HAK-HAK SUAMI ATAS ISTERI NUSYUZ
DAN BATASAN-BATASANNYA
Terciptanya kebahagiaan dan ketentraman berumah
tangga sangat tergantung pada komitmen suami-isteri dalam melaksanakan peran
dan kewajiban masing-masing. Jika peran dan kewajiban mereka telah dilakukan
secara baik, maka dapat dipastikan kehidupan perkawinan akan berjalan sesuai
dengan apa yang mereka harapkan.
Akan tetapi,
perjalanan suatu perkawinan tidak selalu tenang dan menyenangkan. Dalam berumah
tangga, kadang-kadang muncul belbagai persoalan yang tidak dapat dihindari
terutama jika di antara anggota keluarga tidak mau saling memahami dan
bertenggang rasa. Apalagi jika tidak mau menjalankan apa yang disyari’atkan Islam
dalam kehidupan berumah tangga, serta tidak berusaha menjalin hubungan
suami-isteri atas dasar kaidah yang benar.
Kerap kali
persoalan muncul secara tiba-tiba, dan itu dapat mengancam keharmonisan dalam
rumah tangga sehingga perlu dicarikan solusi secepatnya agar kondisinya kembali
menjadi tenang dan penuh cinta. Terhadap persoalan nusyuz,
al-Qur’an memberi banyak gambaran bagaimana cara mengatasi dan
menyelesaikannya. Dalam penyelesaian persoalan nusyuz
pada dasarnya kedua belah pihak (suami-isteri) harus dapat berperan
aktif untuk dapat terciptanya rekonsuliasi diantara mereka sendiri.
Akan tetapi,
dalam kitab-kitab fiqh pembahasan mengenai penyelesaian persoalan nusyuz seolah-olah lebih banyak diserahkan kepada pihak
laki-laki, hal ini tentu saja dilatar belakangi pemahaman tentang konsep
kepemimpinan laki-laki sebagai penguasa dan pengatur dalam rumah tangga juga
pemahaman sebagau ulama fiqh yang kerap kali mengkaitkan persoalan nusyuz hanya kepada pihak perempuan (isteri) saja,
sedangkan pihak suami dalam hal ini adalah seolah-olah menjadi pihak yang
dirugikan oleh nusyuznya
isteri tersebut sehingga ia diberikan kewenangan atau hak-hak tertentu dalam
menyikapinya.
Sebelum masuk
dalam pokok bahasan tentang apa saja hak-hak yang dimiliki suami berkaitan
dengan kewenangannya dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dan sampai dimanakah batas-batas hak yang
dimilikinya tersebut, terlebih dulu akan diuraikan sekilas dan secara umum
tentang parameter dasar yang dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai
apakah perlakuan seorang suami terhadap isteri nusyuz telah melampaui hak dan kewenangan atau
tidak.
A. Paramater Dalam Menentukan Batasan-Batasan
Hak Suami
Minimal dua alasan mengapa batasan-batasan hak dan kewenangan suami
perlu untuk didiskripsikan sacara jelas. Pertama, hal ini penting agar
kemungkinan terjadinya
kesewenang-wenangan suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dapat dicegah. Kedua,
untuk menghindari adanya klaim saling tuduh-menuduh antara suami-isteri tentang
siapa yang sebenarnya sedang melakukan nusyuz,
sebab tanpa adanya aturan yang jelas tentang batas-batas hak dan kewenangan
suami, maka perlakuan suami terhadap isterinya secara kasar dan dinilai
melampaui batas, dengan memukul, mencela dan mempergauli secara tidak baik,
tidak memberikan hak-hak isteri seperti nafkah dan lain sebagainya, semua
itupun dapat dikaitakan sebagai betuk sikap nusyuznya suami. Dan di sini isteri
berhak mendapatkan perlindungan hukum sekaligus suami harus dikenakan tindakan
secara hukum pula.
Terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan dalam menentukan
batasan-batasan hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz. Hal ini menyangkut, pertama,
prinsip-prinsip dasar pola relasi suami-isteri menurut Islam dalam kehidupan
rumah tangga secara umum. Kedua, subtansi perbuatan nusyuz itu sendiri, sebagai
sebuah perbuatan hukum yang harus dilihat dari segi kualitatatif maupun
kuantitatif serta motifasi yang melatar belakanginya.
- Prinsip Dasar Pola Relasi Suami-Isteri
Bardasarkan kajian terhadap al-Qur’an
dan as-Sunnah sebagaimana diungkapkan oleh Khoiruddin Nasution terdapat minimal
5 prinsip perkawinan menyangkut pula di dalamnya adalah mengenai relasi
suami-isteri, yaitu:
a. prinsip
musyawarah
b. prinsip
terwujudnya rasa aman, nyaman dan tentram
c. prinsip
anti kekerasan
d. prinsip
bahwa relasi suami-isteri adalah sebagai patner
e. prinsip
keadilan.
Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia juga dapat diketemukan
beberapa prinsip dasar menyangkut relasi suami-isteri. Pertama, prinsip
kebersamaan, dalam arti keduanya sama-sama berkewajiban dalam menegakkan rumah
tangga. Kedua, prinsip musyawarah dalam menyelesaikan persoalan rumah
tangga. Ketiga, keduanya berkedudukan secara seimbang dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat. Keempat, mempunyai hak sama
di depan hukum. Kelima, prinsip saling cinta, hormat-menghormati dan
saling membantu.
Quraish Sihab sebagaimana dikutip dalam buku Wajah Baru Relasi
Suami-Isteri, menyatakan bahwa akad nikah adalah penyerahan
kewajiban-kewajiban perkawinan, sekaligus penerimaan di antara mereka selaku
suami-isteri untuk hidup bersama selaku pasangan dan mitra yang berdampingan,
menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka.
Begitu pula menurut Tolhah Hasan, hubungan suami-isteri dalam rumah
tangga muslim bukanlah hubungan dominasi antara satu pihak terhadap pihak yang
lainnya, tetapi hubungan yang harmonis dan saling menghormati. Dalam hal
pergaulan suami-isteri, tidak hanya isteri yang dituntut untuk tidak berhianat
kepada suami. Seorang suami pun wajib mempergauli isterinya secara baik dengan
cara bersikap lembut terhadapnya dan tidak menyakiti hatinya dan melakukan
segala hal yang mendatangkan rasa tentram, cinta dan damai.
Sebagai implementasi prinsip-prinsip di atas, dalam menyikapi persoalan
nusyuz harus
mempetimbangkan dua hal: pertama, keadilan. Artinya ketika isteri nusyuz mereka harus dipahami
tidak hanya pada sisi ketidakpatuhannya saja, tetapi harus dipahami secara
menyeluruh, misalnya bagaimana perlakuan suami terhadap isterinya, apakah
hak-hak isteri sudah dipenuhi suami atau belum. Kedua, prinsip mua’syarah bil ma’ruf.
Artinya masing-masing harus tetap mempergauli secara baik, tidak terkecuali
dalam menyikapi salah satu pasangan yang sedang nusyuz.
- Subtansi Hukum Perbuatan Nusyuz Dan Tujuan Pemberian Sanksi
Dalam menyikapi isteri yang nusyuz,
yang terpenting juga adalah harus dapat melihat persoalan tersebut secara
subtantif. Artinya, melihat persoalan itu sebagai suatu permasalahan hukum yang
harus memiliki unsur-unsur tertentu untuk bisa disebut sebagai perbuatan hukum.
Yang dalam hal ini harus memenuhi tiga unsur; pertama, unsur formil,
yaitu adanya undang-undang atau nas yang mengatur hal itu. Kedua, unsur
matriil. yaitu adanya sifat melawan hukum, dengan berbuat atau tidak berbuat
sesuatu. Ketiga, unsur moril, yaitu pelakunya dapat dimintai pertanggung
jawaban secara hukum.
Jika dikaitkan dengan persoalan nusyuz
maka untuk mengetahui apakah suatu perbuatan ‘ketidaktaatan’ tertentu
seorang isteri dapat dikategorikan sebagai sikap nusyuz atau tidak maka hal itu dapat dilihat
dari ada tidaknya dasar hukum yang menjelaskannya. Begitu pula perbuatan
tersebut harus bersifat melawan hukum. Artinya, bahwa perbuatan tersebut harus
bersifat telah pasti terjadinya, tidak hanya berdasarkan praduga atau perkiraan
semata. Oleh karena itu untuk mengetahui telah terjadinya perbuatan nusyuz para mufassir
berangkat dari pemaknaan atas kata "خوف" dalam
rangkaian kalimat awal Ayat surat an-Nisa’ (4): 34 (واللا تى تخافون)
yang menurut mereka memiliki dua arti yaitu ظن (prasangka) dan علم (pengetahuan),
walaupun sebagian mufassir ada yang lebih condong menggunakan arti yang pertama
seperti al-Jamal dan ar-Razi.
Begitu pula masuk dalam pengertian subtansi hukum perbuatan nusyuz di sini adalah segi kualitatif,
kuantitatif dan latar belakang pemicu perbuatan itu sendiri. Hal ini tentu saja
karena jenis, sifat dan bentuk dari perbuatan nusyuz
tersebut sangat beragam, sehigga diperlukan pengkategorian secara spesifik
untuk dapat menentukan masuk dalam klompok apa bentuk perbuatan itu, ringan,
sedang ataukah berat. Sehingga dalam menyikapinya pun suami dapat dinilai
apakah ia telah berlebihan atau tidak.
Adapun tujuan penjatuhan sanksi terhadap isteri nusyuz juga dapat dugunakan
sebagai paremeter seorang suami dalam melakukan hak-haknya, begitu pula dapat
digunakan untuk menilainya, apakah dia telah melampaui batas-batas hak dan
kewenanganya atau belum. Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang
perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan sanksi dapat dibagi menjadi lima hal,
yaitu: (1) pembalasan (revenge), (2) penghapusan dosa (expiation),
(3) menjerahkan (deterrent), (4) perlindungan terhadap umum (protektion
of the public), (5) memperbaiki si pelaku (rehabilitation). Dan dari
kelima tujuan tersebut yang paling cocok untuk dijadikan peganggan bagi suami
dalam menindak isteri yang nusyuz
tentu saja adalah tujuan yang nomor tiga dan lima.
Dalam hal tujuan penjatuhan sanksi terhadap isteri yang nusyuz maka tidak lain hal
itu sebagai media pembelajaran terhadap isteri. Begitu pula menurut Sa’id Hawa bahwa hak-hak yang
dimiliki suami dalam memperlakukan isteri nusyuz
tidak lain merupakan upaya ‘penggobatan’ terhadap isteri.
Begitu pula dalam metode penerapannya menurut pendapat Syafi’i sebagaimana dikutip oleh ar-Razi bahwa tiap-tiap tahapan
harus saling berurutan, selama cara pertama dapat mengatasi maka tidak perlu
memakai yang selebihnya. Seperti misalnya dalam tahap hijr, sebaiknya
dimulai dalam bentuk hijr lisan lalu tempat tidur kemudian baru mubasyarah (bersetubuh).
Menurut Muhammad Abduh dan kebanyakan para mufassir yang lain bahwa
memang sudah menjadi keharusan jika dalam penerapan tiap-tiap tahapan
berurutan, walaupun pada kenyataannya adanya huruf ‘wau’ diantara
kalimat-kalimat yang ada tidak dimaksudkan dengan makna littartib (berurutan), sebab
hal itu menurutnya sudah dapat diketahui dengan petunjuk nalar rasio.
B.
Macam-macam Hak Suami Atas Isteri Nusyuz
Hak atau wewenang adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum
kepada seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Menurut
L. J. Van Apeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh C.S.T. Kansil mendefinisikan
hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum
tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi sesuatu kekuasaan.
Dalam ilmu hukum hak dibedakan menjadi dua, hak mutlak (absolut) dan
hak nisbi (relatif). Hak mulak ialah hak yang memberikan kewenangan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, dan hak tersebut dapat
dipertahankan terhadap siapa pun juga. Seperti hak marital, hak suami untuk
menguasai isterinya dan harta bendanya. Sedangkan hak nisbi atau relatif ialah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang atau beberapa orang untuk
menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang yang lain tertentu untuk
memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan peneliti berkaitan dengan
persoalan nusyuz
secara umum, maka terdapat minimal tiga hak atau kewenangan yang dimiliki
suami, dan selama ini dianggap sebagai hak bersifat mutlak (absolut) karena
adanya beberapa alasan yang mendukungnya. Hal ini tentu saja berakar dari
pemahaman dan penafsiran atas ayat an-Nisa’
(4): 34 secara keseluruhan terutama menyangkut konsep kedudukan dan relasi
suami isteri dalam rumah tangga.
Hampir secara keseluruhan
ulama sepakat bahwa laki-laki (baca: suami) adalah pemimpin bagi perempuan
(baca: isteri) dengan dua alasan. Pertama, karena kelebihan laki-laki
atas perempuan. Dan kedua, karena
nafkah yang mereka keluarkan untuk keperluan isteri dan rumah tangga
lainnya. Sekalipun ulama sepakat dengan kelebihan laki-laki atas perempuan,
tetapi dalam menjelaskan faktor-faktor sebagai penyebab nilai lebih laki-laki
atas perempuan tersebut terdapat perbedaan.
Dalam
menafsirkan Ayat tersebut, Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq At-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil menyatakan
bahwa suami adalah pemimpin terhadap isterinya dalam rumah tangga. Kalimat
kunci yang menjadi landasan adalah الرّجـال قوّامون على النساء.
Oleh
Az-Zamakhsyari,
kalimat tersebut ditafsirkan
dengan يقـومـون عليهن آمرين ناهين كما يقوم الولاة على الرعايا (kaum laki-laki
berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagaimana
pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya). Dengan fungsi itulah laki-laki
dinamakan qawwam. Alasan mengapa
suamilah yang menjadi pemimpin rumah tangga, Al-Zamakhsyari menafsirkan Ayat:
بما فضّل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم
Oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka dan memberikan
mahar.
Adapun dua alasan
kenapa laki-laki yang memimpin perempuan dalam rumah tangga adalah:
Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Kata ganti hum pada
kalimat بمافضّل الله بعضهم على بعض menurut Az-Zamakhsyari berlaku untuk kedua-duanya, laki-laki dan
perempuan.
Kedua, adalah karena laki-laki berkewajiban membayar mahar dan mengeluarkan
nafkah keluarga.
Sebagai konsekuensi dari penafsiran bahwa
laki-laki adalah pemimpin perempuan dengan dua alasan seperti yang telah
diuraikan di atas, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa perempuan-perempuan yang saleh (fa assalihat), dalam lanjutan Ayat ini adalah perempuan-perempuan yang ta’at (qanitat) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan menjaga kehormatan diri serta
menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, tatkala para suami tidak
berada di tempat (hafizat li al-ghaib), termasuk juga menjaga rahasia suami.
Dengan menyebutkan
hadits riwAyat Ibn Jarir dan
Baihaqi dari Abu Hurairah r.a., dia berkata. Rasulullah SAW bersabda:
خيرالنساء
امرأة إذا نظرت اليها سرّتك وإن امرتها أطاعتك وإن غبت عنها حفظتك فى نفسها ومالك
“Sebaik-baik isteri
adalah perempuan yang apabila engkau memandangnya menggembirakanmu, apabila
engkau memerintahnya dia patuh padamu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya
dia akan menjaga dirinya dan harta bendamu.”
Kata Abu Hurairah: Kemudian
Rasulullah SAW. membaca:
الرجال
قوامون على النساء
Begitu
pula pendapat at-T{abari dalam menafsirkan الرجال قوامون
على النساء ia menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa alasan
tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi
pendidikannya serta kewajibannya untuk memenuhi seluruh kewajiban yang telah
ditetapkan oleh Allah. Hal ini pula yang tercermin dalam kalimat وبما أنفقوا من
أموالهم yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan kifayah.
Lebuh lanjut ia menjelaskan
tentang keutamaan laki-laki dapat juga ditinjau dari sudut kekuatan akal serta
kekuatan fisiknya, sehingga kenabian pun menjadi hak bagi kaum laki-laki.
Dengan dasar kekuatan akal dan fisik inilah, maka at-T{abari menyatakan dengan tegas bahwa
kepemimpinan dalam bentuk al-Imam al-Kubra (khalifah) dan al-Imam
as-Sughra seperti imam
salat, kewajiban jihad, azan, iktikaf,
saksi, hudud, qisas, perwalian dalam nikah, talak, rujuk dan
batasan jumlah isteri, semuanya didasarkan kepada laki-laki.
Ar-Razi juga memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda
dengan at-T{abari mengenai masalah kepemimpinan laki-laki atas
perempuan, menurutnya hal itu dikarenakan adanya keutamaan dalam diri laki-laki
sebagaimana firman Allah, بما فضل الله بعضهم على بعض ia mengatakan bahwa
keutamaan laki-laki itu berdasarkan dua aspek; hakiki dan syar’i. Secara hakiki laki-laki memiliki
kelebihan dalam hal akal dan ilmu. Dalam segi syar’i laki-laki memiliki kontribusi dan peran
optimal dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah tanpa ada halangan apa
pun.
Sedangkan menurut Muhammad
Abduh pengertian kepemimpinan laki-laki dalam surat an-Nisa’ (4): 34 itu adalah memiliki arti menjaga,
melindungi, menguasai dan mencukupi kebutuhan perempuan. Sebagai konsekwensi
dari kepemimpinan itu adalah laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak daripada
perempuan dalam hal kewarisan, karena laki-laki bertanggung jawab terhadap
nafkah mereka. Adapun perbedaan taklif dan hukum antara laki-laki dan perempuan
menurutnya adalah akibat dari perbedaan fitrah dan kesiapan individu (potensi),
juga sebab lain yang sifatnya kasabi, yaitu memberi mahar
dan nafkah. Jadi sudah sewajarnya apabila laki-laki (suami) yang memimpin
perempuan (isteri) demi tujuan kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Melengkapi penjelasan
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa termasuk dalam kategori kepemimpinan adalah akad nikah
yang berada pada kekuasaan laki-laki dan laki-lakilah yang berhak menjatuhkan
talak. Sementara itu menurut dia, alasan yang dikemukakan oleh para mufassir
tentang kelebihan laki-laki terhadap perempuan, seperti menjadi nabi, imam,
mu’azin, khatib jum’at dan sebagainya bukanlah yang dimaksud oleh Ayat ini.
Berangkat dari akar
pemikiran tentang konsep kepemimpinan laki-laki atas perempuan seperti di atas,
selanjutnya hal ini berimplikasi dalam memahami persoalan nusyuz. Az-Zamakhsyari berpendapat.
oleh karena isteri mempunyai kewajiban untuk patuh kepada suami sebagai
pemimpin rumah tangga, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka apabila isteri
nusyuz (tidak
menjalankan kewajiban sebagai isteri, tidak patuh atau melawan kepada
suaminya), suami berhak bertindak dalam tiga tahapan: (1) menasehatinya (fa ‘izuhunna); (2) pisah
ranjang (wahjuruhunna fi al-madaji’i); (3) memukulnya (wadribuhunna).
Seperti
halnya Az-Zamakhsyari, al-Alusi juga berpendapat sama,
kewenangan suami untuk memperlakukan isteri yang nusyuz merupakan konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin
perempuan. Kedua mufassir ini sepakat bahwa perempuan-perempuan yang saleh (fa as-salihat), dalam lanjutan
Ayat tersebut adalah perempuan-prempuan yang taat (qanitat) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan menjaga
kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, tatkala
para suami tidak berada di tempat (hafizat li al-ghaib), termasuk juga menjaga rahasia suami. Tetapi ada
perbedaan sedikit antara 'Al-Alusi dengan mufassir
lainnya dalam menafsirkan kata qanitat. Bagi Al-'Alusi, kata tersebut
berarti perempuan-perempuan yang patuh kepada Allah dan suami-suami mereka.
Sedangkan Az-Zamakhsyari dan Sa’id Hawa menafsirkan qanitat adalah perempuan-perempuan yang patuh pada suaminya,
sebagaimana disebut di atas tanpa menyebutkan terlebih dahulu patuh kepada
Allah.
Begitu
pula menurut keempat mufassir yang lain yaitu at-T{abari, ar-Razi, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pendapat keempat
mufassir tersebut bisa dikatakan hampir sama dengan pendapat az-Zamakhsyari maupun al-Alusi seperti di
atas, dalam menyikapi isteri yang nusyuz karena
laki-laki menempati posisi sebagai kepala rumah tangga maka ia diberikan
kewenangan atau hak dalam mendidik atau juga dapat dikatakan sekaligus untuk
menindak isteri mereka yang nusyuz tersebut dengan
melakukan tiga tahap cara yang telah dijelaskan al-Qur’an; menasihati, memisahi ranjang dan memukul. Ketiga tahap tersebut harus
dilakukan suami secara bijak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi
isteri.
Demikianlah
akar pemikiran tentang kepemimpinan dalam rumah tangga yang sekaligus
berimplikasi terhadap kewenangan suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dengan berangkat dari penafsiran terhadap surat
an-Nisa’ (4); 34. Dalam hal kewenangan ‘mengasingkan’ isteri (hijr),
memukul, mencegah hak nafkahnya dan menjatuhi talak semua itu merupakan
konsekuensi logis dari pemahaman mereka bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga, dan ini mendapat
sorotan dari kalangan feminis Muslim.
Dan mengenai hak-hak yang dimiliki
suami tersebut akan diperinci dan sekaligus akan dikemukakan batasan-batasannya
menuru perspektif hukum sebagai berikut:
1. Hak Persuasif dan Sanksi
Fisik
Dengan merujuk dalam al-Qur’an
pada surat an-Nisa’ (4):
34, seorang suami diberikan tiga hak yang merupakan bentuk dari kewenanganya
dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz. Yaitu: (1) menasihatinya, (2)
memisahi tempat tidurnya (menghindari untuk berhubungan badan), (3)
diperbolehkan memukulnya.
2. Hak Mencegah Nafkah
Para ulama maz\hab
sepakat bahwa isteri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi
mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz
yang mengakibatkan gugurnya nafkah tersebut. Demikian pula menurut Sayyid Sabiq, bahwa suami berhak menta'zir isterinya yang nusyuz, seperti dengan pencegahan
nafkah disamping melakukan tindakan-tindakan yang telah ditentukan dalam al-Qur'an, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Menurut Muhammad Ali
Sabikh, apabila seorang isteri berlaku nusyuz yaitu isteri yang durhaka
terhadap suami atau keluar rumah tanpa seizin suami dan tidak dapat dibenarkan
secara syar’i maka:
a. menggugurkan
haknya untuk mendapatkan nafkah.
b. Menggugurkan
nafkahnya yang berupa kebendaan
c. Gugur
pula nafkah yang terhutang.
Dengan berdasarkan atas kaidah fiqh alasan gugurnya kewajiban suami
memberi nafkah tersebut dapat dianggap suatu yang logis karena kedurhakaan
isteri kepada suaminya dalam rumah tangga itu harus dihilangkan, hal ini sesuai
kaidah fiqh yang berbunyi;
الضرر
الأشد يزال بالضرر الأخف
Karena isteri
meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suami pun boleh meninggalkan
kewajibannya memberi nafkah.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pencegahan nafkah bagi isteri yang nusyuz juga diakui, sebagaimana yang
disebutkan disana bahwa kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5):
nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan, semua itu akan menjadi gugur apabila isteri nusyuz. Dan hak-hak tersebut dapat
diperoleh isteri lagi jika ia tidak nusyuz lagi.
3. Hak Talak
Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan
dapat putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian;
dan
c. Atas
keputusan pengadilan
Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal selanjutnya bahwa untuk melakukan
perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami-isteri.
Suami-isteri yang sudah tidak dapat hidup rukun lagi karena terjadinya nusyuz oleh salah satu pihak
atau kedua-duanya secara bersamaan (syiqaq)
dan telah diupayakan sekuat tenaga untuk menyelesaikanya secara damai, baik
oleh kedua belah pihak yang bersangkutan sendiri atau melalui pihak ketiga
sebagai mediator, maka dalam kondisi seperti ini sudah tidak ada cara lain
kecuali memutuskan hubungan tali perkawinan suami-isteri tersebut agar situasi
tidak semakin parah dan dapat memicu terjadinya tindak kekerasan.
Menurut pendapat prof. Mahmud Yunus bahwa sebab-sebab yang memperbolehkan menjatuhkan
talak dengan tiada dibenci oleh Allah ialah:
a. isteri
berbuat zina
b. isteri
nusyuz setelah
diberi nasihat dengan segala daya upaya
c. isteri
suka mabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang menggangu keamanan rumah
tangga, dan lain-lain, sebab yang berat yang tidak memungkinkan berdirinya
rumah tangga dengan damai dan teratur.
C. Batasan-Batasan Hak Suami Dalam Memperlakukan
Isteri Nusyuz
Walapun pada dasarnya persoalan nusyuz
tidak selalu muncul dari pihak isteri akan tetapi juga dapat timbul dari pihak
suami, namun pada kenyataannya hak-hak yang dimiliki oleh suami selama ini
lebih dominan dan mendapatkan pengakuan secara yuridis. Artinya, secara hukum
maupun secara realitas di lapangan pihak suami selalu menjadi pihak yang menang
dan diuntungkan ketika persoalan nusyuz
terjadi, sedangkan bagi pihak isteri kerap kali menjadi korban yang
dipersalahkan. Oleh karena itu batasan hak-hak suami di sini perlu untuk
ditegaskan.
1. Hak Persuasif dan Sanksi Fisik
Dalam Tafsir Ibnu
Kas\ir diterangkan bahawa bila kamu menghawatirkan nusyuz dari pihak isteri-isteri kamu, maka
nasihatilah mereka, dan pisahkan dirimu di tempat tidur mereka, jika nasehatmu
diacuhkan maka janganlah mereka diajak bicara tanpa memutus pernikahanmu dengan
mereka, dan jika semua itu tidak berhasil juga, maka kamu boleh memukul mereka
dengan pukulan yang tidak merusak bagian-bagian tubuhnya terutama wajah dan
kepalanya. Dalam hal ini bahwa tindakan bertahap yang dapat dilakukan oleh
suami terhadap isteri yang nusyuz adalah:
a. Menasihati (فعظوهنّ )
Dalam rangka menyikapi persoalan nusyuz
ini, langkah pertama yang ditawarkan dalam al-Qur'an
adalah dengan memberikan nasehat (advice) secara bijaksana kepada isteri
yang nusyuz. Tentu
saja nasehat kepada isteri berbeda antara satu dengan yang lainya, tergantung
situasi dan kondisi yang dihadapi, karena diantara mereka ada yang terpengaruh
oleh sanksi-sanksi duniawi, seperi dimusuhi dan lain-lain ada juga yang tidak.
Nasihat merupakan upaya persuasif dan langkah edukasi pertama yang
harus dilakukan seorang suami ketika menghadapi isteri yang nusyuz. Hal ini ditujukan
sebagai cara perbaikan secara halus untuk menghilangkan semua kendala-kendala
yang mengusik hubungan cinta kasih suami-isteri. Hampir seluruh ulama
berpendapat sama, yakni, amat pentingnya cara memberi nasihat ini, sehingga hal
ini menjadi urutan pertama dalam upaya menyelesaikan permasalahan nusyuz.
Suami hendakanya menggigatkan kembali tentang ikatan janji yang kuat (mis\aqan galiza) diantara
mereka yang tidak boleh pudar begitu saja oleh hati maupun aqal. Kepada isteri
juga disampaikan akibat buruk yang akan menimpa hubungan mereka apabila ia
tetap dan meneruskan jalanya itu. Dalam
Tafsir
al-Bahru al-Muhit dijelaskan
dalam usaha menasihati isteri yang nusyuz tersebut tidak lupa dengan mengingatkan kepadanya akan perintah Allah
untuk taat kepada suami. Hal ini senada dengan apa yamg diungkapkan oleh Abu Bakar
Al-Jassas bahwa menasihati yaitu
menakut-nakuti isteri dengan siksaan Allah.
Mau’idah atau nasihat merupakan upaya persuasif yang
penting dan sudah semestinya selalu dikedepankan dalam menyelesaikan setiap
permasalahan yang terjadi antara suami-isteri dalam rumah tangga. Namun jika
persoalan yang mereka hadapi terasa semakin berat dan diantara mereka tidak ada
lagi pihak yang mau memulai untuk mengambil inisiatif damai secara persuasif
ini, maka mereka dapat mendatangkan mediator pihak lain sebagai perwakilan
mereka guna mendiskusikan persoalan yang sedang terjadi. Upaya persuasif dengan
jalan musyawarah dan diskusi dengan memakai mediator ini sendiri disinggung al-Qur’an secara langsung;
وإن خفتم شقاق بينهما
فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلا حا يوفق الله بينهما إن الله كان
عليما خبيرا
Diharapkan dengan adanya sikap saling memberikan nasihat secara baik
dan bijak akan dapat menciptakan kondisi relasi suami-isteri dan kehidupan
rumah tangga secara umum kembali harmonis dan kondusif. Oleh karena itu dalam
kehidupan sehari-hari dibutuhkan adanya suasana musyawarah dan dimokratis dalam
kehidupan rumah tangga. Musyawarah berarti dalam segala aspek kehidupan dalam
rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan musyawarah minimal
antara suami-isteri. Sedangkan maksud demokratis adalah bahwa antara suami dan
isteri harus saling terbuka untuk dapat menerima pandangan dan pendapat
pasanganya.
Terciptanya suasana musyawarah dan demokratis dalam rumah tangga pada
ahirnya akan menjadikan pasangan suami-isteri dalam menjalankan kewajiban dan
memperoleh hak secara berimbang dan sejajar. Dan dari sini diharapkan dapat
memunculkan sikap diantara mereka untuk:
1) saling
mengerti, mengerti latar belakang masing-masing dan diri sendiri.
2) saling
menerima, menerima sebagaimana adanya menyangkut kelebihan dan kekurangan
pasangannya.
3)
saling menghormati, menghormati perasaan,
keinginan dan pribadi masing-masing.
4) saling
mempercayai.
5) saling
mencintai, bijaksana dan menjahui sikap egois.
b.
Pisah
ranjang (واهجروهنّ)
Secara etimologis hijr berarti meniggalkan, memisahkan dan tidak
berhubungan dengan obyek yang dimaksud. Sedangkan kata al-Madaji' yang menjadi
rangkaian kata hijr berarti tempat tidur atau tempat berebah. Secara
epistemologis atau istilah para fuqaha',
hijr adalah seorang suami yang tidak menggauli isterinya, tidak
mengajaknya bicara, tidak mengadakan hubungan atau kerja sama apapun dengannya.
Sedangkan hijr menurut
pendapat Ibn
'Abbas sebagaimana yang juga
dikutip oleh as-Sabuni adalah sikap seorang suami yang memiringkan
pinggang dan memalingkan pungungnya dari isterinya serta menghindari melakukan
hubungan badan denganya. Pendapat yang lain mengatakan tentang hijr
yaitu suami yang meninggalkan tempat tidur isterinya dan menjauhkan diri untuk
kontak denganya. Jadi batasanya jarak mengenai hijr itu sendiri dapat
dikatakan sebatas kontak fisik, tempat tidur atau maksimal sebatas dalam rumah.
Dari pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa hijr dapat
berbentuk ucapan atau perbuatan. Hijr dengan ucapan artinya suami tidak
memperhatikan atau memperdulikan perkataan isterinya serta tidak mengajaknya
berbicara. Sedangkan hijr dengan perbuatan adalah bahwa suami berpisah
tempat tidurnya dari isterinya atau sekedar tidak mengaulinya, atau memisahkan
diri dari kamarnya.
Para ulama sepakat membolehkan hijr dengan ucapan selama tidak
melebihi dari tiga hari. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis Abu Ayyub al-Ansariy, bahwa
Rasulullah bersabda:
لايحل لمسلم ان يهجر أخاه فوق
ثلاث ليال
Mengenai hijr dengan perkataan ini sebenarnya tidak ada
ketentuan batas waktunya. Oleh karena itu para ulama membatasi waktunya dengan
menganaloqikannya kepada hukum illa’,
yang menurut syara’ ditentukan selama 4 (empat bulan). Sebagaimana dijelaskan al-Qur’an:
للذين يؤلون من نسائهم تربص
أربعة أشهر فإن فاءو فإن الله غفوررحيم
Hanya saja batasan ini bukanlah batasan yang mutlak. Artinya boleh juga
hanya sebulan dan sudah dianggap cukup untuk mengambil sebuah tindakan
selanjutnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap
isteri-isterinya.
Adapun batas waktu hijr dengan perbuatan yang berupa sikap
menjahui dan tidak melakukan hubungan intim dapat dilakukan suami tanpa batas,
selama yang diinginkanya, selagi hal itu dipandang dapat menyadarkan isteri,
asal tidak lebih dari empat bulan berturut-turut, karena jangka waktu empat
bulan adalah batasan maksimal yang tidak boleh dilampaui, sesuai pendapat yang
terkuat dari pendapat ahli hukum. Hal ini juga sebagaina yang dijelaskan dalam
kitab Tafsir al-Qurtubi bahwa
suami dibolehkan tidak mengauli isterinya selama empat bulan dalam upaya
menyadarkan isterinya.
Pada dasarnya jika diteliti lebih jauh tahap hijr ini masih
merupakan upaya lanjut yang merupakan hak dari suami dalam menyikapi isteri nusyuz secara persuasif
sebelumnya yaitu Mau’idah
yang mana kedua langkah tersebut merupakan usaha bijaksana untuk
rekonsisiliasi, penyatuan kembali dengan melakukan intropeksi diri
masing-masing pasangan. Kalau perlu, dalam tahap intropeksi dan perenungan diri
ini dilakukan dengan pisah ranjang sementara
(al-tahjir fil madaji’).
Menurut Muhammad Abduh
sebagaimana dikutip Nurjannah Ismail ia berpendapat bahwa langkah kedua ini,
yaitu menjahui isteri dari tempat tidurnya merupakan sanksi dan pelajaran yang
diberikan kepada isteri yang sangat mencintai suami dan amat menderita bila
dikucilkan. Menjahui tempat tidur bukan berarti harus meninggalkan tempat tidur
atau kamar tidur untuk tidak tidur bersama isteri, karena itu malah akan dapat
menambah kebandelan isteri. Sebab dengan masih tidur bersama isteri walaupun
tidak mencampurinya diharapkan akan mampu menetralisir emosi suami dan isteri,
sehingga jiwa menjadi tenang dan pertengkaran dapat diatasi.
Oleh karena itu pemahaman tentang hijr yang
selama ini lebih dipahami sebagai hak suami untuk ‘menghukum’ isterinya yang nusyuz dengan menjahuinya,
mendiamkannya dan tidak melakukan hubungan badan dengannya merupakan pemahaman
yang berlebihan. Sebab ketika tahap hijr diartikan seperti itu maka
tentu saja persoalan yang ada di antara suami-isteri tidak akan selesai-selesai
bahkan akan berlarut-larut. Hal itu ditambah lagi perasaan kecewa isteri karena
kebutuhan psikologis dan biologisnya tidak terpenuhi oleh sikap suami yang
berusaha menjahuinya.
Pencegahan atau kekurang puasan salah satu pasangan
dalam urusan penyaluran biologis sendiri dapat memicu berbagai masalah yang
dapat menganggu keharmonisan relasi suami-isteri antara lain penyelewengan,
perzinahan dalam berbagai bentuknya dan perceraian.
Dalam urusan penyaluran kebutuhan biologis Islam
senantiasa menekankan arti penting keadilan diantara suami-isteri agar terjamin
keadilan seksual sebagai kebutuhan biologis mereka secara berimbang. Hal ini
sebagaimana disinggung oleh al-Qur’an
sendiri, diantaranya:
ولهن
مثل الذى عليهن بالمعروف وللرجال عليهن د رجة والله عزيز حكيم
Dalam Ayat lain juga disebutkan:
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب
مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن
Ulama mazhab Hanafi
berpendapat isteri boleh menuntut suami untuk melakukan persetubuhan dengannya,
karena kehalalan suami bagi isteri merupakan hak isteri, begitu pula sebaliknya
jika isteri menuntutnya maka suami wajib memenuhinya, ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa
melakukan persetubuhan adalah kewajiban suami-isteri jika tidak ada uzur (alasan
yang dibenarkan secara syar’i).
Begitu pula masalah kewajiban isteri untuk melayani
suami dalam berhubungan badan, al-Syirazi
berpendapat bahwa meskipun pada dasarnya isteri wajib melayani permintaan
suami, akan tetapi jika ia tidak ‘mud’ atau sedang tidak bergaira untuk
melayaninya ia boleh menawarnya atau menagguhkannya sampai batas tiga hari. Dan
bagi isteri yang sedang sakit atau tidak enak badan maka tidak wajib baginya
untuk melayaninya sampai sembuh. Jika suami tetap memaksa maka dia telah
melanggar prinsip muasyarah bi
al-ma’ruf dengan berbuat aniaaya kepada pihak yang justru seharusnya
ia lindungi.
Oleh karena itu
suami tidak boleh mengklaim isterinya telah melakukan nusyuz hanya gara-gara dia
tidak bersedia melayaninya di sesuatu ketika, karena hal itu harus juga
mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri. Bahkan dalam persoalan hijr
yang selama ini dipahami sebagai kewenangan suami untuk menjahui isteri yang nusyuz sebagai bentuk
pembelajaran sekaligus pemberian sanksi sudah semestinya jika harus dikaji
kembali, karena dengan melakukan hal itu pada dasarnya suami telah melupakan
prinsip keadilan, keseimbangan dan prinsip mu’asyarah
bil ma’ruf . Dan dalam hal ini ia malah dapat dinilai telah
melakukan nusyuz terhadap
isterinya.
c. Memukul (واضربوهنّ)
Dalam masalah pemukulan ini fuqaha'
mendefinisikannya dengan pengertian yang masih umum, yaitu suatu perbuatan yang
menyakitkan badan, baik meninggalkan bekas atau tidak, dengan mengunakan alat
atau tidak.
Kalau diteliti lebih lanjut
sebenarnya kalimat daraba
berasal dari fi’il madi daraba –
yadribu yang di dalam Al-Qur’an kata ini mempunyai banyak arti:
1) Jika dalam Ayat واضربوهنّ jelas fi’il amr yang berasal dari fi’il madI bermakna pukul artinya seseorang yang
menjatuhkan sesuatu dari anggota tangannya kepada orang lain.
2) Untuk Ayat وضرب الله مثلا kalimat fi’il madI ini bukan arti pukul, namun mempunyai arti i’tibar (perumpamaan).
3) Jika untuk Ayat عن اضرب بعصاك الحجر
artinya fi’il amar yang tersebut sama artinya dengan pukul, hanya
bedanya dengan suatu alat.
Bagi fuqaha yang
berpendapat tentang dibolehkanya melakukan pemukulan, mereka mendasarkannya
pada surat an-Nisa’ (4): 34
yang memiliki kronologi historis (sabab
an-nuzul) sebagaimana diriwAyatkat oleh az-Zamakhsyari tentang peristiwa Sa’ad ibn
Ar-Rabi’ ibn ‘Amr dan isterinya Habibah binti Zaid ibn
Abi Zuhair sebagai peristiwa yang melatar belakangi turunya Ayat ini.
DiriwAyatkan bahwa Habibah nusyuz terhadap
suaminya Sa’ad, salah seorang pemimpin Ansar. Lalu Sa’ad
memukul Habibah, puteri Zaid ibn Zuhair ini mengeluhkan perlakuan
suaminya kepada ayahnya. Sang
ayah kemudian mengadukan hal itu kepada Nabi. Nabi menganjurkan Habibah membalas dengan setimpal (qisas). Berkenaan peristiwa itulah turun surat an-Nisa’ Ayat 34 ini. Setelah Ayat turun, Nabi bersabda: “Kita menginginkan
satu cara, Allah menginginkan cara yang lain. Yang diinginkan Allah
itulah yang terbaik” (أردنا
أمرا وأراد الله أمرا والذى أراد الله خير). Kemudian dibatalkan
hukum qisas terhadap pemukulan suami itu.
Ada juga beberapa hadis yang dikerap kali dijadikan dasar dalam masalah
ini oleh fuqaha, diantaranya:
ألآواستوصوا
بالنساء خيرا, فإن هن عوان عندكم ليس تملكون منهن شيئا غير ذالك إلا أن يأتين بفاحشة مبينة, فإن
فعلن فاههجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا غيرمبرح, فإن أطعنكم فلاتبغو عليهن
سبيلا0 ألا إن لكم على نسائكم حقا0 فحقكم عليهن فلا يوطعن فروشكم من تكرهون
ولايأذن فىبيوتكم لمن تكرهون ألاوحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن فىكسوتهن وطعامهن
Sebenarnya masih terdapat ayat lain yang cukup beralasan untuk
dijadikan pembanding dalam mengkaji persoalan pemukulan terhadap isteri ini
yaitu;
وخذ بيدك ضغثا فاضرب به ولاتحنث
إنا وجدنه صابرا نعم العبدإنه أواب
Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di atas
tentang dibolehkannya suami memukul isterinya dalam rangka memberi pelajaran.
Seperti halnya nabi Ayyub
yang memukul isterinya karena telah melanggar hak-hak suami.
Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya pemukulan
terhadap isteri dengan batasan tidak sampai melampaui batas sebagai instrument
pendidikan, dalam arti lain, dibolehkanya tindakan tersebut bukan berarti tanpa
adanya unsur kemakruhan atau suatu yang lebih baik jika harus dihindari.
Walaupun kelihatanya secara tekstual syari’at membolehkan suami memukul
isteri yang nusyuz,
akan tetapi bagaimanapun harus diperhatikan penjelasan Rasulullah dalam
menetapkan syarat-syarat diperbolehkannya tindak pemukulan tersebut, yaitu
tidak boleh dimaksudkan untuk menghina derajat atau martabat wanita, menyakiti
isterinya dan tidak boleh dilakukan dengan motifasi menggangu atau tindakan
balas dendam. Dalam hal
pemukulan, para mufassir sepakat bahwa pemukulan yang dibenarkan adalah pukulan
yang tidak menyakitkan (ghair mubarrih)
pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka.
Menurut Muhammad
'Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili, bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:
a. bagian
muka, karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati.
b. bagian
perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena pemukulan ini bukan bermaksud untuk
mencidrai apalagi membunuh isteri yang nusyuz,
melainkan untuk mengubah sifatnya.
c. memukul
hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar
timbulnya bahaya.
Dalam
rangka memberi pendidikan bagi isteri yang nusyu ar-Razi dan at-T{abari juga tampaknya memiliki
pemahaman yang tidak jauh berbeda dengan ulama fiqh. Mereka tidak menafikan
adanya kemungkinan untuk memukul isteri asal telah diyakini melakukan nusyuz. Hanya
saja untuk masalah pemukulan ini, kedua mufassir tersebut bahkan
tampaknya semua mufassir sepakat memberikan catatan bahwa pukulan yang
dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghaira mubarrih), yang
tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka. Ringkasnya,
mereka mengatakan wa ad-dharbu mubah wa
tarkuhu afdal (pemukulan itu boleh dan meninggalkannya lebih baik).
Sebagaimana
para mufassir yang lain Muhammad Abduh berpendapat perintah memukul isteri
bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal dan fitrah. Memukul diperlukan
jika keadaan sudah buruk dan akhlak isteri sudah rusak. Suami boleh memukul
isteri ketika suami melihat bahwa rujuknya isteri hanya dengan cara memukulnya.
Akan tetapi, jika keadaan sudah membaik dan isteri sudah tidak nusyuz lagi cukup dengan cara menasehatinya atau
mengasingkannya dari tempat tidur, maka tidak perlu memukulnya. Setiap keadaan
menentukan hukuman yang sesuai, sementara itu kita diperintahkan menyayangi
kaum perempuan, tidak menganiaya, menjaganya dengan cara yang baik, dan jika
menceraikannya harus dengan cara yang baik pula.
Diantara
ketiga hak atau kewenangan yang dimiliki seorang suami dalam memperlakukan
istri nusyuz dengan berdasarkan pada
surat an-Nisa’ (4): 34 di atas, hak suami dalam memukul
merupakan salah satu hak yang mengundang polemik dan perdebatan panjang,
khususnya dikalangan ulama fiqh, ahli tafsir (mufassir) dan pemikir-pemikir
feminis kontemporer.
Jika
para ulama sepakat dengan pemukulan terhadap isteri nusyuz diperbolehkan asal masih dalam batas-batas yang wajar dan tidak bertujuan
untuk menyakiti, pada dasarnya ulama juga menekankan agar tidak memukul.
Sedangkan bagi para feminis ada yang berpendapat bahwa pemukulan tidak pernah
dianjurkan oleh Al-Qur’an. Pendapat ini
dilontarkan oleh para kaum feminis seperti Ashgar Ali Engineer, ia berpendepat
dengan mengutip pendapat Ahmed Ali dari kitab Ragib Al-Mufradat fi Garib Al-Qur’an yang menerangkan
bahwa kata daraba mempunyai makna metaforis yaitu melakukan hubungan
seksual.
Pada dasarnya Nabi sangat
menghargai perempuan, asbab an-nuzul ayat 34 ini ketika Habibah mengadu bersama ayahnya kepada Nabi tentang pemukulan suaminya. Nabi
ketika itu dengan bersimpati menyuruh Habibah agar membalas (qisas) terhadap suaminya,
tetapi Allah menurunkan ayat ini. Di sini Nabi menunjukkan simpati, keinginan
untuk mengangkat derajat perempuan atau korban kekerasan, tetapi Ayat ini
terkesan memihak laki-laki. Menurut Ashgar dengan mengutip pendapat S.T
Lokhandwala, dalam The Potition of Women Under Islam; bahwa ayat ini
bersifat kontekstual, karena suami Habibah merupakan pemimpin Ansar (Sa’ad bin Rabi’). Keputusan Nabi untuk mengqisas suaminya mendapat penolakan dari laki-laki Madinah, mungkin
kekhawatiran Nabi akan sarannya menimbulkan kegemparan dalam sebuah masyarakat
di mana laki-laki benar-benar dominan. Ayat ini diwahyukan sebagai anjuran yang
menyejukkan demi mengendalikan kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan menganjurkan
mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.
Ayat ini tampak mengizinkan
pemukulan terhadap isteri, tetapi Lokhandwala berpendapat bahwa konteks Madinah
tidak dapat diabaikan. Dilihat dari konteks ini, Ayat tersebut mempunyai maksud
agar tidak menimbulkan reaksi yang terlalu keras, pertama Al-Qur’an mengatakan bahwa perempuan yang tidak taat
sebaiknya diperingatkan, dan jika mereka tetap dalam nusyuz (pemberontakannya) mereka harus dipisahkan di tempat tidur, dan jika mereka
tetap tidak berubah juga, maka mereka harus dihukum. Tetapi Allah meminta agar
tidak mencari-cari jalan untuk memusuhi mereka dan berbaikan dengan mereka jika
mereka taat.
- Hak mencegah Nafkah
Dalam kitab Kifayat
al-Ahyar dijelaskan bahwa
ketika seorang isteri yang telah jelas-jelas nusyuz maka hendanya dinasihati, dan jika masih
tetap tidak mau berubah maka boleh dijauhi (hijr), dan jika tidak mau
berubah juga maka boleh dipukul. Gugur pula sebab nusyuz tersebut adalah hak nafkah isteri dan
gilirannya.
Hampir seluruh ulama sepakat tentang tercegahnya nafkah bagi isteri
yang nusyuz. namun
mereka berbeda pendapat di dalam menentukan bentuk dan sifat perbuatan nusyuz seperti apa yang
menyebabkan tercegahnya nafkah isteri itu. Menurut Abu Hanifah, seorang isteri gugur hak nafkahnya
manakalah dia berpergiang tanpa izin dari suaminya dan untuk sesuatu yang tidak
menjadi kewajiban baginya. Sedangkan menurut Imam
Malik dan Syafi’i, hal itu tidak sampai
menyebabkan hilangnya hak nafkah isteri. Dasar ketidakwajiban seorang suami
dalam memberikan nafkah kepada isteri nusyuz
adalah berdasarkan ijmak ulama.
Ulama Hanafi
berpendapt manakala isteri mengeram dirinya dalam rumah suaminya, dan tidak
keluar rumah tanpa izin dari suaminya, maka ia masih disebut patuh (muti'at), sekalipun ia tidak
bersedia dicampuri tanpa alasan syara' yang benar. Penolakan yang seperti itu,
walaupun haram, tetapi tidak menggugurkan haknya untuk mendapat nafkah. Oleh
karena itu beliau berbeda pendapat dengan seluruh mazhab yang lainya. Sebab
seluruh mazhab yang lain sepakat bahwa, manakala isteri tidak memberi
kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan ber-khalawat dengannya tanpa alasan berdasar
syara' maupn rasio, maka dia dipandang sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak atas
nafkah. Bahkan Syafi'i
mengatakan bahwa, sekadar kesediaan digauli dan ber-khalawat,
sama sekali belum dipandang cukup kalau si isteri tidak menawarkan dirinya
kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas, "aku menyerahkan diriku
kepadamu.
Ada pula yang mengkaitkan gugurnya hak nafkah isteri ini dengan
pengertian perbuatan nusyuz
secara umum, karena ketika isteri melakukan nusyuz,
maka berarti ia telah keluar dari ketaatan, dan itu dapat menyebabkan hilangnya
hak nafkah. Dan jika ia taat lagi, maka nafkah isteri tersebut wajib diberikan
terhitung saat ia taat pada suaminya kembali.
Adapun hikmah
dari gugurnya hak nafkah tersebut bagi isteri yang nusyuz adalah diharapkan dengan itu
sikap isteri akan kembali baik dan taat kepada suaminya sehingga terpeliharalah
kekokohan dan kelangsungan rumah tangga karena gugurnya nafkah merupakan sanksi
kepada isteri yang melakukan nusyuz.
Dalam masalah
nafkah bagi isteri yang nusyuz, Ibn Hazm mempunyai pendapat
yang bertentangan dengan jumhur fuqaha. Ibn Hazm berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tetap mendapatkan nafkah.
Menurutnya, suami wajib memberinya nafkah sejak akad nikah, tidak ada perbedaan
antara isteri yang nusyuz maupun yang tidak, yang
masih kecil atu yang sudah besar dan sebagainya. Mengenai pendapat Ibn Hazm ini
disebut dalam kitab al-Muhalla;
وينفق
الرجل على امرائته حين يعقد نكاحها دعى الى البناء اولم يدع ولو أنها فىالمهد
ناشزا كانت اوغير ناشز غنية كانت اوفقيرة ذات أب كانت اويتيمة بكر او ثيبا حرة
كانت اوأمة
Pendapat
tersebut berdasarkan hadis yang diriwAyatkan oleh Muslim dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW.
bersabda:
فاتقوا
الله فىالنساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمةالله ولكم عليهن
ان لايوطئن فرشكم احدا يكرهونه فإن فعلن ذالك فضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم
رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Dan juga riwAyat Abu
Dawud dari Hakim bin
Mu’awiyah dari ayahnya yang pernah bertanya kepada Nabi SAW;
قلت يارسول الله ما حق زوجة احدنا عليه؟ قال: أن
تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا اكتسيت ولا تظرب الوجه ولا تقبح ولا تجهر الا فىالبيت
Dari kedua riwAyat hadis
tersebut, menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. menyamamaratakan seluruh wanita dan tidak menghususkan orang yang nusyuz dengan lainya, begitu pula wanita yang masih
kecil atau pula yang sudah besar. Adapun pendapat sebagian yang menyatakan
tidak ada nafkah bagi isteri yan tidak mau diajak serumah dengan suami, menurut
Ibn Hazm, pendapat itu tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur'an, as-Sunnah, qaul Sahabat, qiyas maupun ra'yu. Jika ada pengecualian kepad
isteri yang nusyuz atau masih kecil maka Allah tidak akan lupa
menjelaskanya.
Ibn Hazm tidak mengetahui
alasan Fuqaha' yang berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tercegah (gugur) hak nafkahnya. Hanya ada
satu riwAyat yaitu dari Nakhai, as-Sya'bi, Humad bin Abi Sulaiman,
al-Hasan dan az-Zuhri, tetapi
Ibn Hazm tidak mengetahui alasan mereka secara jelas, hanya saja mereka
menyatakan;
النفقة بإزاء الجماع فإذا منعت
الجماع منعت الفقة