuk terbatas, yang ada di dalamnya merupakan
nama lain dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan perbuatan-perbuantan-Nya adalah
pengejawantahan dari sifat-sifat-Nya.
Manusia
adalah abstrolabnyaTuhan. Ditangan
seorang astronom astrolab akan sangat bermanfaat karena siapapun yang
mengetahui dirinya , dia akan mengetahui Tuhannya. Ketika Tuhan membuat
mengetahui dirinya melalui diri orang itu sendiri dia akan mampu menyaksikan
pengejawantahan Tuhan dan keindahan sempurna-Nya saat demi saat dan kedip demi
kedip.
Menyaksikan pengejawantahan
Tuhan dan keindahan sempurna-Nya dilakukan dalam kondisi spritual ma’rifat
yakni pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hati, Tuhan adalah
kebalikannya dan sifat dari orang yang mengenal Allah SWT melalui Nama-Nama
serta Sifat-Sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya
kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, kemudian
menikmati keindahan dekat dengan-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua
keadaannya.
Orang yang mengalami penyaksian (syahadah)
harus menegasikan dunia dan dirinya sendiri sebagai realitas yang terpisah dan
setelah itu meyakini sepenuhnya bahwa keduanya merupakan pengejawantahan wujud
Tuhan karena persetujuan dan pertentangan adalah penyebab adanya dualitas.
Ketika seseorang mencapai dunia dimana tidak ada tempat untuk dualitas dan yang
ada hanyalah persetujuan murni maka dia akan melepaskan kategori persahabatan
dan permusuhan.
Hal di atas adalah suatu pengalaman mistik yang
dialami oleh seseorang yang berjalan untuk mencapai maqam yang tinggi di
sisi Allah SWT. Pengalaman mistik adalah pengalaman menyatu dengan Tuhan atau
jiwa kosmik dengan hanya membukakan kepadanya dalam jiwa sebagaimana pula dalam
alam semesta karena realitas adalah satu, suatu tindakan bergabung
dengan cinta sepanjang hal itu dilakukan tanpa pamrih, dan ia bergabung dengan
pengetahuan sepanjang ia diiringi dengan kesadaran bahwa Tuhan adalah agen atau
pelaku sejati ; hal yang sama yang berlaku bagi penolakan, vocao
deo, yang hanya dapat berasal dari Tuhan dalam pengertian bahwa
kekosongan mistik memperpanjang kekosongan prinsip.
Kemenyatuan dengan gambaran-Nya adalah sebuah
keadaan yang luar biasa, tetapi persatuan dengan yang tercinta diatas
segalanya. Penyatuan yang oleh kalangan sufi dikatakan sebagai Al-Jam’u
yang bisa diartikan sebagai penyatuan kesaksian yang diperoleh dengan pencarian
dalil dengan menggunakan atsar atas pemberi atsar, dengan
menggunakan ciptaan atas pencipta. Semua penciptaan merupakan kesaksian, dalil, dan atsar.
Keseluruhan masalah penciptaan atau manifestasi universal berakar pada
hakekat prinsip Ilahi. Realitas absolut memproyeksikan dunia karena sifat-Nya
yang tak terhingga memerlukannya, yang ingin dikenal melalui, dan di dalam
pemulaan dari relativitas; mengatakan “ciptaan” Nya, bukan Dia “menciptakan”
adalah suatu cara mengekspresikan kemungkinan atau relativitas dunia, dan dalam
pengertian tertentu, melepaskannya dari penyebab transenden. Yang Absolut
adalah realitas tertinggi dalam dirinya sendiri, seperti titik yang tak memuat
apa-apa selain dirinya sendiri, karena ciptan atau manifestasi adalah hakekat
Ilahi; Tuhan tidak dapat mencegah Dirinya sendiri untuk memancarkan, dan karena
itu, untuk memanifesatasikan Dirinya atau mencipta, karena Dia tidak dapat
mengingkari Dirinya yang tak terbatas.
Tuhan
bagaimanapun juga eksis (ada),dan jika kita menempatkan eksistensi kita dekat
pada eksistensi-Nya, kita akan melihat bahwa kita sepenuhnya berasal dari-Nya.
Dengan demikian kita tidak memiliki eksistensi, kita hanya menerima pancaran
eksistensi-Nya.
B. Tinjauan Mengenai Ruang Dan Waktu
Masa
kini merupakan batas antara masa lalu dengan masa mendatang dan ini disebut
barzakh. Barzakh masa kini adalah wahdat.
Waktu
adalah seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan
datang. Waktu adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk
bekerja. Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai
perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain.
Waktu
merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau
merupakan hubungan antara dua peristiwa. Waktu merupakan wadah pembentukan
secara temporal yang di dalamnya ada kejadian.
Esensi
waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat adalah suatu peristiwa
yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Syekh
Abu Ali ad-Daqqaq , “Waktu adalah sesuatu yang anda berada di dalamya. Kalau
anda di dunia, maka waktu anda adalah dunia. Bila di akherat, maka waktu anda
adalah akherat. Ketika anda senang, maka senang itulah waktu anda. Kalau
anda susah, susah itulah waktu anda”. Artinya waktu adalah keadaan yang lebih
menguasai manusia, atau waktu adalah apa yang ada diantara dua masa, lampau dan
mendatang. Sebagaimana
firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam surat
Thaha ayat 40, yaitu :
ثُمَّ جِئْتَ عَلَىَ قَدَرِيَّمُوْسَى
Kemudian
kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa……
Waktu yang
sebenarnya menurut para sufi adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud Allah,
jika orang berjalan dengan membawa makna ini, maka dia tenggelam dalam waktunya,
maka semua waktunya tidak akan terasa. Sufi menyebut dirinya sendiri sebagai
“putra waktu” (ibnu al waqt) yaitu ia ditempatkan dalam kehadiran Tuhan
tanpa ada kemarin dan hari esok, dan kehadiran ini tidak lain adalah refleksi
dari kesatuan; yang satu memproyeksikan diri ke dalam waktu “sekarang” nya
Tuhan, yang berbarengan dengan keabadian. Kekinian (sekarang)nya Ilahi (Tuhan)
adalah titik diam yang dalam dirinya sendiri memuat seluruh gerakan keabadian
tanpa awal, azal, menuju keabadian tanpa akhir, abad, sebagai
yang terbatas; sebab bahkan waktupun akan berakhir, karena segala sesuatu akan
musnah dan hanya kekinian Ilahi yang tetap tinggal. Oleh karena itu
menurut Al-Junayd, waktu itu sangat mulia. Jika ia telah lewat maka tak akan
didapatkan kembali. Waktu adalah diantara apa yang telah berlalu dengan yang
bakal datang.
Waktu yang dikaitkan dengan cakrawala dunia ciptaan
kita adalah tahapan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari dan dimana kita
bertindak, tetapi begitu waktu membawa sang pencari keluar dari dirinya sendiri
dia mengalami waktu antusi, waktu ruhaniah, saat ketika pengertian
normal tidak mempunyai arti lagi.
Orang sufi membagi waktu menjadi empat golongan,
yaitu :
1.
Orang-orang yang bersama waktu lampau.
Hati mereka senantiasa ada dalam ketetapan Allah, karena mereka menyadari bahwa
hukun azaly tidak bisa dirubah oleh usaha hamba.
2.
Orang-orang yang bersama waktu
mendatang. Pikiran mereka hanya tertuju kepada kesudahan urusan mereka, karena
segala urusan dan amal diukur dari kesudahannya.
3.
Orang-orang
yang bersama waktu yang ada. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada
dan hukum-hukumnya, sebagaimana yang mereka katakana, “Orang yang arif ialah
yang menjadi anak waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu
mendatang”.
4.
Orang-orang
yang bersama pemilik waktu, penguasa dan yang menanganinya, yaitu Allah, dan
mereka tidak peduli terhadap waktu itu sendiri.
Orang cerdas
adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar
dalam Ilahi ( ash-shahw ) maka ia tegak mandiri dengan syariat. Apabila
waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat
C.
Tinjauan Mengenai Alam Semesta
Dunia diciptakan dengan membungkus gagasan-gagasan
Ilahi dengan sosok materi. Kosmos dan kekuatannya merupakan kumpulan hukum alam
semesta yang menggambarkan adanya kesatuan dibalik penampilan yang beragam
sehingga dapat dipergunakan dengan sebiak-baiknya dalam menyimpulkan adanya
Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur.
Alam
sebagai keseluruhan, maupun bagian-bagiannya tersusun. Setiap yang tersusun
mesti baru, selalu berubah-ubah dari satu form (bentuk, rupa, surah) kepada
form yang lain, tidak mungkin mempunyai form yang asli, yang azali, dan qadim.
Kalau tidak mempunyai form berarti tidak mempunyai wujud, karena form meliputi
bentuk, volume, timbangan, warna, bau, rasa, dan sebagainya, sehingga form
kehilangan (tidak mempunyai) wujud, sehingga bentuk tidak pernah memiliki
wujudnya sendiri , ia hanyalah
penampakan dari makna yang berada dibalik penampakan wujud luarnya.
Bentuk
adalah penampakan luar, makna adalah hakekat yang tidak terlihat, realitas yang
tersembunyi. Makna, hakekatnya hanya Tuhan yang mengetahui. Masing-masing
bentuk memiliki maknanya sendiri-sendiri di dalam Tuhan.
Bentuk
adalah ruang dan makna adalah tanpa ruang. Keduanya merupakan aspek luar dan
aspek dalam dari realitas tunggal, masing-masing dari keduanya penting sebagai
suatu kesatuan tunggal. Ketika kata “bentuk” diterapkan, ia senantiasa
mengindikasikan akan “makna” yang tersirat dalam pikiran yang berada diseberang
bentuk dan memberinya wujud. Segala penampakan luar berasal dari keragaman
gambaran-gambaran yang tampak. Gambaran yang tercinta adalah realitas yang
tercinta itu sendiri yang berada diseberang bayang-bayang-Nya sendiri yang
lebih nyata dibandingkan dengan realitas dunia.
Unsur-unsur
yang sering menunjuk pada pilar-pilar dunia materi merupakan tujuan-tujuan
dasar ontologis yang diberikan pada dunia oleh sifat-sifat ketuhanan dan
menggambarkan pengejawantahan dari nama-nama-Nya.
Ibnu
Al-‘Arabi memetakan dunia ruhaniah dan menggambarkan strata perwujudan Ilahi
melalui mana esensi Ilahi yang tidak tertembus mengungkapkan diri-Nya sendiri
untuk mengungkapkan konsep ruang waktu yang suci. Wilayah imajinasi (mundus
imajinalis) ditempatkan diantara dunia kerajaan langit dan kerajaan manusia
dimana ia merupakan suatu gudang kemungkinan yang menunggu realisasi dan dapat
dicela oleh ambisi ruhaniah si orang suci.
Tatanan
Ilahiah sama seperti batas-batas ruang waktu yang tak dapat kita bayangkan
mewajibkan kita untuk menerima Yang Tak Terhingga, dan juga fakta bahwa
eksistensi terkecil adalah absolut dalam hubungannya dengan ketiadaan, atau
fakta bahwa hukum-hukum fisika, matematika, dan logika selalu tetap, pada
analisis terakhirnya memberikan kesaksian tentang Tuhan yang absolut dan
membuat kita tidak ada pilihan lain kecuali menerimanya.
D. Hubungan Antara Subjek Dan Objek
Dalam Alam Semesta
Kaum
sufi menyatakan bahwa nafs adalah keinginan, qalbu dengan mengetahui, jiwa
dengan pandangan, pandangan dengan perenungan, dan zat dengan muncul. Zat
muncul, maka kita juga muncul dan semua citra berasal dari kemunculan ini.
Karena zat merenung maka kita juga merenung (zikir). Zat melihat, maka kita
juga melihat (sinar adalah tahap jiwa). Zat mengetahui, maka kita juga
mengetahui (tahap qalbu). Zat berkeinginan, maka kita juga berkeinginan (tahap nafs). Pandangan dan
pengetahuan bukan merupakan bagian-bagian dari jiwa.
Zat memandang diri-Nya di dalam sifat dan ini adalah
iluminasi (tajalli). Sifat bagaikan raksa dalam cermin, kemudian
mewujud melalui iluminasi, sehingga menimbulkan kegandaan (dualitas) yang
mewujudkan dirinya sebagai jiwa. Apabila jiwa melihat dirinya sendiri maka hal tersebut
hanyalah mitsal, dan lapisan pada cermin adalah jasad.
Setiap
orang adalah sebuah miniatur atau mikrokosmos yang merupakan cerminan dari
makrokosmos. Suatu kebenaran universal yang dinamakan hukum alam yang didasarkan
pada akal manusia yang abadi dan universal. Hukum alam mengatur seluruh
manusia, sehingga perbedaan antara ruh dan materi terhapus. Materi adalah
kegelapan yang tidak mempunyai keberadaan yang nyata, sementara itu cahaya
adalah Tuhan.
Kosmos
bergantung sepenuhnya pada Tuhan untuk eksistensi dan realitasnya. Setiap kali
Tuhan menciptakan sesuatu yang bersifat sementara, Dia menciptakan secara
berpasangan sebagai dua benda yang dikaitkan satu sama lain atau berlawanan
satu sama lain. Tuhan esa dalam esensi dan sifat-sifat. Dia tidak dapat
diperbandingkan dengan setiap orang dan terpisah dari segala benda, sebagaimana
firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat
Asy-Syuura ayat 11 :
فَاطِرُ السَّمَوَتِ وَاْلاَرْضِ
جَعَلَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَجًاوَّمِنَ اْلاَنْعَامِ اَزْوَخًا
يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَئٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ
(Dia) menciptakan langit dan
bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan
dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat……
Cara langit dan bumi saling
berhubungan menggambarkan hukum-hukum yang mengatur hubungan-hubungan dalam
segala hal. Ciri yang paling menonjol dari langit dan bumi adalah kenyataan
bahwa mereka dan segala sesuatu yang ada diantara mereka merupakan perangkat
dan kerajaan Tuhan, yang melakukan kontrol mutlak atas mereka. Langit dan bumi
sebagai perwujudan sifat-sifat Ilahi yang saling melengkapi yang tercakup dalam
istilah keagungan dan keindahan.
Mikrokosmis
adalah kejayaan tertinggi dari kosmos, sebab ia mengatur makrokosmos melalui
pengetahuan dan kesadarannya.
Di dalam kosmos,
cahaya dan kegelapan saling membutuhkan dan tidak terpisahkan satu sama lain.
Meskipun cahaya secara inheen terwujud dalam dirinya sendiri – dalam Tuhan – ia
tidak dapat dilihat dikarenakan itensitas perwujudannya. Ini adalah suatu sifat
yang saling melengkapi dan saling membutuhkan. Firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 35 :
اَللهُ نُوْرُ السَّمَوَتِ
وَاْلاَرْضِ مَثَلُ نُوْرِهِ كَمِشْكَوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada)langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara ……
Cahaya-Nya hanya terwujud
dalam sebuah lubang yang tak tembus yang merupakan kegelapan.
Tuhan
dimanifestasikan dalam dunia melalui keajaiban eksistensi, dan jurang antara
partikel debu terkecil dan ketiadaan menjadi absolut. Ia memanifestasikan
ketakterhinggaan-Nya apriori lewat kosmik yang mengandung ruang waktu yang
tidak bisa dibayangkan batas-batasnya lebih dari sekedar multiplisitas dan
keragaman dari kandungannya dan Dia memanifestasikan kesempurnaan-Nya melalui
sifat-sifat makhluk dan benda yang melahirkan kesaksian akan arketip mereka dan
karenanya, Kesempurnaan Ilahi.
Ilmu pengetahuan
adalah seperti kacamata yang tidak memiliki pengelihatannya sendiri, akan
tetapi ada diantara mata dan benda-benda, sehingga pada jalan mistis ini ilmu
pengetahuan tidak ada gunanya, hanya cahaya kearifan, cahaya kepastian yang
dicapai melalui pengetahuan intuitif yang dapat membantu dalam mendekati
rahasia cinta.
Keyakinan dan
ketenangan adalah tujuan fundamental Islam, karena segala sesuatu dimulai
dengan keyakinan, iman kepada Yang Absolut, wujud mutlak, yang memproyeksikan
dan menentukan eksistensi yang “mungkin”.
Keyakinan adalah
menyelamatkan sepanjang ia mulai secara obyektif dan tulus secara subyektif,
yaitu sepanjang obyeknya adalah Yang Absolut dan bukan hanya kontingensi, dan subyeknya adalah hati, bukan hanya pikiran. Ini
adalah esensi dasar manusia yang mengandung keseluruhan keberadaan dan
aktivitasnya; manusia diciptakan untuk meyakini Yang Absolut dan ia menjadi
manusia melalui keyakinannya itu.
Daftar
Pustaka:
Ø Abu
Nashr As-Sarraj, Al-Luma’. Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
Ø Abu
Bakar Al-Jazairi, Pemurnian Akidah. Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Ø Annemarie
Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam., Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Ø Annemarie
Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi. Banduung: Mizan, 1997
Ø Frithjof
Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti. Jakarta: PT.
Raja grafindo Persada, 2002.
Ø Ibnu
Qayyim Al-Jauzy, Madarijus Salikin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Ø Imam
Al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah. Surabaya: Risalah
Gusti, 1997.
Ø Jalaluddin
Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001.
Ø Jostein
Gaarder, Dunia Sophie. Bandung: Mizan, 1996.
Ø Khan
Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana. Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 1996.
Ø M
Quraisy Shihab, Lentera Hati. Bandung: Mizan, 1994.
Ø P.J
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2000.
Ø Syekh
Nadim Al-Jisr, Kisah Mencari Tuhan. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.William
C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi. Yogyakarta: Qalam, 2002.
Ø William
C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi. Yogyakarta: Qalam, 2002.
Ø Zaky
Mubarok Latif, dkk, Akidah Islam. Yogyakarta: UII Press, 1998.
0 comments:
Post a Comment