PEMBERIAN NAFKAH BAGI MANTAN ISTERI
MENURUT HUKUM ISLAM
Sedang menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya “ Ilmu Fiqh” beliau mendefinisikan nafkah berarti “belanja”, maksudnya adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada isteri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka, keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Definisi ini mengandung pengertian bahwa nafkah adalah segala macam kebutuhan hidup manusia bagi kebutuhan pribadinya maupun kebutuhan bagi orang di luar dirinya. Sulaiman Rasyid mendefinisikan nafkah yaitu semua hajat dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempatnya, sehingga tidak dibatasi apakah mesti pokok, tidak pokok, atau pun kebutuhan pelengkap, sebab kewajiban nafkah menurut beliau yang dimaksud tidak terbatas pada kebutuhan pokok, sehingga jika masing-masing yang memiliki hak nafkah dan kewajiban nafkah kebutuhan-kebutuhan pokoknya, sudah terpenuhi, tetap terkena kewajiban memenuhi kebutuhan meskipun kebutuhan itu tidak pokok, artinya kebutuhan itu tergantung (Fleksibel) sesuai dengan keadaan dan tempatnya.
Menurut hukum Islam nafkah dibagi secara global menjadi dua macam Pertama: nafkah untuk dirinya sendiri yakni kewajiban seorang manusia untuk memikul beban tanggung jawab dalam rangka memenuhi kebutuhannya sendiri, untuk kesejahteraan jasmani, dan rohaninya sendiri. Kedua: nafkah untuk orang di luar diri, tentu saja dalam hal ini adalah anak isteri orang tuanya dan berbagai macam tanggung jawab nafkah bagi orang-orang di luar diri manusia itu sendiri.
Sedang pengertian nafkah dalam perceraian sebagaimana terdapat dalam tafsir as-Sabuni, bahwa nafkah itu diartikan sebagi mut'ah, yang berarti pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik itu berupa uang, pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya itu serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkannya itu.
Dalam hal ini nafkah (mut'ah) juga diartikan sebagai penghibur, nafkah sesuai dengan kemampuannya sebagaimana telah tersebut dalam firman Allah:
Inti dari ayat tersebut merupakan perwujudan mendapatkan persesuaian kepada hukum Islam dalam hal ini nafkah setelah nafkah ‘iddah habis. Mut’ah juga berarti sesuatu yang dengannya dapat diperoleh suatu (beberapa) manfaat atau kesenangan. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pemberian mut’ah seorang suami terhadap isteri yang telah diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan isteri tersebut, dan juga untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan kekhawatiran terhadap penghinaan kaum pria terhadapnya.
B. Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Nafkah
Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri.
Jumhur Ulama sepakat bahwa ayat di atas merupakan dasar hukum dari kewajiban pemberian nafkah terhadap isteri baik yang ditalak maupun yang isteri yang sedang menyusui karena lafaz liyunfiq (menggunakan huruf lam amar (perintah).”
Al-Qur’an surat at-Talak (65): ayat 6 tersebut menjadi landasan hukum kewajiban nafkah berupa tempat tinggal dan nafkah terhadap isteri yang hamil dan telah ditalak, maka kewajiban nafkah sampai isteri tersebut melahirkan.
Tidak ada suatu kewajiban bagi suami untuk membayar sesuatu baik berupa mahar atau lainnya ketika mentalak isterinya sebelum menggauli mereka dan sebelum ditetapkan mahar untuk mereka. Jika telah menggauli maka wajib untuk membayar mahar selengkapnya sesuai dengan ketentuan yang telah diputuskan, jika belum ditetapkan maka wajib membayar mahar yang sepantasnya. Apabila telah dijatuhkan talak sebelum digauli, sedangkan mahar telah ditentukan maka wajib membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan. Berilah wanita-wanita yang ditalak sebahagian dari harta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam hal ini Allah SWT tidak menentukan jumlah atau ukuran yang tetap, tetapi sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Jika talak itu terjadi sebelum suami menyetubuhi isterinya sedangkan ia telah menentukan maharnya maka isteri mendapatkan separo dari mahar tersebut dan sisanya dikembalikan kepada suaminya, kecuali jika isteri yang ditalak memaafkan suaminya dengan tidak mengambil separo atau sebahagian dari mahar, atau jika suami memaafkan isterinya dengan tidak mengambil kembali separo maharnya sebagai tanda mata untuk isterinya yang dicerai.
Orang-orang yang akan meninggal dunia hendaknya membuat wasiat untuk isteri-isteri mereka yang akan ditinggalkannya. Yakni untuk menciptakan kesenangan mereka selama satu tahun, dan selama waktu itu isteri-isteri yang ditinggalkan dibolehkan untuk tinggal di rumah suaminya yang telah meninggal selama setahun penuh. Dalam masa itu sang isteri tidak boleh dikeluarkan dari rumah suaminya, untuk mengenang suaminya yang telah tiada. Jika atas kemauannya sendiri untuk keluar dari rumah suaminya maka bagi para penerima wasiat tidak berdosa atas kepergian isteri-isteri itu selama mempunyai tujuan yang baik.
Mut’ah atau pemberian untuk penghibur dari seorang suami kepada isteri yang telah diceraikan itu diwajibkan, jika isteri yang diceraikan itu belum disetubuhi, jika sudah disetubuhi maka pemberian itu hukumnya sunnah, pemberian itu diberikan untuk menghilangkan perasaan dendam antara mereka.
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa jika terjadi perceraian antara seorang mukmin dan isterinya belum pernah dicampuri maka perempuan yang telah diceraikan itu tidak mempunyai masa ‘iddah dan perempuan itu langsung bisa kawin lagi dengan laki-laki lain, mantan suami yang menceraikan itu hendaklah memberikan mut’ah, yaitu suatu pemberian untuk menghibur dan menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampurinya itu besar kecilnya mu’tah itu tergantung kesanggupan suami.
Apabila diperhatikan jika perempuan itu harus meninggalkan rumahnya maka cara mengeluarkannya hendaklah dengan sopan santun sehingga tidak menyebabkan sakit hatinya, dan kepadanya harus diberikan ongkos dan bekal yang wajar, sehingga pemberian itu benar-benar merupakan hiburan yang meringankan penderitaan hatinya akibat perceraian itu.
C. Hukum Pemberian Nafkah Bagi Mantan Isteri
Para fuqaha berbeda pendapat, ada Fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut’ah) itu wajib diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah sempat berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau belum, dan juga kepada isteri yang telah diceraikan sebelum sempat dicampurinya apabila maharnya telah ditentukan. Hasan Basri berpendapat bahwa mut’ah itu wajib, hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2): 241. Persolan mut’ah juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain pasal 158, yang menyatakan Mut’ah wajib diberikan oleh mantan suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul. b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Biaya penghidupan juga diatur dalam hukum positif di Indonesia yaitu yang berlaku di Pengadilan termuat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan pasal 41 c, yang berbunyi: Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan isteri.
Sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i, diwajibkan untuk setiap isteri yang diceraikan, jika putusan perkawinan datang dari pihak suami, fuqaha Dahiri juga sependapat dengan hal ini, Imam asy-Syafi’i memberikan pengecualian bagi isteri yang telah ditentukan mahar untuknya dan dicerai sebelum digauli, jumhur ulama juga memegangi pendapat ini.
Imam Malik berpendapat sebaliknya, hukum memberikan mut’ah hanya dianjurkan (mustasab) dan tidak wajib untuk semua wanita yang ditalak, sedangkan maskawin belum ditetapkan dan dianjurkan bagi wanita yang ditalak dan maskawin telah ditentukan.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku I Hukum Perkawinan Bab XVII pasal 149 (a) pasal 158 yang berbunyi:
وللمطلّقت
متع بالمعروف حقّا علي المتّقين
أسكنوهنّ
من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضارّوهنّّ لتضيّقوا عليهنّ وإن كنّ أولات حمل فأنفقوا عليهنّ حتّي يضعن حملهنّ فإن أرضعن لكم فأتوهنّ
أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى لينفق
دوسعة من سعته
ومن
قدر عليه رزقه فلينفق ممّا أته الله لايكلّف الله نفسا إلاّ ماأتها سيجعل الله بعد
عسر يسرا
لا
جناح عليكم إن طلّقتم النّساء ما لم تمسّوهنّ أو تفريضوا لهنّ فريضة ومتّعوهنّ على
الموسع قدره وعلى المقتر قدره متعا بالمعروف حقا على المحسنين
والذين يتوفون منكم ويذرون
أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى الحول غير إخراج فإن خرجن فلا جناح عليكم في ما
فعلن في أنفسهن من معروف والله عزيز حكيم وللمطلقات متاع بالمعروف حقا على المتقين
ياأيها
الذين ءامنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من
عدة تعتدونها فمتعوهن وسرحوهن سراحا جميلا
Pasal 149.
a.
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda kecuali
bekas isteri tersebut qabla dukhul.”
Pasal 158.
“Mut’ah wajib diberikan
oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da
dukhu>l.
b. Perceraian itu atas kehendak suami.”
Nafkah dalam perceraian dikadar (dibatas) dengan keadaan syara' yaitu dibatas dengan keadaan syara' sendiri. Seperti halnya dalam hal ini Imam Malik berpendapat bahwa nafkah tidak ada batasnya, baik dalam maksimal maupun minimalnya. Namun demikian Abu Hanifah dalam pendapatnya memberikan batasan-batasan kewajiban nafkah, yaitu sedikitnya baju kurung, tusuk konde, kudung, tidak boleh lebih dari setengah mahar. Sedang Imam Ahmad berpendapat bahwa mut'ah berupa baju kurung dan kudung yang sekedar cukup dipakai shalat, dan ini sesuai dengan kemampuan suami.
Meskipun demikian ‘urf masyarakat muslim lebih arif dan bijaksana, persepsi mereka tentang nafkah tidak lain adalah meliputi makanan-minuman (pangan), pakaian dan perhiasan (sandang) dan juga tempat tinggal yang layak huni. Kecuali bagi yang benar-benar tidak mampu, barangkali pangan itulah yang mereka sediakan.
Selanjutnya mengenai kadar nafkah, dalam hal ini adalah nafkah bagi mantan isteri, al-Qur'an tidak menyebutkan ketentuannya, al-Qur'an hanya memberikan pengarahan/anjuran yang sangat bijaksana, yakni dengan menyerahkan kepada mantan suaminya dengan ukuran yang patut (ma'ruf) sesuai dengan kemampuannya, hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 236.
Dalam hal ini H. Sulaiman Rasyid berpendapat diwajibkan atas suami memberikan belanja kepada isteri yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal menurut keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami. Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masing-masing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami. Intinya yang menjadi ukuran berapa besar nafkah adalah kemampuan suami. Lebih lanjut Sulaiman Rasyid menguraikan walaupun sebagian ulama mengatakan nafkah isteri itu dengan kadar yang tertentu tetapi yang mu’tammad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta menginggat keadaan suami.
Dengan demikian jelas bahwa jika kedapatan suaminya kaya maka disesuaikan dengan kemampuan, nafkahnya itu sebanding dengan kekayaannya. Begitu juga sebaliknya. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 223 dan juga surat at-Talaq (65): 07, Imam Malik menjelaskan bahwa nafkah itu tidak ada batasan yang ma'ruf (patut), dalam sedikitnya atau banyaknya.
E. Hak-hak Isteri Pasca Cerai Talak
Sebagaimana dalam perkawinan yang memuat hak dan kewajiban antara suami dan isteri, demikian juga jika terjadi perceraian maka ada akibat hukum darinya. Hal ini untuk menjaga adanya keseimbangan dan keadilan, sebab ketika mereka pertama kali melangsungkan perkawinan sehingga ketika berpisah pun juga harus secara baik-baik
Salah satu tujuan dibuat Undang-undang adalah untuk melindungi hak-hak isteri (wanita) sebab terjadinya perceraian yang tentunya merupakan peristiwa yang menyakitkan bagi wanita seharusnya tidak lagi membawa penderitaan terlalu dalam, jika ia mendapatkan haknya yang seharusnya ia dapat.
Dengan adanya Undang-undang tersebut diharapkan, salah satunya adalah hak-hak isteri dapat terlindungi, hal ini tentunya merupakan unsur penunjang yang secara yuridis sangat kuat landasannya, karena di dalamnya memuat hak-hak yang dapat diterima oleh isteri sebagai akibat dari peceraian. Hak-hak tersebut di antaranya:
1.
Hak pemeliharaan anak
Dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab X pasal 45, kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Bagi anak
yang masih dibawah umur biasanya hak perwalian dan pemeliharaan diberikan
langsung kepada ibunya. Seperti yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tahun
1991 pasal 105, yang menyatakan: bahwa dalam hal terjadi perceraian:
ü Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz
atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
ü Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz
diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayahnya atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya.
ü Biaya pemeliharaan ditanggung oleh
ayahnya.
Juga dalam hadis
disebutkan:
إنّ
امرأة قالت يارسول الله: إنّ إبنني هذا كان بطني له وعاء وثدبي له سقاء وحجرىله
حواء
وأن أباه طلّقني وأراد أن يترعه منّي فقال لها
رسول الله: أنت أحقّ به مالم تنكحى
Di
samping itu, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 50 juga
menetapkan :
1. Anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tiada dibawah kekuasaan
orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
2. Perkawinan itu mengenai pribadi anak
yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pada
dasarnya baik ibu maupun bapak mempunyai hak yang sama untuk menjadi wali dari
anak-anaknya berdasarkan keputusan pengadilan. Namun, hak perwalian dapat
dicabut oleh pengadilan jika mereka (baik ibu atau bapak) lalai atau tidak
mampu menjalankan perwalian tersebut.
2. Hak
mendapatkan nafkah
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak secara spesifik mengatur tentang hak
nafkah bagi mantan isteri yang telah dicerai. Pasal 41 c dalam Undang-undang tersebut menjelaskan:
“pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan
dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya”.
Namun
untuk yang beragama Islam dan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) memang ada
ketentuan mengenai hal itu, yakni untuk yang beragama Islam diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam, sedang untuk Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990.
Berkaitan dengan hak-hak mantan
isteri, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat putusnya
perkawinan karena talak, maka suaminya wajib:
a.
Memberikan
mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas isteri tersebut Qabla ad dukhul.
b.
Memberikan
nafkah, maskan (tempat
tinggal) dan kiswah (pakaian)
kepada bekas isteri selama masa ‘iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi
talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c.
Melunasi
mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhul.
d.
Memberikan
biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Agama Islam memberikan ketentuan
sebagai berikut:
a) Perempuan dalam masa ‘iddah
raj'iyyah berhak menerima dari mantan suaminya berupa tempat tinggal,
pakaian dan nafkah, kecuali isteri yang durhaka tidak berhak mendapatkan
apa-apa. Sabda Rasulullah SAW:
لها إنّما النفقة والسّكنى
للمرأة إذا كان لزوجهاعليهاالرجعة
b). Perempuan dalam ‘iddah ba'in
kalau mengandung maka ia berhak mengambil kediaman, nafkah dan pakaian. Namun
jika tidak mengandung, ia hanya berhak mendapatkan tempat tinggal. Sesuai
dengan Firman Allah SWT dalam surat at-Talaq (65): 6.
c). Wanita yang diceraikan sebelum
dikumpuli maka ia berhak mendapatkan mut'ah (pemberian) sesuai dengan kemampuan
suami untuk menyenangkan dirinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, dalam
Surat al-Ahzab (33): 49.
Apabila
suami adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, maka sesuai dengan ketentuan pasal 8
PP. No.10 tahun 1983 berlaku peraturan sebagai berikut:
1).
Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pria, maka ia
wajib menyerahkan sebagaian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anaknya
2).
Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 ialah sepertiga untuk pegawai negeri pria yang bersangkutaan,
sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anaknya.
3).
Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji wajib
disertakan oleh pegawai negeri sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah
dari gajinya.
4).
Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas
bagian penghasilan dari bekas suaminya
5).
Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri
minta cerai karena dimadu
6).
Apabila bekas isteri pegawai negeri sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka
haknya atas bagian gaji bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin
lagi.
3.
Harta bersama
Pasal
97 Kompilasi Hukum Islam menetapkan: “Bahwa janda atau duda cerai hidup,
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan”.
Mengenai harta bersama Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga menegaskan:
a.
Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
b.
Harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri, dan harta benda yang di peroleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sementara pada kata, “menentukan lain”
berkaitan:
a. .Mengenai harta bersama, suami atau
isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
b. Mengenai harta bawaan masing-masing,
suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan hukum mengenai harta bendanya.
Dari ketentuan-ketentuan yang dijelaskan tadi dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwasannya pemberian nafkah itu akan lebih baik jika
diberikan dalam ukuran maksimalnya atau memberikan pelayanan yang terbaik dan
termudah yang tentunya disesuaikan dengan kemampuan suami.
0 comments:
Post a Comment